Selasa, 26 Agustus 2014

Mengikhtiarkan Swasembada Pangan

Mengikhtiarkan Swasembada Pangan

Surya Wijaya  ;   Lulusan S2 IPB,
Widyaiswara Utama Pusdiklat Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial
KORAN JAKARTA, 26 Agustus 2014
                                                


Banyak harapan ditumpukan kepada pemerintahan baru, terutama terobosan-terobosan dalam menggenjot peningkatan kesejahteraan rakyat. Hal ini termasuk perlunya mencari kebijakan yang pro kemandirian pangan agar dapat mengurangi impor.

Maka, perlu diapresiasi rencana pasangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wapres Jusuf Kalla (JK) yang akan mengangkat orang hebat untuk duduk selaku menteri pertanian. Ini penting terutama terkait rencana membangun kemandirian pangan. Sebagai negara agraris dengan penduduk 250 juta jiwa tentu mengkhawatirkan kalau terus mengandalkan pangan dari negeri orang.

Ada ironi di negara yang memiliki lahan sawah seluas 8 juta hektare, namun setiap tahun harus impor beras dan bahan pangan lain. Impor pangan khususnya beras membuat devisa terbang ke luar negeri. Jumlahnya tidak kecil. Tahun 2010 hingga 2012 impor beras 4,4 juta ton yang menghabiskan devisa lebih dari 10 triliun rupiah. Praktik pengurasan devisa hanya untuk impor pangan tersebut harus diminimalisasi. Caranya, antara lain dengan mengoptimalkan fungsi sawah yang mencarai 8 juta hektare tersebut.

Sawah sedemikian luas harusnya mampu memproduksi berbagai kebutuhan yang selama ini diimpor karena komoditas tersebut dapat diproduksi di dalam negeri. Maka, sesuatu yang bisa dihasilkan sendiri semestinya tidak perlu dibeli dari luar. Pemerintah harus mampu mengerem laju impor pangan dengan menghasilkan dari tanah sendiri.

Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2012, Indonesia mengimpor 10 komoditas pangan. Hal ini tidak perlu dilakukan andai manajemen pertanian Indonesia berjalan baik. Tahun 2012, impor beras mencapai 1,8 juta ton dengan nilai 945,6 juta dollar AS. Negara terbesar yang memasok beras ke Tanah Air adalah Vietnam, Thailand, India, Pakistan, dan Tiongkok.

Produk lain yang diimpor adalah jagung yang tahun 2012 mencapai 1,7 juta ton dengan nilai 501,9 juta dollar AS. Jagung didatangkan dari India, Argentina, Pakistan, Brasil, dan Amerika Serikat (AS). Impor kedelai tahun 2012 mencapai 1,9 juta ton senilai 1,2 miliar dollar AS. Kedelai dimasukkan dari AS, Malaysia, Afrika Selatan, Uruguay, dan Kanada.

Tanah Air juga mendatangkan biji gandum yang tahun 2012 mencapai 6,3 juta ton seharga 2,3 miliar dollar AS. Australia merupakan pemasok gandum terbesar (4,4 juta ton) senilai 1,5 miliar dollar AS. Pemasok lain adalah Kanada, AS, Ukraina, dan India.

Tepung terigu pun harus impor juga. Tahun 2012 jumlah impor 479,7 ribu ton seharga 188,8 juta dollar AS. Srilanka merupakan negara pemasok utama tepung terigu, diikuti Turki, Ukraina, Belgia, dan Australia. Tahun 2012, impor gula pasir mencapai 91,1 ribu ton dengan nilai 62 juta dollar AS dari Thailand, Australia, Korea Selatan, Malaysia, dan Selandia Baru.

Tahun yang sama, impor daging sapi menurun menjadi 40.338 ton dari 102.850 ton tahun 2011. Impor daging sapi dari Australia, Selandia Baru, AS, Kirgiztan, dan Singapura. Daging ayam pun impor sebanyak 6.797 kg (34.000 dollar AS) sepanjang 2012. Impornya dari Malaysia dan Belgia. Produk lain yang diimpor adalah garam (2,2 juta ton), singkong, dan kentang.

Petani

Persoalan lain yang tidak membaik adalah kesejahteraan petani. Produksi beras tahun 2013 memang melimpah, namun tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteran petani. Hal ini bisa dilihat dari indeks nilai tukar petani (NTP) sebagai indikator untuk melihat perkembangan tingkat kesejahteraan petani. NTP naik menunjukkan kenaikan atau perbaikan tingkat kesejahteraan petani. Sebaliknya, jika NTP menurun kesejahteraan aktor pertanian tersebut menurun.

Tahun 2013 NTP cenderung melandai, bahkan stagnan. Sepanjang Januari hingga April 2013, nilai NTP terus menurun. Pada titik ini, kesejahteraan petani terus memburuk, juga di saat panen raya ketika produksi melimpah. Ini berarti pembangunan pertanian selalu mengupayakan peningkatan produksi secara aggregate, namun mengabaikan peningkatan kesejahteraan petani.

Pemerintahan Jokowi-JK harus melakukan reformasi agraria yang tak kunjung terwujud, padahal sudah dijanjikan oleh Pemerintahan SBY. Sebagian besar petani hanya memiliki luas lahan 0,2 hektare. Mereka petani “gurem” yang berupaya memeras keringat memacu peningkatan produksi di atas lahan minimal.

Petani kaya menguasai lahan sangat luas, tetapi jutaan hektare lahan dibiarkan menganggur. Padahal, produktivitas petani pasti meningkat, juga NTP akan naik ketika mereka diberi berpeluang memperluas areal usaha pertanian.

Meningkatkan produktivitas pertanian terkait dengan kebijakan pertanahan. Oleh karena itu, pemerintahan harus menguatkan kepemimpinan Badan Pertanahan Nasional (BPN) agar reformasi agraria segera terwujud, sejalan dengan upaya menggenjot produksi pertanian.

Jika manajemen pertanian dikendalikan seorang menteri yang memiliki kompetensi, berintegritas, dan jujur, tidak diragukan kemandirian memproduksi pangan dari negeri sendiri untuk mewujudkan pencapaian tujuan swasembada pangan guna menjamin makanan bagi 250 juta rakyat bisa terwujud.

Kementerian ini jangan lagi menjadi ajang kongkalikong. Kementerian harus bersih dari segala permainan yang menguntungkan pihak tertentu. Fokus kerja mereka harus untuk kepentingan rakyat banyak, termasuk para petani yang tidak pernah beranjak sejahtera dari rezim ke rezim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar