Alam
Diolah, Buat Siapa?
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 05 Agustus 2014
Dua corak kehidupan menandai dua corak peradaban manusia. Pada
zaman yang disebut “prasejarah”, manusia hidup tanpa teknologi. Tapi, tunggu
dulu. Peradaban yang disebut zaman “prasejarah” itu sebetulnya juga zaman
sejarah dan menghasilkan sejarah pula. Itu namanya sejarah zaman
“prasejarah”. Adapun mengenai teknologinya, zaman itu juga sudah punya
teknologi. Di dalam disiplin keilmuan, yang disebut sosiologi, ada kategori
teknologi sederhana, ada teknologi madya, ada teknologi canggih, modern, dan
tingkat tertinggi dari pencapaian perkembangan teknologi sekarang ini mungkin
saja kita menyebutnya teknologi supramodern. Di mana ada peradaban, di situ
ada teknologi.
Pada zaman “prasejarah” tadi masyarakatnya mengembangkan
teknologi sederhana. Zaman batu, ketika batu merupakan teknologi paling
relevan, jelas menjadi bagian dari zaman teknologi sederhana. Zaman itu
sambung-menyambung, dengan perbaikan teknologi di sana-sini, seiring
penemuan- penemuan tembaga, besi, dan jenis-jenis logam lain. Pada sekitar
abad ke-16, tanda dimulai zaman modern, kita baru mulai berbicara tentang
teknologi modern, yang mengikuti perkembangan zamannya. Kita tidak boleh mempersulit
diri dengan menyebutkan bahwa teknologi berhubungan dengan mesin-mesin
canggih, hasil penemuan para ahli.
Teknologi memang berhubungan pula dengan mesin. Tapi, mesin itu
hanya alat. Jadi orang sosiologi mendefinisikan teknologi secara sederhana:
alat. Mesin-mesin pesawat, mesin Apollo, dan semua jenis pesawat angkasa
luar, secanggih apa pun, semua hanya alat. Sederhana sekali. Mesin-mesin yang
digunakan di dunia pertambangan, yang bisa menggali tambang jauh sekali di
dalam tanah, mesin itu alat. Mesin yang digunakan untuk menggali tambang
minyak di dalam lautan, namanya juga hanya alat. Sebagai alat, teknologi
tidak hanya berarti mesin.
Teknologi tampil dalam berbagai wujud yang beragam dan
berbedabeda. Tapi, diahanyaalat. Sebagai alat, teknologi bisa dikendalikan
manusia. Tapi, pada zaman ini makin hari makin terasa bahwa teknologi
mengendalikan nafsu-nafsu manusia. Kelihatannya kita bangga berada di bawah
kendali teknologi. Mereka yang memahami seluk beluk teknologi menjadi lebih
bangga lagi di depan mereka yang buta teknologi dan gagap teknologi. Mereka
yang paham teknologi itu merasa diri mereka modern, lebih modern dibanding
orang-orang lain. Lalu kita bersikap sinis terhadap kehidupan masa lalu.
Kita selalu mengejek “zaman batu” sebagai ukuran keterbelakangan
yang memalukan. Sebentar-sebentar orang berkata, dengan konotasi merendahkan:
kita tak mungkin kembal ke zaman batu. Tentu saja kita tak bakal, karena
memang tak perlu, kembali ke zaman batu. Tapi, zaman batu bukan tonggak
sejarah yang membolehkan teknologi modern dan supramodern mengolah alam dan
merusaknya hingga ke titik di mana perbaikan, biarpun kecil, tak mungkin
dilakukan lagi. Teknologi dan penggunaan teknologi ada di dalam pengendalian
kita.
Bukan sebaliknya. Saya pernah berkunjung ke Freeport dan kagum
melihat kehebatan teknologi modern yang bisa menggali emas di dalam tubuh
gunung yang tinggi yang habis diporak-porandakan. Gunung itu hilang. Emasnya
juga hilang. OrangPapuatakkebagian apa-apa. Rakyat dalam jumlah sedikit, yang
miskin, tetap miskin. Perut gunung itu dibedah hingga lebih 200 meter ke
dalam tanah, lingkungan di situ hancur, dan sungai-sungai hancur untuk
pembuangan “tail”, yang berupa limbah berbahaya.
Sungai yang tadinya bersihsepertiairdidalam mesin pendingin di
dapur, yang begitu jernih dan segar, yang bisa diminum tanpa menimbulkan
gangguan kesehatan, berkat “tail “ itu “surga” itu hancur luluh. Teknologi
modern dan penerapannya membawa hasil luar biasa besar dan kita tak pernah
melihat emasnya seperti apa karena biji-biji emas itu sudah ditampung dengan
teknologi mutakhir yang memungkinkan mereka langsung tiba di negeri orang
putih yangmenggalinya.
Kita bangga atas temuantemuan yang menandai modernitas hidup
kita. Kita bangga atas prestasi teknologi yang tak terbayangkan. Tapi, kita
lupa bahwa kebanggaan itu telah mencapai titik puncak yang berlebihan hingga
kita buta terhadap kehancuran yang merajalela, yang akibat-akibatnya diderita
manusia juga. Banjir bandang, polusiair, polusiudara, dan polusi politik
merupakan bahaya terbesar. Jakarta mudah dikendalikan oleh polusi politik.
Perpanjangan izin operasi mudah dibuat.
Duit tak menjadi masalah bagi penambang. Bagi politisi dan
pejabat di Jakarta, duit itu godaan besar. Ketika berkunjung ke Freeport
tadi, seorang teman mengkritik kerusakan itu dengan bahasa yang tak dibungkus-bungkus.
Jawabnya, juga tak memakai bungkus apa pun, khas jawaban orang teknologi,
yang hanya tahu satu jenis kemajuan: memangnya kita harus kembali ke zaman
batu? Para petani Rembang, di daerah perbatasan Rembang dan Bojonegoro, di
bagian timur pegunungan Kendeng, maupun Pati, di bagian barat, sedang
bersikukuh mempertahankan hak-hak mereka atas tanah dan atas keutuhan
lingkungan.
Lawan mereka bukan Freeport yang menggali tambang, melainkan dua
pabrik semen: swasta dan BUMN. Sudah lama ketegangan itu berkembang. Pada
intinya rakyat tak ingin ada pabrik semen di desa mereka. Gunung itu bagi
mereka sumber air bersih, udara bersih, dan tempat menanam segala jenis
tanaman buat kehidupan mereka. Sumber itu tak boleh hancur. “Alam tidak boleh
diolah?” Boleh. Dengan cara mereka, cara tradisional, yang memiliki kearifan
lokal, yang tak menghasilkan banyak, tapi cukup.
Kata cukup lebih penting daripada kata banyak, berkah lebih
mulia daripada jumlah. Mereka fasih berbicara mengenai berkah. Tak begitu “kemrungsung“ mengejar jumlah.
Pengolahan alam bagi mereka sederhana. Tanah dicangkul, tanaman ditanam disana,
dan tumbuh subur. Hasilnya, yang tak banyak, tapi cukup, memberi mereka
berkah. Berkah itu yang mereka pertahankan.
“Alam bisa diolah secara
modern dengan hasil yang luar biasa.” Mereka tak butuh
segala yang luar biasa. Petani sekadar perlu yang biasa-biasa. Tapi, alam
terpelihara, lestari, sumber air terjaga, sumber penghidupan tak dirusak.
Tanah itu warisan leluhur dan akan diwariskan lagi pada anak cucu, para
cicit, dan generasi penerus. Tanah mereka bukan milik mereka.
Tapi, mereka wajib mempertahankannya dari tangan-tangan
keserakahan yang bicara tentang hasil yang luar biasa besar tadi. Mereka
tahu, lebih baik ini tanah tak terjamah. Senyari bumi tak ternilai harganya.
Tak diolah tak menjadi soal. Sebab ketika diolah, buat siapa hasilnya? Mereka
tahu jawabnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar