Upacara 17 Agustus
1945 Sederhana Tanpa Protokol
Parni Hadi ;
Wartawan dan Aktivis
Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 12 Agustus 2014
Jangan bayangkan kemegahan dan kemeriahan upacara Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada 17 Agustus 1945. Waktu itu. semuanya
serbadarurat.
Tiang benderanya hanya bambu panjang yang dipotong secara
tergesa-gesa dan ditanam hanya beberapa saat sebelum acara dimulai. Buatannya
kasar dan tidak begitu tinggi. Upacara itu tidak memakai protokol. Tak
seorang pun ditugaskan. Tidak ada yang berlangsung menurut acara karena
memang tidak ada acara.
“Upacara berlangsung
sederhana saja. Akan tetapi, apa-apa yang kurang dalam kemegahannya, kami
penuhi dalam pengharapan, “ demikian
tutur Bung Karno, presiden pertama dalam autobiografinya, Bung Karno,
Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis wartawan Amerika, Cindy Adams.
Dalam buku yang terbit pada 6 Juni 1966, bertepatan dengan ulang
tahunnya yang ke-65, sang proklamator berkisah tentang kesederhanaan jalannya
peristiwa terpenting dalam sejarah bangsa Indonesia
“Aku berjalan ke arah
pengeras suara yang dicuri dari stasiun radio Jepang dan dengan ringkas
mengucapkan pernyataan kemerdekaan kami. Istriku (Fatmawati-red) telah
membuat sebuah bendera dari dua potong kain putih dan sepotong kain merah. Ia
menjahitnya dengan tangan. Ini adalah bendera pertama dari republik ini,” ucap Bung Karno.
Tidak ada yang ditugaskan mengerek bendera. Tiada persiapan
untuk itu. Tak seorang pun juga berpikir sampai ke situ.
Kapten Latif Hendraningrat sebagai salah seorang di antara
segelintir yang berpakaian seragam berada di dekat tiang. Setiap orang
menunggu dengan tegang ketika ia mengambil bendera itu, mengikatkannya ke
tali, dan mengibarkannya seorang diri dengan kebanggaan. Ya, ini untuk
pertama kali setelah tiga setengah abad. Tidak ada musik. Tidak ada barisan
gadis cantik. Setelah bendera naik melambai-lambai, peserta upacara
menyanyikan lagu “Indonesia Raya”.
Tanggal 17 Agustus 1945 jatuh pada hari Jumat dalam bulan
Ramadan. Menurut penanggalan Jawa, hari itu adalah Jumat legi yang dipercaya
membawa berkah.
Seiring usia RI, upacara 17 Agustus berkembang semakin megah dan
meriah dengan iringan dentuman meriam 17 kali dan aubade. Upacara 17 Agustus
2014 yang jatuh pada Minggu pasti telah dirancang dengan penuh kemegahan,
kesyahduan, kemeriahan, dan keceriaan seperti tahun-tahun sebelumnya.
Rekonsiliasi Anak Bangsa
Peringatan hari ulang tahun (HUT) ke-69 RI tahun ini didahului
pemilihan legislatif (pileg), Ramadan, pemilihan presiden (pilpres), Lebaran
dan halalbihalal, serta menunggu keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai
siapa yang akan menjadi Presiden Ketujuh RI.
Dimulai dengan puasa, tak terasa bangsa Indonesia yang mayoritas
penduduknya muslim telah menjalani 70 kali puasa Ramadan sejak menjadi bangsa
merdeka. Puasa Ramadan sering dimaknai sebagai latihan pengendalian diri
selama sebulan penuh. Puasa juga dapat disamakan dengan perjuangan menuju
kemerdekaan untuk bangsa Indonesia yang memproklamasikan kemerdekaannya pada
bulan Ramadan.
Pada akhir Ramadan, kita merayakan Idul Fitri yang sering
disebut hari kemenangan karena telah berhasil mengendalikan nafsu selama
sebulan penuh. Jadi, Idul Fitri dapat pula dimaknai sebagai hari kemerdekaan
setelah berhasil mengalahkan penjajahan setan. Tentu, ini bukan kemerdekaan
dalam arti kebebasan untuk berbuat apa saja dengan melanggar hukum agama dan
negara, termasuk korupsi.
Semingu menjelang dan setelah Idul Fitri, kita disibukkan dengan
ingar-bingar kegiatan rutin mudik dan balik Lebaran. Untuk Lebaran 1435
Hijriah, tercatat 30 juta orang mudik atau pulang kampung. Demi bertemu dan
bersatu kembali dengan anggota keluarga di kampung halaman, mereka rela
mengalami kemacetan sampai 30 jam, baik waktu mudik maupun balik.
Karena mudik Lebaran 20214 berlangsung menjelang HUT proklamasi,
sejumlah organisasi kemasyarakatan, termasuk Dompet Dhuafa, bekerja sama
dengan pramuka dan Radio Republik Indonesia (RRI), menyelenggarakan program
mudik Merah Putih. Tujuannya adalah merukunkan kembali anak bangsa setelah
pileg dan pilpres.
Setelah Idul Fitri selama sebulan penuh, selama Syawal kita
disibukkan dengan kegiatan halalbihalal, mohon maaf lahir batin di lingkungan
tempat tinggal dan kantor. Ini tetap dilakukan, walaupun sudah saling
berkirim ucapan melalui telepon, short
message service (SMS), Facebook, Twitter, dan sarana media sosial lainnya
sebelumnya.
Alasannya, kurang afdol jika tidak bertatap muka, bersalaman,
dan juga makan enak bersama. Semoga halalbihalal tahun ini efektif sebagai
sarana rekonsiliasi nasional. Itu karena bangsa ini habis terbelah dua
gara-gara pilpres.
Siapa pun presiden dan wakil presiden (wapres) yang ditetapkan
MK, persatuan adalah modal terpenting dan termahal bagi bangsa Indonesia. Ini
dicontohkan Bung Karno ketika didesak para pemuda untuk segera menyatakan
kemerdekaan Indonesia.
“Hatta tidak ada, saya
tidak mau mengucapkan proklamasi jika Hatta tidak ada,” tutur Bung Karno meminta kehadiran Bung Hatta (Mohammad Hatta)
yang berasal dari Sumatera.
Ini demi persatuan dan dukungan dari rakyat pulau terbesar kedua
Indonesia itu.
“Dalam detik yang gawat
dalam sejarah inilah Soekarno dan Tanah Air Indonesia menunggu kedatangan
Hatta,” kata Bung Karno, yang bersama Bung Hatta
kemudian dikenal sebagai dwitunggal yang memandu perjalanan sejarah RI.
Mohon maaf lahir batin.
Dirgahayu RI. Sekali merdeka tetap merdeka! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar