Rabu, 03 Desember 2014

Keajaiban Melahirkan Solidaritas

                             Keajaiban Melahirkan Solidaritas

Toeti Prahas Adhitama ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 28 November 2014

                                                                                                                       


WALAUPUN pesta demokrasi sukses, sikap anarkistis menentang harga BBM yang dipertontonkan di TV menunjukkan betapa sulitnya mencapai solidaritas antarkita. Lebih-lebih itu untuk sesuatu yang dipersepsikan bukan sebagai kebutuhan bersama. Misalnya, BBM menjadi kepentingan bersama. Akan tetapi, naik-turunnya harga BBM menimbulkan pengaruh yang bervariasi, tergantung pada jenis usaha yang dilakukan. Umumnya, masyarakat memang merasa dirugikan. Para pedagang di pasar menjerit karena naiknya ongkos angkutan yang berimbas pada kenaikan harga dagang an mereka. Tetapi, pedagang bahan bakar malah mencari keuntungan. Mengapa tidak memanfaatkan kesempatan? Kapan lagi keuntungan akan berlalu-lalang? Itulah yang bergolak di otak manusia.

Sebenarnya, alam cenderung mengajarkan lain. Perhatikan kisah filsuf Schweitzer, yakni tersebutlah kawanan burung angsa yang setelah terbang beberapa jam akhirnya turun beristirahat di sebuah kolam. Di sana mereka riuh memandikan diri. Ketika mereka sedang bersukaria, lewatlah seorang manusia. 

Kawanan burung angsa itu menjadi cemas karena mengenal betapa jailnya manusia kalau sedang bangkit keusilan mereka. Kebetulan yang mampir memang manusia jail. Ia menangkap seekor burung angsa dan memotong beberapa helai sayap sekadar untuk memenuhi kejahilannya. Maka, ketika tiba waktunya kawanan itu akan terbang kembali untuk meneruskan perjalanan, terpaksa gagal. Burung angsa yang bulunya rusak bersusah payah mencoba terbang, tetapi sia-sia. Mereka bersama memutuskan untuk menunggu. Mereka solider. Setelah beberapa hari, mereka baru berhasil meneruskan perjalanan.

Kisah itu ditulis Albert Schweitzer (1875-1965), filsuf dan teolog terkenal dari Prancis Timur, yang kemudian dikenal sebagai tokoh etis universal. Kisahnya ialah sindiran bahwa manusia yang menganggap dirinya berperikemanusiaan toh kalah etis dari angsa yang binatang biasa. Alam diasumsikan menghendaki etika. Tidak jarang kita pun sering melihat binatang-binatang. Misalnya, kambing, domba, atau sapi ikut melelehkan air mata ketika melihat rekan-rekan mereka dijadikan korban. Mereka pun berperasaan bahkan ada rasa solidaritas.

Kalau kita kembali ke alam penghidupan manusia, mungkinkah ilmu menemukan jawaban untuk Schweitzer yang bisa membuktikan bahwa manusia lebih memiliki nurani etika daripada binatang? Lalu, mampu menemukan jalan keluar yang bisa diterima semua? Atau kita menyerah pada hukum yang sering membuktikan bahwa kita hanya dapat mempertahankan kehidupan dengan mengorbankan kehidupan jenis lain? Sebab, sepanjang sejarah peradaban manusia, itulah yang kita telah saksikan dan jalani.

Haruskah ada peradaban baru yang etikal? Haruskah ada renaissance yang membuat sesama manusia sama rasa dan sama rata? Dengan akal dan kecanggihannya, diharapkan manusia pada akhirnya akan mampu menemukan cara yang sama-sama tidak merugikan. Sementara ini memang belum. Tetapi, sejarah peradaban membuktikan tidak ada yang berjalan langgeng. Suatu saat kita akan menemukan rumus yang melahirkan keajaiban. Mungkin bahan, sistem, atau caranya. Dari sana diharapkan lahir suatu renaissance yang membuat isi seluruh jagat raya bersukaria. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar