Minggu, 03 Agustus 2014

Revolusi Mental Mahatma Gandhi

                            Revolusi Mental Mahatma Gandhi

Christina M Udiani  ;   Editor Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia
KOMPAS, 26 Juli 2014
                                                


Sejak Joko Widodo menulis di harian ini (10/5/2014), revolusi mental seolah menyatu dan selalu dikaitkan dengannya. Tak banyak yang mempersoalkan dari mana konsep ini. Ada yang menyebut dari komunis, mungkin sebagai bagian dari kampanye hitam, ada pula yang menyatakan sebagai konsep Gandhi.

Tulisan ini tak hendak membicarakan asal-usul konsep revolusi mental karena Gandhi pun mengakui bahwa pemikiran dan tindakannya banyak dipengaruhi oleh para pemikir, seperti John Ruskin dengan bukunya Unto This Last, Leo Tolstoy dengan Kingdom of God is Within You, ataupun Walden dan Thoureau.

Tidak seperti politisi yang mengandalkan retorika, Gandhi memulai revolusi mental dari dirinya. Ia mengganti pakaiannya dengan selembar khadi (kain tenunan tangan). Khadi menjadi pernyataan sekaligus senjata politik, sosial, ekonomi, dan terutama moral untuk melawan kekuasaan penjajah. Gandhi menyatakan kepada rakyatnya, ”Taruhlah khadi di tanganku, maka akan kuberikan kemerdekaan kepadamu.”

Kagumi Eropa

Gandhi bukan pejuang kemerdekaan dari awal. Lazimnya pemuda terdidik dalam tradisi kolonial Inggris, Gandhi muda juga silau dengan kemilau budaya Eropa. Ketika tinggal di London, Gandhi suka membeli setelan jas di Bond Street, pusat adibusana Inggris zaman itu.

Pengalaman dipersulit mendapat tiket kereta kelas satu karena dia warga India juga tak mengubah kekaguman Gandhi kepada Eropa. Ia juga tak melawan pendapat Ratu Victoria bahwa orang India itu ada dua, yang tercerahkan dan yang terbelakang. Agar masuk golongan tercerahkan, Gandhi mengharuskan istri dan anaknya berpakaian ala Eropa.

Keyakinan ini berubah saat menghadiri audiensi dengan Wakil Ratu Inggris di India Club, Kalkutta, pada 1901. Beberapa tokoh masyarakat India yang hadir mengenakan celana dengan baju seperti pelayan, bukan dhoti. Seorang di antara tokoh itu berbicara kepada Gandhi, ”Kau lihat bedanya kami dengan pelayan? Orang-orang itu pelayan kita, kita adalah pelayan Lord Curzon. Kalau hadir dengan pakaian kita yang biasa, bisa dianggap menghina.”

Dalam perjalanan mengelilingi India, Gandhi mulai duduk di kelas tiga, mengenakan mantel wol panjang, kemeja, dan dhoti, bukan celana. Namun, pulang ke Bombai, ia kembali berpakaian necis layaknya pengacara. Baru pada 1906, lima tahun setelah audiensi dan setelah memulai gerakan Satyagraha (truth force) di Afrika Selatan, Gandhi benar-benar meninggalkan pakaian Eropa dan mengenakan khadi.

Revolusi mental

Apa hubungan khadi dengan revolusi mental? Akhir abad ke-19, sebelum Gandhi memutuskan gerakan khadi, ekonomi India merosot tajam. Pada 1800-an, India adalah negeri pengekspor tekstil ternama di Asia. Dari Kalkuttta saja, ekspor mencapai 20 juta rupee setahun. Seratus tahun kemudian, keadaan berbalik. India harus mengimpor pakaian, terutama dari Manchester senilai 660 juta rupee setahun.

Banyak pabrik tekstil lokal bangkrut. Pengangguran menjadi-jadi dan kemiskinan merebak. Seperti ditulis oleh Gandhi dalam Hind Swaraj, ”Akibat paling tragis kekuasaan Inggris saat ini adalah 20 juta lebih rakyat India terpaksa menganggur.”

Namun, Gandhi tidak langsung melarang rakyat menggunakan produk asing. ”Lebih baik kita mengirim uang ke Manchester dan menggunakan kain tipis buatan Manchester daripada menggandakan pabrik-pabrik di India. Dengan menggunakan kain dari Manchester, kita hanya menghamburkan uang, tapi memproduksi kain dari Manchester di India kita akan mempertahankan uang kita dengan bayaran darah karena moral kita diisap habis,” tulisnya dalam Hind Swaraj.

Moral menjadi pertimbangan utama kebijakan ekonomi ini sekalipun bagi sejumlah lawan politiknya, sikap ini dipandang sangat tidak tegas dan pro-penjajah. Namun, sekadar menyalahkan dan mengusir Inggris, menurut Gandhi, tidak menyelesaikan masalah. Dia mengecam tajam kolonialisme, tetapi tidak membenci orang Inggris.
”Inggris tidak merebut India; kita yang memberikannya. Mereka di India bukan karena kekuatan mereka, tetapi karena kita menahannya… Siapa yang tergiur melihat perak mereka? Siapa yang membeli barang-barang mereka? Sejarah menyaksikan, kitalah pelakunya… Kita membantu mereka.”

Dengan landasan moral itu, pada 1917 Gandhi mulai mengajak bangsanya bermental Swadeshi. Swadeshi tidak hanya berarti memenuhi kebutuhan dengan yang tersedia, tetapi sekaligus ”Kendalikanlah kebutuhan Anda.” Maka, menenun khadi menjadi simbol sekaligus praktik Swadhesi.

Gerakan menenun dan menggunakan khadi memuncak pada 1922 ketika Gandhi tampil di depan umum dalam balutan kain utuh tak berjahit. Sejak itu, Gandhi tak pernah lepas dari khadi: simbol gerakan moral dan politik—Satyagraha—dan gerakan ekonomi—Swadeshi.

Gandhi percaya memproduksi dan menggunakan kain tenunan tangan merupakan bagian dari pengasahan kekuatan batin untuk menggantikan peradaban Eropa dengan Satyagraha. ”Pikiran itu seperti burung yang tak pernah berhenti terbang; semakin banyak yang didapat, semakin banyak yang diinginkan. Semakin kita umbar, semakin tak terkendali nafsu kita.”

Di sini Gandhi jelas bersikeras, gerakan ekonomi dan politik tak mungkin lepas dari suatu gerakan moral, dari khadi, simbol keutamaan moralitas. Sebaliknya, khadi atau keutamaan moralitas juga bisa menjadi pernyataan politis yang sangat tajam.

Menjawab kritik karena mengenakan selembar kain saja ketika mengikuti Konferensi Meja Bundar di London, Gandhi menulis, ”Pakaian saya, ditulis surat kabar sebagai kain gombal. Dikritik, diolok-olok… Tetapi saya di sini menjalankan misi agung dan khusus. Kain gombalku adalah pakaian junjunganku, rakyat India.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar