Selasa, 05 Agustus 2014

Menghitung Hari di Gaza

                                          Menghitung Hari di Gaza

Dinna Wisnu  ;   Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KOMPAS, 05 Agustus 2014
                                                                                                                                   


PBB dan Amerika Serikat mengumumkan bahwa Israel dan Hamas telah menyetujui gencatan senjata selama 72 jam sejak pukul 08.00 waktu Gaza, 1 Agustus 2014. Ini saat kritis yang menentukan masa depan Gaza. Akankah gencatan senjata ini gagal bertahan seperti ketika Dewan Keamanan PBB menyerukan tuntutan serupa menjelang hari raya Idul Fitri? Atau sekadar berlalu dan kedua pihak kembali terlibat dalam pertempuran? Atau menjadi awal dari perdamaian yang lebih permanen?

Kembalinya para pihak yang bertikai untuk duduk di meja perundingan tak lepas dari peran Mesir meski tanpa mengurangi peran negara lain, seperti Amerika Serikat dan organisasi PBB. Mesir kini kembali menjadi kunci gencatan senjata antara Israel dan Hamas dengan harapan akan mengulangi lagi kebijakan perdamaian yang lebih permanen, seperti pada November 2012. Mesir menjadi penting dalam konflik di Gaza karena posisi geografisnya di selatan Gaza dan gerbang akses antara warga Gaza dan dunia luar, selain dari gerbang-gerbang lain yang dikontrol Israel.

Usul Mesir untuk gencatan senjata saat ini tak mudah karena politik regional telah berubah dibandingkan dengan pada 2012. Mesir pun tak seperti dulu lagi karena Ikhwanul Muslimin yang pernah menjadi harapan bagi Hamas kini hancur dan pihak junta militer Mesir memilih mengisolasi Gaza secara total.

Bagi masyarakat Gaza, isolasi ini melemahkan mereka secara ekonomi, sosial, ataupun politik. Bukan hanya akses listrik, air bersih, makanan, dan obat-obatan yang terbatas, pekerjaan pun semakin sulit dan ekspor produk Gaza menurun drastis sebab biaya produksi mahal dan jumlah truk ekspor dibatasi di perbatasan. Pertumbuhan ekonomi Gaza turun dari 15 persen (Juni 2013) ke 3 persen (Januari 2014).

Dari sisi politik, usulan gencatan senjata berupaya mengakomodasi tuntutan Israel dan Hamas yang juga menjadi dasar konflik di Gaza. Israel dalam posisi menuntut penghentian permanen tembakan roket dari Gaza ke wilayah Israel, menuntut demiliterisasi wilayah, atau menuntut kekuatan bersenjata di Gaza dilucuti, termasuk yang paling mendasar berupa penutupan terowongan-terowongan yang dituding menjadi jalan bagi rencana gerilyawan Hamas menculik dan menyerang Israel.

Di sisi berhadapan, Hamas menyatakan bahwa mereka bersedia melakukan gencatan senjata jika blokade atas Gaza dibuka, semua tahanan Palestina yang ditangkap akhir-akhir ini di Tepi Barat dibebaskan, dan seluruh pasukan keamanan Israel ditarik dari Gaza.  Usulan gencatan bersenjata untuk konflik di Gaza berjalan paralel. Saat konflik terjadi, Mesir mengajukan usul yang berangkat dari usulan gencatan senjata pada 2012, ”Inisiatif Mesir”. Dalam waktu tak lama, muncul rancangan usulan gencatan senjata  dari John Kerry, ”Kerangka bagi Gencatan Senjata Berperikemanusiaan di Gaza”, dan terakhir rancangan usul Turki dan Qatar.

Tak mengakomodasi

Israel dan Hamas menolak terlebih dahulu rancangan usulan gencatan senjata Kerry karena merasa rancangan tersebut tidak mengakomodasi tuntutan mereka. Pihak Israel kecewa karena tuntutan demiliterisasi Gaza tak ditegaskan, sementara Hamas juga menolak karena syarat Israel benar-benar keluar dari Gaza tidak ditulis.

Hamas kemudian beralih pada rancangan usulan gencatan senjata dari Qatar, Turki, dan AS. Proposal itu mengakomodasi tuntutan Hamas tentang pembukaan blokade dan penarikan pasukan Israel dari Gaza, tetapi tak menyinggung tuntutan Israel tentang demiliterisasi. Penolakan juga datang dari otoritas Palestina karena basis perundingan yang difasilitasi Qatar, Turki, dan AS di Paris tidak melibatkan otoritas Palestina sebagai perwakilan resmi masyarakat Palestina. Perundingan juga mengabaikan Mesir yang akan memegang peran kunci dalam solusi dan pembukaan blokade di Gaza. Proposal Qatar dan Turki ini akhirnya kandas di tengah jalan.

Draf usulan gencatan senjata yang tersisa dan banyak didukung pihak internasional adalah rancangan usul dari Mesir. Berbeda dengan yang lain, rancangan usul Mesir pada 14 Juli lalu tak mengakomodasi tuntutan dasar kedua pihak dan lebih mengutamakan penghentian segala bentuk kekerasan selama 12 jam. Selama waktu itu, perbatasan dibuka sehingga memudahkan lalu lintas barang selama kondisi keamanan memungkinkan.

Pada dasarnya, rancangan ini mirip perjanjian yang disepakati Palestina dan Israel, November 2012, yang disusun untuk mengakhiri sementara perang delapan hari Israel dan Hamas. Oleh karena itu, otoritas Palestina dan Israel setuju menggunakan kerangka ini untuk memulai perundingan, tetapi  pihak Hamas menolak. Penolakan mereka terutama di dalam klausul ”pembukaan perbatasan dimungkinkan selama syarat kondisi keamanan memungkinkan”. Syarat ini, menurut Hamas, tak akan pernah terpenuhi karena Israel selalu merasa tak aman sehingga, menurut mereka, perbatasan tak mungkin akan dibuka. Hamas juga membandingkan dengan perjanjian 2012, ketika syarat pembukaan perbatasan untuk kemanusiaan tak disertai syarat apa pun.

Hamas diduga menolak usulan keterlibatan Mesir karena tidak ada rasa percaya kepada Jenderal Sisi, Presiden Mesir saat ini, yang telah menghancurkan Ikhwanul Muslimin yang menjadi mitra organisasi mereka di Mesir.  Rasa tak percaya terhadap Mesir juga diungkapkan dua negara pendukung Ikhwanul Muslimin: Turki dan Qatar. Turki bahkan menyebut Jenderal Sisi sebagai seorang tiran sehingga menyebabkan hubungan diplomatik kedua negara berada di titik terendah. Alasan itu juga yang menyebabkan Mesir tidak dilibatkan dalam proposal gencatan senjata di Paris.

Setelah 72 jam

Terlepas dari perbedaan sikap atas proposal sebelumnya, gencatan senjata yang diumumkan Jumat lalu maju secara substantif meski kekhawatiran bahwa gencatan senjata ini akan gagal tetap membayangi semua pihak, terutama penduduk di Gaza.

Jika dibandingkan dengan kerangka awal, warga Palestina dapat menikmati kebebasan dari perang selama 72 jam, dari sebelumnya hanya 12 jam, meski belum jelas apakah pembukaan perbatasan di Rafah bagi bantuan kemanusiaan diizinkan. Pihak yang pergi berunding ke Kairo juga tidak hanya Israel dan otoritas Palestina, tetapi melibatkan faksi bersenjata di Gaza. Ini menunjukkan semangat rekonsiliasi di Palestina.

Gencatan senjata sebenarnya sekadar mengulur waktu karena kedudukan tentara Israel dan Hamas masih dalam posisi ofensif, kecuali jika kebutuhan mendasar penduduk Gaza dibicarakan, dicari solusinya, dan dijamin pihak yang disepakati dan dipercayai Hamas atau Israel. Keputusan untuk masalah di Gaza kini ada di tangan para perunding di Kairo.

Banyak pertanyaan yang harus dijawab, seperti apabila para pihak setuju terowongan ilegal ditutup permanen, bagaimana solusi untuk akses ekonomi, sosial, dan politik bagi warga Gaza? Mungkinkah Hamas dan kelompok bersenjata lain di Gaza bisa menerima keadaan seperti di Tepi Barat? Siapa yang dapat menjamin keamanan di Gaza? Bagaimana memperkuat otoritas Palestina di Gaza?

Bagaimana menjamin hak hidup masyarakat di Gaza? Mungkin yang paling penting, apakah jika kelompok bersenjata meletakkan senjata, Israel bersedia melepaskan pendudukannya dan mengakui peta politik 1967?

Bagi Indonesia, yang bisa optimal dilakukan adalah mendorong solidaritas kemanusiaan di tingkat regional ataupun internasional demi menjamin akses
bantuan kemanusiaan dan kehidupan layak bagi masyarakat Gaza. Di sini Indonesia perlu menggiatkan tekanan kepada PBB sebagai mitra upaya itu. PBB perlu menjaga agar tidak ada pelanggaran HAM oleh Hamas atau Israel, khususnya setelah masa 72 jam gencatan senjata berakhir.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar