Umat
Islam dan Pahlawan Perdamaian
Amidhan Shaberah ; Anggota
Wantim MUI (2015- 2020);
Anggota Komnas HAM (2002-2007)
|
KORAN SINDO, 12 November
2016
Demo
umat Islam “411” yang dahsyat dan damai itu telah menjadi fenomena baru di
Indonesia. Betapa tidak? Lebih dari satu juta manusia yang menyemut di
Jakarta untuk menuntut keadilan terhadap “terduga penista Alquran”
berlangsung damai, tertib, dan bersahabat.
Lin
Che Wei, seorang pengamat pasar modal, yang mengaku terjebak di tengah
kemacetan lalu lintas akibat demo raksasa itu di sekitar Tugu Monas semula
merasa takut karena dia seorang China ternyata mendapat “teman-teman” yang
bersahabat dalam perjalanan itu. Dia mendapat pertolongan untuk mendapatkan
jalan keluar dari para demonstran agar tidak terjebak kemacetan.
Padahal,
kata Lin Che Wei, mereka pasti tahu saya adalah orang keturunan China seperti
Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang sedang “didemo” itu. Ternyata massa yang
demikian masif, meski berada di tengah terik matahari yang menyengat, tetap
berdemo dengan tertib dan santun.
Di
antara para demonstran saling berbagi makanan dan minuman dan mereka
melakukan demo dengan wajah yang ikhlas karena perjuangannya untuk menuntut
keadilan. Hal yang menarik, di antara jutaan massa demonstran itu ada ratusan
orang yang membawa sapu untuk membersihkan jalan.
Kebetulan
saat demo berlangsung juga ada upacara pernikahan di Gereja Kathedral, dekat
Masjid Istiqlal. Mengetahui busana pengantin perempuannya sangat panjang dan
menyentuh tanah, beberapa demonstran yang membawa sapu membersihkan jalan
yang akan dilalui pengantin perempuan tersebut. Dengan demikian, jalan itu
bersih dan baju pengantin jadi urung kotor.
Ini
sebuah pemandangan yang indah. Dalam kondisi demo dengan jumlah peserta
sangat besar saja di antara mereka masih bisa memberi “bantuan” kepada
pengantin nonmuslim. Sungguh tidak terbayangkan ada demo masif dengan
perilaku demonstran yang santun dan tertib seperti itu terjadi di Pakistan,
Suriah, Mesir, bahkan di Lebanon sekalipun.
BBC
News, Inggris, menyatakan demo “411” ini berlangsung damai, tidak seperti
demo anti-China tahun 1998. Meski demikian, di sana-sini ada “letupan
kerusuhan” kecil, yang menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian hanya
merupakan insiden. Letupan-letupan kerusuhan kecil itu muncul akibat
salahpengertianantarademonstran dan pihak keamanan.
Tapi
skalanya sangat kecil, jauh dibandingkan jumlah massa demonstran yang mencapai
jutaan. Memang tidak terelakan jatuhnya korban puluhan luka-luka baik di
pihak demonstran maupun pihak aparat keamanan. Disayangkan dalam insiden ini
dua orang korban meninggal dari pengunjuk rasa, salah satunya “guru ngaji”
Ustaz Syarie Umar Yunan dari Tangerang di RS Gatot Subroto karena terkena
semprotan gas air mata (oleh aparat keamanan).
Sebenarnya
semprotan gas air mata tidak perlu dipakai untuk membubarkan demonstran yang crowded karena tidak mungkin lari
ke-mana-mana. Peristiwa tewasnya Umar Yunan ini harus menjadi pelajaran agar
di masa datang tak terulang kembali. Dalam aksi demo besar di Jakarta 411 itu
seakan terjadi anomali: jika biasanya massa besar mudah terprovokasi sehingga
muncul “keonaran”; sebaliknya demo tersebut berlangsung aman dan tertib.
Lin
Che Wei, misalnya, mengaku kagum dengan perilaku demonstran yang ramah dan
helpful terhadap dirinya yang China dan terjebak di tengah massa itu. Kenapa
demo masif itu bisa terjadi dengan aman dan damai? Seperti kata KH Abdullah
Gymnastiyar (Aa Gym), demo besar itu terjadi karena tuntutan hati nurani yang
ingin melihat keadilan lantaran mereka merasa kitab sucinya dilecehkan.
Aa
Gym bercerita dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) di Jakarta, Selasa
(8/110) malam, mengapa dirinya yang pendamba perdamaian tergerak berangkat ke
Jakarta memimpin 1.000-an lebih santrinya dan warga Bandung untuk
berpartisipasi menuntut keadilan. “Keberangkatan saya dan santri Darut Tauhid
ke Jakarta untuk demo semata-mata karena panggilan hati nurani,” kata Aa Gym.
Beliau
mengaku, seandainya tidak membatasi peserta demo yang ingin ikut ke Jakarta
bersamanya, jumlahnya mungkin bisa mencapai puluhan ribu orang. Konsumsi,
biaya transportasi, dan akomodasi lainnya, ungkap Aa Gym, datang dari
masyarakat. Jumlah uang dan akomodasi lain untuk seribu peserta demo yang dia
pimpin sampai berlebihan.
Fenomena
seperti yang diung-kapkan Aa Gym juga terjadi pada peserta demo dari
daerah-daerah lain seperti Surabaya, Lampung, Sumatra Barat, Kalimantan
Timur, dan lain-lain. Demo Islamist (pinjam istilah International Herald
Tribune) 411 ini—konon terbesar sejak Indonesia merdeka—menarik karena
pesertanya sangat beragam—dari mulai tukang gali kubur sampai presiden
direktur perusahaan multinasional.
Sekali
lagi, semuanya terjadi karena “tuntutan” hati nurani yang ingin menyuarakan
keadilan. Keadilan? Kata ini sepertinya sederhana, tapi bila dilihat secara
komprehensif makna keadilan menyangkut segala aspek kehidupan. Dalam hal demo
411 ini keadilan yang dituntut massa “Islamist” adalah menuntut pemerintah
segera mengadili Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang dianggap telah
melakukan penistaan terhadap Alquran.
Di
masyarakat, terlepas benar atau salah, ada kesan pemerintah melindungi Ahok.
Jika kaum muslimin tidak melakukan demo, Ahok akan lepas dari jeratan hukum.
MUI dan para ulama menyadari kasus penistaan yang dilakukan Ahok masih
mengundang perdebatan di antara kaum muslimin sendiri.
Tapi,
MUI juga menyadari sebagian umat Islam—entah minoritas atau mayoritas karena
belum diadakan polling atau referendum— menganggap Ahok telah menistakan ayat
suci Alquran surat Al-Maidah 51 yang mengaitkannya dengan Pilkada DKI
Jakarta.
Karena
populasi umat Islam di Indonesia mayoritas, katakan 90% dari 250 juta, maka
jumlah orang yang menuduh Ahok menistakan Alquran itu, meski mungkin
jumlahnya kurang dari 50 persen umat Islam, tetaplah jumlah yang sangat
signifikan. Ini terjadi karena Indonesia adalah negeri dengan jumlah penduduk
muslim terbesar di dunia.
Karena
itu, terlepas dari kontroversi penafsiran Surat Al-Maidah 51 itu, jumlah umat
Islam yang “marah” terhadap kasus Ahok masih sangat besar. Dan itu sangat
berbahaya bila kasusnya dibiarkan dan tidak diselesaikan secara hukum.
Berbicara
tentang tuntutan keadilan, Dewan Pertimbangan MUI (yang keanggotaannya
terdiri dari 70 ketua umum ormasormas Islam dan 29 tokoh ulama, zuzuama dan
cendekiawan Muslim) dalam sidangnya tanggal 9 November 2016 yang dipimpin
ketuanya, Prof Din Syamsuddin, menyatakan:
“Karena
penistaan agama bukan masalah kecil, maka diminta agar proses hukum
dijalankan secara berkeadilan, transparan, cepat, dan memperhatikan keadilan
masyarakat luas (Pernyataan butir 5). Persoalannya sekarang, MUI “mendengar”
di kalangan umat muncul pendapat bahwa Kepolisian RI akan meng-SP3- kan kasus
Ahok.
Artinya,
kasus itu berhenti di kepolisian, tidak sampai pengadilan. Bila ini terjadi,
ada kemungkinan masyarakat Islam yang tidak puas akan melakukan aksi demo
lagi. Perlu dicatat, aksi demo 411 yang luar biasa itu adalah dari kelompok
yang “menyalahkan” Ahok. Dalam konteks inilah, muncul harapan agar pemerintah
menuntaskan kasus Ahok sampai tingkat pengadilan.
Setelah
melalui pengadilan— tentu dengan segala konsekuensinya— bila Ahok dinyatakan
bersalah, dan (misalnya) dipenjara, masyarakat yang menyalahkan Ahok akan
puas. Pemerintah pun akan mendapatkan credit point. Begitu juga bila Ahok
dinyatakan tidak bersalah dan (misalnya) bebas dari hukuman, masyarakat pun
harus puas karena hal itu telah melalui proses pengadilan.
Dengan
demikian, pemerintah pun mendapatkan credit point dari masyarakat Islam. Ini
terjadi karena ada adagium dalam dunia hukum: keputusan hakim itu suci dan
harus dilaksanakan, kendati perbuatan terdakwa tidak bisa dibuktikan. “Saya
patuh kepada keputusan hakim yang menghukum saya,” kata Antasari Azhar saat
bebas dari penjara, Kamis (10/10) di Tangerang, “Meski saya tidak melakukan
perbuatan seperti yang dituduh jaksa. Itulah adagium dunia peradilan.
Karena
itu, jika kemudian Ahok lepas dari hukum, meski menurut sebagian umat Islam
bersalah, umat Islam harus menerima keputusan pengadilan tersebut. Jika
tidak, akibatnya akan parah. Hukum tidak berwibawa lagi dan negara akan kacau
karena keputusan pengadilan tidak dipatuhi.”
Dari perspektif inilah seharusnya kita
melihat kasus demo 411 tersebut. Sikap umat Islam dalam demo 411 sesungguhnya
sudah mencerminkan “kepahlawanan” untuk mengedepankan perdamaian. Para ulama
juga sudah sepakat bahwa kasus Ahok jangan sampai memecah belah persatuan
umat dan mengganggu eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari
perspektif inilah, layak dinilai, dalam demo 411 umat Islam telah menjadi
pahlawan perdamaian demi tegaknya NKRI.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar