Keajaiban
Melahirkan Solidaritas
Toeti Prahas Adhitama ; Anggota Dewan Redaksi
Media Group
|
MEDIA
INDONESIA, 28 November 2014
WALAUPUN pesta demokrasi sukses,
sikap anarkistis menentang harga BBM yang dipertontonkan di TV menunjukkan
betapa sulitnya mencapai solidaritas antarkita. Lebih-lebih itu untuk sesuatu
yang dipersepsikan bukan sebagai kebutuhan bersama. Misalnya, BBM menjadi
kepentingan bersama. Akan tetapi, naik-turunnya harga BBM menimbulkan
pengaruh yang bervariasi, tergantung pada jenis usaha yang dilakukan.
Umumnya, masyarakat memang merasa dirugikan. Para pedagang di pasar menjerit
karena naiknya ongkos angkutan yang berimbas pada kenaikan harga dagang an
mereka. Tetapi, pedagang bahan bakar malah mencari keuntungan. Mengapa tidak
memanfaatkan kesempatan? Kapan lagi keuntungan akan berlalu-lalang? Itulah
yang bergolak di otak manusia.
Sebenarnya, alam cenderung
mengajarkan lain. Perhatikan kisah filsuf Schweitzer, yakni tersebutlah
kawanan burung angsa yang setelah terbang beberapa jam akhirnya turun
beristirahat di sebuah kolam. Di sana mereka riuh memandikan diri. Ketika
mereka sedang bersukaria, lewatlah seorang manusia.
Kawanan burung angsa itu
menjadi cemas karena mengenal betapa jailnya manusia kalau sedang bangkit
keusilan mereka. Kebetulan yang mampir memang manusia jail. Ia menangkap
seekor burung angsa dan memotong beberapa helai sayap sekadar untuk memenuhi
kejahilannya. Maka, ketika tiba waktunya kawanan itu akan terbang kembali
untuk meneruskan perjalanan, terpaksa gagal. Burung angsa yang bulunya rusak
bersusah payah mencoba terbang, tetapi sia-sia. Mereka bersama memutuskan
untuk menunggu. Mereka solider. Setelah beberapa hari, mereka baru berhasil
meneruskan perjalanan.
Kisah itu ditulis Albert
Schweitzer (1875-1965), filsuf dan teolog terkenal dari Prancis Timur, yang
kemudian dikenal sebagai tokoh etis universal. Kisahnya ialah sindiran bahwa
manusia yang menganggap dirinya berperikemanusiaan toh kalah etis dari angsa
yang binatang biasa. Alam diasumsikan menghendaki etika. Tidak jarang kita
pun sering melihat binatang-binatang. Misalnya, kambing, domba, atau sapi
ikut melelehkan air mata ketika melihat rekan-rekan mereka dijadikan korban.
Mereka pun berperasaan bahkan ada rasa solidaritas.
Kalau kita kembali ke alam
penghidupan manusia, mungkinkah ilmu menemukan jawaban untuk Schweitzer yang
bisa membuktikan bahwa manusia lebih memiliki nurani etika daripada binatang?
Lalu, mampu menemukan jalan keluar yang bisa diterima semua? Atau kita
menyerah pada hukum yang sering membuktikan bahwa kita hanya dapat
mempertahankan kehidupan dengan mengorbankan kehidupan jenis lain? Sebab,
sepanjang sejarah peradaban manusia, itulah yang kita telah saksikan dan
jalani.
Haruskah ada peradaban baru yang
etikal? Haruskah ada renaissance yang membuat sesama manusia sama rasa dan
sama rata? Dengan akal dan kecanggihannya, diharapkan manusia pada akhirnya
akan mampu menemukan cara yang sama-sama tidak merugikan. Sementara ini memang
belum. Tetapi, sejarah peradaban membuktikan tidak ada yang berjalan
langgeng. Suatu saat kita akan menemukan rumus yang melahirkan keajaiban. Mungkin
bahan, sistem, atau caranya. Dari sana diharapkan lahir suatu renaissance
yang membuat isi seluruh jagat raya bersukaria. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar