Rabu, 06 Agustus 2014

Alam Diolah, Buat Siapa?

                                         Alam Diolah, Buat Siapa?

Mohamad Sobary  ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 05 Agustus 2014
                                                
                                                                                                                                   

Dua corak kehidupan menandai dua corak peradaban manusia. Pada zaman yang disebut “prasejarah”, manusia hidup tanpa teknologi. Tapi, tunggu dulu. Peradaban yang disebut zaman “prasejarah” itu sebetulnya juga zaman sejarah dan menghasilkan sejarah pula. Itu namanya sejarah zaman “prasejarah”. Adapun mengenai teknologinya, zaman itu juga sudah punya teknologi. Di dalam disiplin keilmuan, yang disebut sosiologi, ada kategori teknologi sederhana, ada teknologi madya, ada teknologi canggih, modern, dan tingkat tertinggi dari pencapaian perkembangan teknologi sekarang ini mungkin saja kita menyebutnya teknologi supramodern. Di mana ada peradaban, di situ ada teknologi.

Pada zaman “prasejarah” tadi masyarakatnya mengembangkan teknologi sederhana. Zaman batu, ketika batu merupakan teknologi paling relevan, jelas menjadi bagian dari zaman teknologi sederhana. Zaman itu sambung-menyambung, dengan perbaikan teknologi di sana-sini, seiring penemuan- penemuan tembaga, besi, dan jenis-jenis logam lain. Pada sekitar abad ke-16, tanda dimulai zaman modern, kita baru mulai berbicara tentang teknologi modern, yang mengikuti perkembangan zamannya. Kita tidak boleh mempersulit diri dengan menyebutkan bahwa teknologi berhubungan dengan mesin-mesin canggih, hasil penemuan para ahli.

Teknologi memang berhubungan pula dengan mesin. Tapi, mesin itu hanya alat. Jadi orang sosiologi mendefinisikan teknologi secara sederhana: alat. Mesin-mesin pesawat, mesin Apollo, dan semua jenis pesawat angkasa luar, secanggih apa pun, semua hanya alat. Sederhana sekali. Mesin-mesin yang digunakan di dunia pertambangan, yang bisa menggali tambang jauh sekali di dalam tanah, mesin itu alat. Mesin yang digunakan untuk menggali tambang minyak di dalam lautan, namanya juga hanya alat. Sebagai alat, teknologi tidak hanya berarti mesin.

Teknologi tampil dalam berbagai wujud yang beragam dan berbedabeda. Tapi, diahanyaalat. Sebagai alat, teknologi bisa dikendalikan manusia. Tapi, pada zaman ini makin hari makin terasa bahwa teknologi mengendalikan nafsu-nafsu manusia. Kelihatannya kita bangga berada di bawah kendali teknologi. Mereka yang memahami seluk beluk teknologi menjadi lebih bangga lagi di depan mereka yang buta teknologi dan gagap teknologi. Mereka yang paham teknologi itu merasa diri mereka modern, lebih modern dibanding orang-orang lain. Lalu kita bersikap sinis terhadap kehidupan masa lalu.

Kita selalu mengejek “zaman batu” sebagai ukuran keterbelakangan yang memalukan. Sebentar-sebentar orang berkata, dengan konotasi merendahkan: kita tak mungkin kembal ke zaman batu. Tentu saja kita tak bakal, karena memang tak perlu, kembali ke zaman batu. Tapi, zaman batu bukan tonggak sejarah yang membolehkan teknologi modern dan supramodern mengolah alam dan merusaknya hingga ke titik di mana perbaikan, biarpun kecil, tak mungkin dilakukan lagi. Teknologi dan penggunaan teknologi ada di dalam pengendalian kita.

Bukan sebaliknya. Saya pernah berkunjung ke Freeport dan kagum melihat kehebatan teknologi modern yang bisa menggali emas di dalam tubuh gunung yang tinggi yang habis diporak-porandakan. Gunung itu hilang. Emasnya juga hilang. OrangPapuatakkebagian apa-apa. Rakyat dalam jumlah sedikit, yang miskin, tetap miskin. Perut gunung itu dibedah hingga lebih 200 meter ke dalam tanah, lingkungan di situ hancur, dan sungai-sungai hancur untuk pembuangan “tail”, yang berupa limbah berbahaya.

Sungai yang tadinya bersihsepertiairdidalam mesin pendingin di dapur, yang begitu jernih dan segar, yang bisa diminum tanpa menimbulkan gangguan kesehatan, berkat “tail “ itu “surga” itu hancur luluh. Teknologi modern dan penerapannya membawa hasil luar biasa besar dan kita tak pernah melihat emasnya seperti apa karena biji-biji emas itu sudah ditampung dengan teknologi mutakhir yang memungkinkan mereka langsung tiba di negeri orang putih yangmenggalinya.

Kita bangga atas temuantemuan yang menandai modernitas hidup kita. Kita bangga atas prestasi teknologi yang tak terbayangkan. Tapi, kita lupa bahwa kebanggaan itu telah mencapai titik puncak yang berlebihan hingga kita buta terhadap kehancuran yang merajalela, yang akibat-akibatnya diderita manusia juga. Banjir bandang, polusiair, polusiudara, dan polusi politik merupakan bahaya terbesar. Jakarta mudah dikendalikan oleh polusi politik. Perpanjangan izin operasi mudah dibuat.

Duit tak menjadi masalah bagi penambang. Bagi politisi dan pejabat di Jakarta, duit itu godaan besar. Ketika berkunjung ke Freeport tadi, seorang teman mengkritik kerusakan itu dengan bahasa yang tak dibungkus-bungkus. Jawabnya, juga tak memakai bungkus apa pun, khas jawaban orang teknologi, yang hanya tahu satu jenis kemajuan: memangnya kita harus kembali ke zaman batu? Para petani Rembang, di daerah perbatasan Rembang dan Bojonegoro, di bagian timur pegunungan Kendeng, maupun Pati, di bagian barat, sedang bersikukuh mempertahankan hak-hak mereka atas tanah dan atas keutuhan lingkungan.

Lawan mereka bukan Freeport yang menggali tambang, melainkan dua pabrik semen: swasta dan BUMN. Sudah lama ketegangan itu berkembang. Pada intinya rakyat tak ingin ada pabrik semen di desa mereka. Gunung itu bagi mereka sumber air bersih, udara bersih, dan tempat menanam segala jenis tanaman buat kehidupan mereka. Sumber itu tak boleh hancur. “Alam tidak boleh diolah?” Boleh. Dengan cara mereka, cara tradisional, yang memiliki kearifan lokal, yang tak menghasilkan banyak, tapi cukup.

Kata cukup lebih penting daripada kata banyak, berkah lebih mulia daripada jumlah. Mereka fasih berbicara mengenai berkah. Tak begitu “kemrungsung“ mengejar jumlah. Pengolahan alam bagi mereka sederhana. Tanah dicangkul, tanaman ditanam disana, dan tumbuh subur. Hasilnya, yang tak banyak, tapi cukup, memberi mereka berkah. Berkah itu yang mereka pertahankan.

“Alam bisa diolah secara modern dengan hasil yang luar biasa.” Mereka tak butuh segala yang luar biasa. Petani sekadar perlu yang biasa-biasa. Tapi, alam terpelihara, lestari, sumber air terjaga, sumber penghidupan tak dirusak. Tanah itu warisan leluhur dan akan diwariskan lagi pada anak cucu, para cicit, dan generasi penerus. Tanah mereka bukan milik mereka.

Tapi, mereka wajib mempertahankannya dari tangan-tangan keserakahan yang bicara tentang hasil yang luar biasa besar tadi. Mereka tahu, lebih baik ini tanah tak terjamah. Senyari bumi tak ternilai harganya. Tak diolah tak menjadi soal. Sebab ketika diolah, buat siapa hasilnya? Mereka tahu jawabnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar