Lapar
Acep Iwan Saidi ;
Ketua Forum Studi
Kebudayaan ITB;
Pembina
Komunitas Kubah Merah
|
KOMPAS,
30 Juli 2014
”Kelaparan adalah burung gagak yang licik dan hitam....” Demikian WS Rendra
dalam salah satu puisinya, ”Doa Orang
Lapar”.
Lapar yang
dimaksud Rendra bukan hanya biologis, melainkan juga psikologis. Lapar
biologis berhubungan dengan kebutuhan. Lapar ini sembuh setelah diobati
dengan makan. Sementara lapar psikologis berkaitan dengan keinginan. Ia
justru akan mengembangbiakkan lapar yang lain ketika dipenuhi.
Kehidupan
masyarakat di negeri ini, khususnya di dunia politik, terus dilanda kelaparan
psikologis: lapar kekuasaan. Fenomena pemilihan presiden yang baru berlangsung
adalah representasi dari hal tersebut. Pilpres tidak hanya memilih
presiden, tapi—lebih dari itu—merupakan pertempuran kepentingan berbagai
pihak. Di sinilah kemudian terlihat bagaimana orang-orang lapar kekuasaan
bergentayangan. Mereka licik dan hitam.
Hal yang kian
memprihatinkan, puncak dari pertempuran kelicikan itu terjadi pada bulan
Ramadhan, sebuah momen yang bukan hanya agung dalam perspektif agama,
melainkan juga luhur dalam konteks sejarah berbangsa. Sebagaimana dicatat
sejarah, 69 tahun lalu, bangsa ini membebaskan diri dari belenggu penjajahan
asing, tepat ketika melaksanakan saum Ramadhan.
Mengacu pada ingatan
tersebut, fakta hari ini bisa dibilang tragedi. Dari puncak kemenangan tahun
1945 itu, secara substansial kita tak beranjak ke tangga peradaban lebih
tinggi untuk menuntaskan revolusi yang belum selesai (Soekarno), tapi justru
menukik ke jurang kenistaan yang nyaris melesapkan adab.
Mentalitas lapar psikologis
Hal itu terjadi karena
pembangunan negara-bangsa kian hari bergerak ke lapis luar peradaban, bukan
menukik ke lapis dalam demi menebalkan fondasi karakter yang telah
susah payah dibangun para pendiri. Mentalitas berbangsa yang rapuh itu juga
berbanding lurus dengan ringkihnya mentalitas beragama. Lihatlah, ibadah puasa
pun didefinisikan ”menahan lapar dari
terbit fajar sampai terbenam matahari”. Kita tak pernah bertanya, jika
puasa merupakan ibadah yang meniscayakan lapar, mengapa harus ditahan,
mengapa bukan justru dinikmati?
Sikap kita
terhadap bulan Ramadhan jadi ambivalen. Ramadhan diagungkan, tetapi seraya
digiring menjadi bulan yang terkucil. Ramadhan seolah jadi satu-satunya ruang
dan waktu untuk menguras seluruh kemampuan dan kesediaan beribadah.
Kita bertadarus, beramai-ramai memenuhi masjid, bersedekah, dan seterusnya.
Dengan kata lain,
Ramadhan dijadikan kesempatan mengejar pahala sebanyak-banyaknya, semacam
”aji mumpung” dalam beribadah. ”Mumpung
Ramadhan sekarang kita masih hidup, siapa tahu tahun depan tak bertemu lagi
dengannya,” demikian ungkapan yang sering didengar dari para pendakwah.
Tidak ada yang salah
dengan tabiat demikian. Masalahnya, tak pernah ada refleksi bahwa hal itu
ternyata membentuk pribadi yang pamrih. Kita memahami firman Tuhan
yang—melalui sabda Rasulullah—menyatakan, saum adalah satu-satunya ibadah
untuk Tuhan (hadis riwayat Bukhari-Muslim). Firman ini jelas mengirim pesan
bahwa saum adalah ibadah yang meminta totalitas keikhlasan. Namun, faktanya,
pemahaman tersebut tidak diamalkan. Ibadah puasa dilaksanakan untuk diri
sendiri. Kita beribadah semata-mata mengejar pahala tinggi yang dijanjikan
Tuhan. Setelah Ramadhan usai, kita pun kembali kepada sedia kala: masjid yang
sunyi.
Dengan demikian,
Ramadhan menjadi semacam panggung pertunjukan ibadah, sedangkan Lebaran
adalah layar yang menutupnya, tanda bagi selesainya pementasan. Kita tidak
pernah berpikir bahwa saum yang terberat sesungguhnya dimulai setelah
Lebaran. Bukankah di bulan lain Tuhan tidak menjanjikan pahala ibadah
setinggi pahala di bulan Ramadhan? Namun, kita memang tak pernah bisa
beribadah dengan ikhlas, kecuali hanya di dalam ucapan. Akibatnya, ibadah
saum yang ”aji mumpung” tadi hanya mampu menahan lapar biologis, tidak sampai
pada usaha mengendalikan hasrat sehingga kita tetap menjadi manusia dengan
mentalitas lapar psikologis.
Ibadah
formalistik yang menciptakan ”diri pamrih” di atas ternyata juga merembet ke
seluruh bidang kehidupan. Hidup jadi arena kepentingan yang sesungguhnya.
Wajar jika dunia politik praktis dipenuhi individu yang hanya mengejar
kepentingan diri dan kelompoknya.
Hampir tak ada pihak
yang menengarai hal ini. Lembaga pendidikan tak pernah mengajarkan peserta
didik jadi manusia yang ikhlas, tetapi cenderung jadi pribadi pemuja
sertifikat. Sekolah menjadi mitos tentang jalan lurus menuju kehidupan
duniawi yang lebih baik. Perguruan tinggi tak menjadi lembaga nilai, tetapi
institusi yang materialistik.
Mengendalikan ”lapar”
Maka, menjadi jamak
pula jika dari fenonema masyarakat demikian tidak lahir pemimpin dan
kepemimpinan yang berkarakter. Jadi pemimpin bukan didasari keikhlasan
berbakti kepada negara-bangsa, melainkan demi kepentingan diri dan kelompok
tertentu. Janji mengabdi kepada negeri hanya ada di lirik sebuah lagu wajib
yang didendangkan pada setiap upacara. Selebihnya, hanyalah label yang dilekatkan
pada pegawai negeri sipil (PNS).
Pertanyaannya,
bagaimana situasi tersebut harus diperbaiki? Revolusi mental kiranya bisa
jadi sebuah jawaban. Revolusi mental tidak hanya penting, tetapi mendesak,
bahkan untuk mentalitas dalam kaitan dengan kehidupan beragama. Sudah terlalu
jauh bangsa ini menyimpang dari cita-citanya semula. Revolusi mental
sesungguhnya tidak lain adalah ikhtiar keras untuk ”kembali ke titik awal”
cita-cita berbangsa dan bernegara.
Usaha ini harus
dimulai dari pucuk pimpinan nasional, dari kepala negara. Kini, kita tidak
butuh pemimpin yang hanya memiliki gagasan besar dengan mulut besar. Di
tengah-tengah realitas sosial yang borok dari puncak hingga ke dasar, yang
dibutuhkan adalah pemimpin yang menyediakan tubuhnya untuk pergi ke setiap
titik persoalan, masuk ke dalam hutan untuk melihat satu per satu jenis
tumbuhan di dalamnya.
Pemimpin demikian
adalah sosok yang berani mengubah definisi ”menahan lapar” menjadi ”menikmati
lapar”. Ia tak menjadikan lapar sebagai bom waktu yang ditahan, yang
sewaktu-waktu bisa meledak menelan apa pun, menjadikannya manusia rakus
ketika terbuka kesempatan. Ia harus mampu mengalihkan rasa lapar jadi daya
empati bagi rakyat yang dipimpinnya.
Dalam konteks ini, apa
yang dilakukan Ali bin Abi Thalib adalah referensi yang tepat. ”Akan aku perangi kemiskinan,” kata
Ali. Namun, secara material, Ali sendiri hidup di bawah garis kemiskinan
rakyat yang dipimpinnya. Ali rela jadi miskin untuk memperkaya bangsanya.
Bagi Ali, kemiskinan adalah kekayaannya. Inilah sosok pemimpin yang memiliki
ketegasan sejati, yakni tegas untuk mengendalikan lapar psikologis, hasrat
kuasa yang tak berkesudahan di dalam diri.
”Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri,” demikian disampaikan
Nabi Muhammad SAW ketika Perang Badar selesai. Perang melawan diri
sendiri memang tak pernah berhenti. Karena itu, semoga di akhir
Ramadhan ini kita dapat dua kemenangan: kemenangan atas lapar psikologis
sehingga kembali fitri dan kemenangan atas presiden baru yang memberi
harapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar