Rabu, 13 Agustus 2014

Upacara 17 Agustus 1945 Sederhana Tanpa Protokol

Upacara 17 Agustus 1945 Sederhana Tanpa Protokol

Parni Hadi  ;   Wartawan dan Aktivis Sosial
SINAR HARAPAN, 12 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Jangan bayangkan kemegahan dan kemeriahan upacara Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus 1945. Waktu itu. semuanya serbadarurat.

Tiang benderanya hanya bambu panjang yang dipotong secara tergesa-gesa dan ditanam hanya beberapa saat sebelum acara dimulai. Buatannya kasar dan tidak begitu tinggi. Upacara itu tidak memakai protokol. Tak seorang pun ditugaskan. Tidak ada yang berlangsung menurut acara karena memang tidak ada acara.

“Upacara berlangsung sederhana saja. Akan tetapi, apa-apa yang kurang dalam kemegahannya, kami penuhi dalam pengharapan, “ demikian tutur Bung Karno, presiden pertama dalam autobiografinya, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis wartawan Amerika, Cindy Adams.

Dalam buku yang terbit pada 6 Juni 1966, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-65, sang proklamator berkisah tentang kesederhanaan jalannya peristiwa terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia

“Aku berjalan ke arah pengeras suara yang dicuri dari stasiun radio Jepang dan dengan ringkas mengucapkan pernyataan kemerdekaan kami. Istriku (Fatmawati-red) telah membuat sebuah bendera dari dua potong kain putih dan sepotong kain merah. Ia menjahitnya dengan tangan. Ini adalah bendera pertama dari republik ini,” ucap Bung Karno.

Tidak ada yang ditugaskan mengerek bendera. Tiada persiapan untuk itu. Tak seorang pun juga berpikir sampai ke situ.

Kapten Latif Hendraningrat sebagai salah seorang di antara segelintir yang berpakaian seragam berada di dekat tiang. Setiap orang menunggu dengan tegang ketika ia mengambil bendera itu, mengikatkannya ke tali, dan mengibarkannya seorang diri dengan kebanggaan. Ya, ini untuk pertama kali setelah tiga setengah abad. Tidak ada musik. Tidak ada barisan gadis cantik. Setelah bendera naik melambai-lambai, peserta upacara menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.

Tanggal 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jumat dalam bulan Ramadan. Menurut penanggalan Jawa, hari itu adalah Jumat legi yang dipercaya membawa berkah.

Seiring usia RI, upacara 17 Agustus berkembang semakin megah dan meriah dengan iringan dentuman meriam 17 kali dan aubade. Upacara 17 Agustus 2014 yang jatuh pada Minggu pasti telah dirancang dengan penuh kemegahan, kesyahduan, kemeriahan, dan keceriaan seperti tahun-tahun sebelumnya.

Rekonsiliasi Anak Bangsa

Peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-69 RI tahun ini didahului pemilihan legislatif (pileg), Ramadan, pemilihan presiden (pilpres), Lebaran dan halalbihalal, serta menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai siapa yang akan menjadi Presiden Ketujuh RI.

Dimulai dengan puasa, tak terasa bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim telah menjalani 70 kali puasa Ramadan sejak menjadi bangsa merdeka. Puasa Ramadan sering dimaknai sebagai latihan pengendalian diri selama sebulan penuh. Puasa juga dapat disamakan dengan perjuangan menuju kemerdekaan untuk bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada bulan Ramadan.

Pada akhir Ramadan, kita merayakan Idul Fitri yang sering disebut hari kemenangan karena telah berhasil mengendalikan nafsu selama sebulan penuh. Jadi, Idul Fitri dapat pula dimaknai sebagai hari kemerdekaan setelah berhasil mengalahkan penjajahan setan. Tentu, ini bukan kemerdekaan dalam arti kebebasan untuk berbuat apa saja dengan melanggar hukum agama dan negara, termasuk korupsi.

Semingu menjelang dan setelah Idul Fitri, kita disibukkan dengan ingar-bingar kegiatan rutin mudik dan balik Lebaran. Untuk Lebaran 1435 Hijriah, tercatat 30 juta orang mudik atau pulang kampung. Demi bertemu dan bersatu kembali dengan anggota keluarga di kampung halaman, mereka rela mengalami kemacetan sampai 30 jam, baik waktu mudik maupun balik.
Karena mudik Lebaran 20214 berlangsung menjelang HUT proklamasi, sejumlah organisasi kemasyarakatan, termasuk Dompet Dhuafa, bekerja sama dengan pramuka dan Radio Republik Indonesia (RRI), menyelenggarakan program mudik Merah Putih. Tujuannya adalah merukunkan kembali anak bangsa setelah pileg dan pilpres.

Setelah Idul Fitri selama sebulan penuh, selama Syawal kita disibukkan dengan kegiatan halalbihalal, mohon maaf lahir batin di lingkungan tempat tinggal dan kantor. Ini tetap dilakukan, walaupun sudah saling berkirim ucapan melalui telepon, short message service (SMS), Facebook, Twitter, dan sarana media sosial lainnya sebelumnya.

Alasannya, kurang afdol jika tidak bertatap muka, bersalaman, dan juga makan enak bersama. Semoga halalbihalal tahun ini efektif sebagai sarana rekonsiliasi nasional. Itu karena bangsa ini habis terbelah dua gara-gara pilpres.

Siapa pun presiden dan wakil presiden (wapres) yang ditetapkan MK, persatuan adalah modal terpenting dan termahal bagi bangsa Indonesia. Ini dicontohkan Bung Karno ketika didesak para pemuda untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.

“Hatta tidak ada, saya tidak mau mengucapkan proklamasi jika Hatta tidak ada,” tutur Bung Karno meminta kehadiran Bung Hatta (Mohammad Hatta) yang berasal dari Sumatera.

Ini demi persatuan dan dukungan dari rakyat pulau terbesar kedua Indonesia itu.

“Dalam detik yang gawat dalam sejarah inilah Soekarno dan Tanah Air Indonesia menunggu kedatangan Hatta,” kata Bung Karno, yang bersama Bung Hatta kemudian dikenal sebagai dwitunggal yang memandu perjalanan sejarah RI.

Mohon maaf lahir batin. Dirgahayu RI. Sekali merdeka tetap merdeka!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar