Selasa, 16 Desember 2014

“Bisnis” Ahli di Sidang Konstitusi

“Bisnis” Ahli di Sidang Konstitusi

Susana Rita  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS,  16 Desember 2014

                                                                                                                       


SORE itu Saldi Isra meradang. Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Padang, itu menegaskan posisinya untuk tidak menerima ”pesanan”. Ia juga menegaskan, pendapatnya tidak dikendalikan pemerintah yang menghadirkannya sebagai ahli dalam sidang di Mahkamah Konstitusi.

Saya tahu betul sebagai seorang ahli, apa maknanya disumpah. Jadi, saya berharap, kita yang ada di dalam ruangan ini, termasuk Yang Mulia Pak Patrialis (hakim konstitusi Patrialis Akbar), jangan lalu berpikir kita ini dikendalikan para peminta (sebagai ahli). Saya jadi ahli di MK sendiri sejauh ini tidak pernah mau dititipi oleh orang yang meminta (sebagai ahli) apa yang harus saya katakan. Itu integritas saya,” kata Saldi. Ketika itu, ia menjadi ahli dari pihak pemerintah terkait uji materi Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan.

Ungkapan itu dilontarkan untuk menjawab apa yang dikemukakan Patrialis Akbar sebelumnya. Patrialis menyatakan, berdasarkan pengalamannya selama setahun berada di MK, keterangan ahli yang disampaikan ke MK sangat bergantung kepada siapa yang mendatangkan. Ia pun meminta agar para ahli memberikan masukan ke MK demi kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar dan menghindari posisi siapa yang mendatangkan.

Keberadaan ahli di dalam persidangan MK, khususnya untuk perkara pengujian undang-undang (PUU), sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN), dan kadang sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), memang teramat signifikan. Ahli dihadirkan untuk menguatkan dalil permohonan atau bantahan, dan untuk meyakinkan hakim konstitusi guna menerima dalil-dalil yang dimaksud. Dalam perkara PUU dan SKLN, yang terjadi adalah ”perang” dalil dan ahli.

Pentingnya menghadirkan ahli pada akhirnya menjadi sebuah ladang tersendiri. Ladang untuk bertempur gagasan, mengasah dan menguji ketajaman pemikiran, tetapi juga sekaligus ladang penghasil pundi-pundi rupiah. Apakah nilai ekonomis itu menjadi sebuah konsekuensi ataukah justru menjadi tujuan, masing-masing ahlilah yang bisa menjawabnya.

Seberapa besar sebenarnya peredaran rupiah di dalam ”bisnis” itu? Selama ini, hal itu hanya menjadi bisik-bisik di antara sesama ahli, pengacara, dan orang-orang yang peduli dengan peradilan konstitusi. Tulisan ini mencoba memaparkan bisik-bisik tersebut.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, honor atau uang kehormatan di balik keterangan ahli berkisar antara nol rupiah alias gratis hingga ratusan juta rupiah. Bahkan, seorang ahli yang kondang dan sangat diakui, baik kecerdasan maupun pengalamannya, bisa mengantongi Rp 1 miliar untuk keterangannya di muka persidangan selama kurang lebih 15 menit hingga 30 menit.

Tak ada standar yang pasti mengenai berapa nilai keterangan seorang ahli harus dihargai. Terkadang, latar belakang akademis dan pengalaman si ahli sangat menentukan sehingga honor untuk seorang profesor tentu berbeda dengan yang belum profesor. Honor untuk mantan hakim konstitusi (meski belum profesor) tentu beda standarnya dengan mereka yang bukan mantan hakim. Namun, hal itu bisa dikalahkan kedekatan dengan pemohon/advokatnya atau oleh kesamaan pemahaman dan ideologi terhadap suatu kasus.

Beberapa waktu lalu, Kompas bertemu guru besar hukum yang sempat diminta menjadi salah satu ahli dalam persidangan sengketa pilpres. Menurut dia, tawaran pertama yang disampaikan agar bersedia menjadi ahli di pihak mereka adalah sebesar Rp 300 juta. ”Itu baru pembukaan lo,” ungkapnya.

Meski ada nilai ekonomis yang tinggi di wilayah itu, ahli hukum tata negara dan pemilu, Refly Harun, tak sepakat dengan istilah bisnis ahli. Memang ada nilai ekonomis di dalamnya, tetapi tak bisa juga disebut bisnis. ”Ini sebenarnya masalah rezeki saja. Pekerjaan saya setiap hari adalah membaca, menulis, dan berbicara. Kalau dari proses ini ada konsekuensi (ekonomi), ya syukur saja. Artinya, orang menghargai apa yang kita pikirkan. Kita tidak membisniskannya, tetapi honor yang datang dari situ merupakan penghargaan terhadap pengetahuan dan pengalaman,” ungkap Refly.

Hal itu pula yang diungkapkan pengamat pemilu Said Salahuddin. Said yang selama sengketa pileg dan pilpres lalu sering muncul di sidang MK mengatakan, istilah bisnis tak pas. Sebab, ia tak pernah menawarkan diri dan mengajukan proposal untuk menjadi ahli.

”Dan, saya tak mematok tarif. Saya cuma bilang (soal honor) ya sepantasnya saja, sewajarnya saja. Akibatnya, berapa pun yang diberikan, ya saya terima. Tak pernah komplain atau mengeluh soal itu,” ungkap Said saat ditanya mengenai berapa harga yang ditetapkannya ketika diminta menjadi ahli.

Selama hampir dua tahun berkecimpung menjadi ahli, Said mengaku mendapatkan penghargaan (baca honor) paling minimal Rp 20 juta. Untuk honor maksimal, ia enggan menyebut termasuk ketika ditanya tentang honor menjadi ahli dalam sengketa pilpres lalu.

Refly pun mengaku tak memasang tarif. Nominal yang pernah diterimanya tahunan menjadi ahli di MK antara nol rupiah (alias gratis) hingga Rp 75 juta. Ia pernah memperoleh Rp 3,8 juta dari instansi pemerintah. Selain itu, menjadi ahli secara gratis dilakukan untuk persoalan-persoalan yang diadvokasi bersama dengan masyarakat sipil lainnya.

Merogoh lebih dalam

Menjadi ahli di MK menjadi ladang yang menggiurkan terutama dalam sengketa pemilu atau pilkada. Orang berani merogoh kocek lebih dalam untuk mendatangkan ahli mumpuni dan hebat mengingat kasus itu sangat terkait dengan kepentingan yang nyata dari para pihak. Padahal, dalam sengketa pemilu, kemenangan atau kekalahan dalam perkara sengketa sangat bergantung pada fakta yang terungkap di persidangan, bukan pada keterangan ahli.

”Perkara itu tak akan menang betapa pun hebatnya ahli yang didatangkan untuk mendukung dalil-dalil permohonan. Meski ahli yang didatangkan dari langit sekalipun, tak akan mengubah hal itu,” kata Refly.

Hal senada diungkapkan advokat Taufik Basari. Setelah berpengalaman mendampingi calon kepala daerah bersengketa di MK, Taufik terkadang tidak menyarankan perlunya menghadirkan ahli untuk perkara PHPU. Ahli dibutuhkan jika ada persoalan hukum yang harus dielaborasi, tetapi bukan menilai fakta. Menilai fakta adalah domain hakim konstitusi.

”Karenanya, saya terkadang ke pemohon principal supaya tidak perlu menghadirkan ahli. Habis-habisin duit saja. Apalagi kalau hanya menerangkan tentang pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif. Hakim tak akan tertarik mendengarnya,” kata Taufik.

Meski ada nilai ekonomi di balik keterangan ahli, Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan, masih banyak ahli yang cukup independen dan tak terpengaruh siapa yang mendatangkan. Selama berada di MK, ia memang beberapa kali menemukan ahli yang mengemukakan pendapat secara tak logis atau memaksakan diri. Namun, jumlah ahli semacam itu tak banyak.

Hamdan menilai, wajar saja jika ahli mengemukakan pendapat yang sejalan dengan pihak yang mendatangkannya ke MK. Bukan karena semata-mata masalah uang, tetapi pihak beperkara sendiri tentunya tak mendatangkan ahli yang melemahkan dalilnya.

Pendapat ahli, tambah Hamdan, merupakan alat bukti yang tidak mengikat hakim untuk mengikutinya. MK telah memiliki dua macam cara bagaimana mempertimbangkan keterangan ahli. Pertama, apabila MK setuju dengan pendapat salah satu ahli, MK akan mengambil alih pendapat tersebut menjadi pendapat MK. Kedua, apabila tidak setuju, MK mengungkapkan pendapat sendiri yang secara tidak langsung menegasikan pendapat ahli.

Demikian sekelumit catatan mengenai ahli dan putaran rupiah di baliknya. Setidaknya, pihak-pihak yang hendak beperkara di MK bisa bersiap diri jika hendak berjuang merebut hak konstitusionalnya yang dikorbankan oleh ketentuan UU.

Sesuai catatan MK, jumlah pemohon uji materi UU dari tahun ke tahun meningkat. Warga sudah mulai sadar bagaimana merebut haknya. Ada baiknya, mereka sadar pula ada rupiah yang harus dibayarkan dalam mencapai tujuannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar