Meningkatkan
Kualitas Riset
Syamsul Rizal ;
Guru Besar Universitas Syiah Kuala
|
KOMPAS,
05 Agustus 2014
HAL yang paling menyakitkan dalam kehidupan kita adalah ketika
kita dilecehkan dan dihina. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada itu.
Apalagi, yang dihina dan dilecehkan adalah sebuah negara, seperti halnya kita
yang dilecehkan dalam beragam masalah: mulai ekspor pembantu rumah tangga
sampai masalah prestasi olahraga yang sangat datar dan lain-lain.
Diam-diam, masalah publikasi internasional pun sudah menjadi
arena pelecehan yang dialamatkan ke negara kita. Dengan modal penduduk yang
demikian banyak, hanya sedikit sekali jumlah publikasi internasional yang
kita lahirkan. Dengan demikian, lengkaplah penghinaan terhadap bangsa ini,
baik dari segi otot (olahraga) maupun otak (jumlah publikasi internasional).
Akhir-akhir ini, kita sudah mulai sadar betapa penting peran
perguruan tinggi melakukan riset. Ada dua indikatornya. Pertama, wacana
perlunya induk baru perguruan tinggi, yang diusulkan agar bergabung ke
Kementerian Riset dan Teknologi. Kedua, keluarnya Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional
Pendidikan Tinggi.
Ada beberapa hal yang menjadi ciri penting SN Dikti terkait
riset. Pertama, pada pembimbingan mahasiswa doktor (S-3), pembimbing utama
harus punya dua publikasi internasional. Kedua, output hasil pembimbingan ini
pun harus menghasilkan dua publikasi internasional. Tanpa dua publikasi
internasional ini, mahasiswa S-3 tidak boleh diluluskan. Ketiga, kurikulum
S-2 dan S-3 disusun berbasis riset.
Apakah kita siap? Pertanyaan ini harus dijawab fakta berikut.
Negara tetangga kita, yang relatif sama komposisi suku-sukunya, yaitu
Malaysia, berpenduduk sekitar 30 juta jiwa. Indonesia hampir sembilan kali
lipatnya. Namun, jumlah publikasi dari satu universitas mereka saja,
misalnya, Universiti Kebangsaan Malaysia, mencapai sekitar 17.000 dan ini
melebihi publikasi semua perguruan tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta
kita dari Sabang sampai Merauke.
Atas dasar fakta di atas, jawabannya bukan perkara siap atau
tidak. Kita harus siap kalau tidak ingin dipermalukan dan dihina. Apakah kita
mampu? Kita juga tidak perlu menjawab pertanyaan ini karena kita harus
mengalahkan negara tetangga kita ”dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.
Memang, dari sosialisasi SN Dikti yang saya ikuti, faktor
publikasi internasional ini jadi kendala besar. Namun, dengan meningkatnya
gaji profesor sejak beberapa tahun terakhir, tugas profesor untuk menulis
pada jurnal internasional bereputasi hendaknya dapat dipandang sebagai tugas
mulia untuk membela kehormatan bangsa.
Banyak persyaratan untuk melaksanakan tugas mulia ini. Salah
satunya: universitas harus serius dan fokus mengelola masalah-masalah
akademik. Intinya, dunia riset tak akan pernah bisa maju kalau tak ditopang
riset-riset yang bermutu di universitas-universitas. Riset bermutu tak
mungkin dilahirkan dari universitas yang tidak fokus dalam mengelola bidang
akademik.
Tugas universitas
Tugas universitas di Indonesia, yang tecermin dari tugas rektor,
harus diakui sangat berat. Pimpinan universitas menghabiskan banyak waktu
untuk urusan non-akademik. Akibatnya, energi yang tersisa pada rektor, dekan,
dan seterusnya untuk mengurus masalah-masalah akademik menjadi sangat
terbatas.
Hal ini karena rektor punya wewenang sebagai kuasa pengguna
anggaran. Karena wewenang ini pula, rektor memasuki wilayah sangat rawan dan
rentan terhadap penyalahgunaan anggaran. Akibat kewenangan ini pula, tamu
rektor sangat variatif: selain bertujuan akademik, terdapat pula tamu-tamu
non-akademik. Misalnya, yang mencari pekerjaan: untuk pengadaan barang dan
alat-alat laboratorium, rehabilitasi gedung, atau membangun gedung baru
Saya yakin, hal ini sangat menyita energi rektor, baik fisik
maupun psikologis. Di samping itu, rektor pun harus berhadapan dengan tim
pemeriksa yang rutin berkunjung. Setiap tim pemeriksa yang datang, seperti
dari Badan Pemeriksa Keuangan, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan
Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, akan ikut
menyempurnakan stres yang harus dipikul oleh bahu, punggung, dan kepala
rektor.
Saya berpendapat, negara telah sampai hati memeriksa rektor,
para pembantu rektor, dekan, dan seterusnya secara terus-menerus, secara
rutin, dalam hal penggunaan anggaran.
Di sisi lain, negara juga sampai hati memaksa pimpinan
universitas untuk melaksanakan dan mengawal tugas-tugas akademik di
universitas: kegiatan belajar dan mengajar harus dilakukan dengan baik,
menggenjot kuantitas dan kualitas penelitian, publikasi internasional, serta
pengabdian kepada masyarakat. Kalau rektor manusia yang normal, dapat
dipastikan, tugas-tugas administratif dan keuangan jadi tidak fokus, atau
tugas-tugas akademik yang tidak fokus, atau keduanya.
Di sini, tampak jelas bahwa negara secara sengaja mengondisikan
pimpinan universitas bekerja ke arah mission impossible. Negara secara
sengaja pula mendesain agar tugas-tugas pimpinan universitas dalam bidang
akademik ”harus” gagal. Dengan desain tugas universitas yang seperti ini,
dapat dimengerti jika tidak ada rektor yang mampu fokus untuk mengurus
masalah akademik.
Cukup urusan akademik
Oleh karena itu, ada dua saran yang perlu dipertimbangkan.
Pertama, kewenangan rektor sebagai KPA tampaknya harus dicabut. Kedua,
manajemen universitas perlu dipecah menjadi dua bagian yang terpisahkan:
akademik dan non-akademik.
Tugas KPA diserahkan ke manajemen non-akademik yang terdiri atas
orang-orang yang berkompetensi tinggi di bidang keuangan, administrasi, dan
lain-lain. Pimpinan dan pegawai-pegawai dari manajemen non-akademik ini bukan
dari kalangan pengajar, melainkan pegawai-pegawai yang sejak diangkat
berkarier dalam bidang non-akademik. Meski bekerja untuk universitas
tertentu, mereka bukan bagian dari universitas itu. Mereka bukan bawahan
rektor. Tugas-tugas akademik
diserahkan ke rektor, pembantu rektor, dekan, dan seterusnya.
Dengan dicabutnya kewenangan ini, tugas rektor menjadi ringan
dan fokus mengurus masalah akademik. Tamu-tamu rektor pun dapat dipastikan
akan berkurang secara drastis karena tamu-tamu non-akademik akan berurusan
dengan pihak manajemen non-akademik. Rektor pun terbebas dari kunjungan tim
BPK, BPKP, dan inspektorat yang rutin memeriksa penggunaan anggaran. Jadi,
rektor pun akan fokus mengurus Tri Dharma Perguruan Tinggi yang memang jadi
tugas pokok sebuah universitas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar