Melihat
Derita Koruptor
Moh Mahfud MD ; Ketua
Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan
Hukum Administrasi Negara
(APHTN-HAN); Ketua MK-RI 2008-2013
|
KORAN SINDO, 12 November
2016
Begitu
pintu kamar hotel tempat saya menginap saya buka, tamu saya itu langsung
menubruk dan memeluk saya sambil menangis menggerung- gerung. ”Pak, saya
mohon maaf Pak. Saya telah mempermalukan Bapak dan almamater kita. Tapi demi
Allah, Pak, saya tidak korupsi sepeser pun. Saya menjadi korban karena
jabatan dan atasan. Keluarga saya berantakan, Pak,” katanya sambil terus menangis
hingga airmatanya membasahi baju saya.
Tamu
itu adalah teman kuliah saya yang saat sama-sama kuliah di Yogya (awal
1980-an) dulu biasa saling panggil nama atau ”mas” saja dengan saya. Dia
bekerja sebagai sekretaris daerah (sekda) di sebuah kantor pemerintah daerah
dan baru memanggil ”bapak” kepada saya sejak saya menjadi pejabat negara.
Saya
tidak begitu suka dengan panggilan ”bapak” dari teman itu, tetapi saya tak
bisa menghalanginya karena begitulah budaya birokrasi kita.
Orang
yang bekerja di kantor-kantor pemerintah selalu memanggil ”bapak” kepada
pejabat yang lebih tinggi. Maka saya biarkan saja panggilan ”bapak” itu
kepada saya meski saya sudah tidak pejabat negara lagi. Dia meminta maaf
kepada saya, katanya, karena teman-temannya mengenal dirinya sebagai teman
saya sehingga dia merasa telah mempermalukan saya yang dikenal selalu menyerukan
perang terhadap korupsi.
Dia
juga meminta maaf kepada saya karena, katanya, telah mempermalukan almamater
kami berdua, sedangkan saya adalah ketua umum ikatan keluarga alumni
universitas kami tersebut. ”Mohon maaf, Pak, mohon maaf; saya telah mempermalukan
Bapak dan almamater kita,” ucapnya lagi sambil menangis lebih histeris dan
pelukannya semakin menguat ke tubuh saya.
Setelah
saya beri segelas air putih dan tangisnya agak mereda, bertanyalah saya
tentang apa yang sesungguhnya telah menimpanya. Dia bercerita dirinya
dijatuhi hukuman karena dinyatakan terbukti melakukan tindak pidana korupsi,
padahal dirinya tidak korupsi.
Kasusnya,
dia mengeluarkan dana bantuan sosial (bansos) kepada beberapa LSM yang dibawa
para anggota DPRD, tetapi banyak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan karena
beberapa di antara LSM itu ternyata fiktif belaka. Beberapa anggota DPRD yang
membawa proposal LSM fiktif itu memang telah dijebloskan ke penjara sebagai
pelaku korupsi, tetapi sekda itu merasa dizalimi karena dijatuhi hukuman
pidana juga.
Saya
mengatakan kepadanya bahwa dari sudut hukum dia memang bersalah karena
mencairkan dana yang ternyata dikorupsi para penerima. Tapi di situlah dia
merasa dizalimi. ”Saya diperintah oleh atasan,” katanya. ”Mengapa tidak ditunjukkan
bukti di pengadilan bahwa Saudara hanya diperintah oleh atasan?” tanya saya.
Berceritalah
dia bahwa kepala daerah yang memerintahkannya tidak mau memberi disposisi
atau perintah tertulis. Dia hanya memerintahkan agar proposal-proposal dari
LSM yang diajukan anggota-anggota DPRD itu diberi jatah bansos. Ketika
diminta disposisi atau memo, si kepala daerah tidak mau, tapi malah
mengatakan bahwa itu sudah disetujui bersama dengan DPRD.
Sebagai
bawahan dia tak bisa mengelak untuk melaksanakan perintah itu. Tapi itulah
akibatnya. Karena tidak punya bukti perintah tertulis dari atasannya,
dihukumlah sekda ini dengan dasar turut memperkaya orang lain dengan cara
melanggar hukum yang merugikan keuangan negara.
Bagi
sang sekda, masalahnya memang dilematis. Kalau dia tidak mencairkan dana itu
bisa dijepit oleh pimpinan eksekutif dan DPRD sehingga bisa terlempar dari
posisinya. Di sini, meski mungkin tidak setuju, kita maklum, mengapa kemudian
sekda tersebut mencairkan uang bansos yang sangat berisiko itu.
Kawan
saya itu mendekam di penjara selama dua tahun dan tak lama setelah bebas dia
menemui saya di hotel yang saya sebut di atas. Kehancuran hatinya tidak
berhenti di situ. Anaknya yang tadinya dikenal sangat pandai, rajin salat dan
mengaji, patuh kepada orang tua, menjadi teladan di sekolah ikut menjadi
rusak.
Saat
ayahnya mulai disebut-sebut di media massa sebagai tersangka korupsi, sang
anak sangat terpukul, malu, dan frustrasi. Anak itu mulai jarang pulang tanpa
memberi tahu, kemudian pernah sekali-sekali pulang tetapi tubuhnya sudah
bertato dan tak hormat lagi kepada keluarga.
Pada
titik cerita ini dia menangis lagi dengan keras. ”Keluarga saya hancur, Pak.
Anak saya sampai sekarang tidak pulang, entah ke mana,” katanya di sela-sela
tangisnya. Saya sungguh terharu dan tak tahu apa yang harus saya sampaikan
sebagai nasihat, sebab siapa pun tidak akan bisa menerima kenyataan itu tanpa
menangis dan menyesali diri. Saya memiliki seorang teman lain yang juga sekda
di sebuah provinsi.
Dia
dihukum empat tahun penjara karena mengeluarkan dana bansos atas perintah
atasan, padahal dana-dana itu sudah ditarik kembali dan disetor ke kas daerah
sesuai dengan perintah BPK. Dia tetap dipenjara dengan dasar, tindakan yang
telah memenuhi unsur korupsi tetap dihukum meski uangnya dikembalikan.
Dia
terpuruk, harga dirinya runtuh, keluarganya menjadi berantakan. Dulu, anggota
DPR yang divonis karena kasus korupsi pengadaan Alquran menangis tersedu-sedu
di sidang pengadilan karena cucu yang sangat disayanginya melihatnya dengan
malu dan terpukul, sedangkan keluarganya menjadi ikut terbawa- bawa oleh
sanksi sosial. Ada dua hal yang patut dicatat di sini.
Pertama,
para koruptor dan orang yang dijatuhi hukuman hidupnya akan hancur
berantakan. Diri dan keluarganya menjadi seperti sampah di tengah-tengah
masyarakat. Anak menjadi malu, bahkan mungkin akan sulit mendapat teman dan
jodoh. Seumpama mendapat jodoh pun sang ayah harus hadir di pernikahan
anaknya dengan berangkat dari penjara dan dikawal ketat sebagai narapidana.
Kedua, siapa pun yang menjadi kepala daerah
tidak boleh buang badan menyuruh mengeluarkan uang, tetapi jika menjadi kasus
yang dikorbankan adalah bawahan yang melaksanakan perintahnya. Itu biadab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar