Selasa, 16 Desember 2014

Masyarakat tanpa Sekolah

                                        Masyarakat tanpa Sekolah

Sarlito Wirawan Sarwono  ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO,  14 Desember 2014

                                                                                                                       


7. Ibu berhadas besar. Yang ibu lakukan untuk bersuci adalah: a. Wudu b. Mandi keramas c. Cuci kaki 8. Najis mutawsittah disebut juga dengan: ... dan seterusnya (tidak saya lanjutkan).

Soal ujian pilihan berganda itu ditunjukkan oleh seorang ibu kepada saya. Saya pikir tadinya ini soal-soal ulangan kelas II SMP, tetapi belief it or not, anak sulung ibu itu baru kelas 1 SD dan dia tinggal di Bekasi. Jadi itu adalah materi ulangan murid kelas 1 SD di Bekasi (nama SD-nya off the record).

Kata ibu itu, ”Ini soal UAS anak saya, Prof.” Yang mencengangkan adalah bahwa soal-soal seperti itu diberikan ke siswa kelas 1 SD yang menurut psikolog J Piaget, perkembangan kognisi anak secara umum belum sampai ke taraf harus bisa membaca. Pada tahapan umur 6-7 tahun anak baru bisa mulai diajari membaca. Dulu saya sediri baru belajar membaca di kelas 1 SR (sekolah rakyat, setara SD sekarang), ”Be...u... bu...ka... u...ku... buku! Horeee....”

Sebelumnya, di TK saya main melulu, menggambar, bernyanyi, dan menari; kalau udah kebelet, ”Bu Guru, mau pipis....” Tapi yang paling salah menurut Piaget (psikolog dari Swiss, 1896-1980) adalah anak seumur itu diajari konsep-konsep yang abstrak, yang sudah pasti dia tidak akan bisa mengerti. Apa itu ”hadas besar”? Ibu gurunya mungkin tahu bahwa arti kata itu adalah ”ibu dan bapak habis gituan ”, tetapi mana anak tahu dan bagaimana cara ngasih tahunya?

Apa hubungannya dengan wudu, keramas, atau cuci kaki? Apa pula artinya ”bersuci” dan ”mutawsittah ”? Saya saja bingung, apalagi buat anak. Tapi anak dipaksa saja untuk menghafal, ngerti tidak ngerti hafalkan. Kalau hafal dan nyontreng jawaban yang benar, ”Itu sudah,” kata orang Ambon.

Menteri Diknas Anis Baswedan menengarai bahwa sekolah-sekolah negeri makin lama makin bergeser ke agama tertentu saja. Penelitian Prof Dr Bambang Pranowo (UIN Jakarta, 2011) mengungkapkan data bahwa sudah ada sejumlah siswa yang anti-Pancasila dan prokekerasan terhadap agama lain di SLTA negeri se-Jabodetabek.

Di wilayah-wilayah yang mayoritas muslim, ”iklim” sekolah mulai tidak nyaman untuk murid-murid dan orang tua yang nonmuslim. Karena itu Menteri Agama menggagas doa umum untuk sekolah-sekolah negeri (bukan sekolah khusus agama tertentu) yang bisa diikuti semua murid lintas agama atau kalau mau dilaksanakan doa dengan cara agama tertentu, murid-murid yang berkeyakinan lain, diizinkan untuk tidak ikut berdoa.

Tapi, seperti sudah diduga, wawasan Menteri Anis Baswedan yang muslim dan golkar (golongan keturunan Arab) ini serta-merta menuai kritik dan protes. Demikian juga tentang UN (ujian nasional) di masa Mendikbud Muh Nuh yang penuh kontroversi. Pokoknya banyak yang tidak setuju, di sampingadayangsetujuataubahkan sangat setuju. Jadi memang menyeragamkan pendidikan itu sangat sulit. Itubarutarafnasional, apalagi taraf internasional.

Pada tahun 1971, seorang pastor Katolik keturunan Austria, Ivan Illich, menerbitkan sebuah buku yang sangat fenomenal berjudul Deschooling Society. Dalam buku itu ia mengatakan bahwa menyeragamkan pendidikan sangat tidak mungkin. Setiap komunitas di Eropa mempunyai budaya dan kebiasaan masing-masing. Bahkan setiap individu punya bakat dan minat sendiri-sendiri.

Penyeragaman berarti pelembagaan. Pelembagaan pendidikan dan pranatapranata masyarakat berarti pemaksaan dan setiap pemaksaan merupakan potensi atau sumber konflik. Hal itulah yang sekarang ini (tahun 2014) sedang terjadi di seluruh dunia! Sebuah sistem pendidikan yang baik, menurut Inkelles, harus punya tiga tujuan:

(1) memungkinkan semua orang yang ingin belajar untuk bisa mengakses sumber-sumber pelajaran setiap saat sepanjang umurnya, (2) mendorong setiap orang yang punya pengetahuan dan keahlian untuk berbagi dengan setiap orang lain yang membutuhkan pengetahuan dan keahliannya itu, dan (3) menyediakan sarana bagi setiap orang yang punya wawasan, temuan, atau kritikan tentang hal-hal tertentu untuk menyajikannya kepada publik, agar setiap orang bisa membahasnya secara terbuka.

Jawaban terhadap masalah ini, kata Illich, adalah website melalui jaringan internet. Di tahun 1972-1973, ketika bersekolah di Universitas Edinburgh, Inggris, saya masih buta komputer, apalagi internet. Bahkan sebagian pembaca, belum ada di dunia ketika itu. Tapi Illich sudah bicara tentang internet pada tahun 1971, ketika Jokowi masih berusia 10 tahun, masih SD, dan suka berenang di kali di belakang rumahnya di Solo.

Apa yang diramalkan Illich sudah jadi realitas sekarang. Bukan lagi hanya di AS atau Eropa, tetapi juga di Indonesia, di era Jokowi sudah jadi presiden. Masyarakat Indonesia adalah salah satu pengguna internet terbesar di dunia, puluhan provider internet melayani sektor dunia maya ini, pemerintah punya kementrian sendiri, dan pemerintah juga mendorong elektronisasi di semua sektor, termasuk sektor pendidikan, sampai ke kampung dan pelosok di daerah terluar sekalipun.

Jadi apalagi yang ditunggu? Beberapa pendidikan formal sampai tingkat yang tertinggi boleh dipertahankan (tentu harus ada yang menghasilkan peneliti, doktor, dokter, lawyer atau profesional lainnya dan profesor) dan belajar tingkat calistung (baca, tulis, hitung) boleh diwajibkan terus untuk mencegah buta huruf dan memungkinkan orang untuk memakai internet.

Selebihnya biarkan orang belajar sendiri sesuai dengan kemampuan dan minat masing-masing. Mau belajar kuliner, treking, PR, marketing , musik, bahkan jadi selebritas agar bisa masuk infotainment, silakan pilih sendiri. Tapi awas : orang belajar merakit bom juga bisa dari internet. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar