Menyoal
Rezim Defamasi
Halili ; Dosen
Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta;
Peneliti di Setara Institute
|
KOMPAS, 14 November
2016
Pidato
Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok di Kepulauan Seribu yang nyrempet salah
satu ayat Al Quran berbuntut panjang. Dipanasi oleh atmosfer politik
elektoral di DKI Jakarta, sejumlah elemen umat Islam di beberapa daerah
menuntut proses hukum terhadap Ahok dengan tuduhan Ahok telah menistakan
Islam.
Kasus
tersebut merupakan momentum baik untuk mendiskusikan banyak hal tentang
kebernegaraan kita. Dalam konteks itu, tulisan ini bermaksud mereaktualisasi
diskusi mengenai rezim defamasi (penodaan) agama di Indonesia.
Pertama,
bagaimana problematika rezim defamasi agama dalam keberagaman keberagamaan
Indonesia? Kedua, bagaimana paradigma ideal penegakan hukum defamasi agama?
Secara
faktual, tuduhan defamasi yang dialamatkan kepada Ahok oleh kelompok-kelompok
pengunjuk rasa menemukan relevansi dan preseden dalam kasus-kasus yang lain
di Indonesia. Sebab, argumentasi defamasi juga sering kali didalilkan oleh
negara dalam menindak kelompok-kelompok keagamaan minoritas.
Soal
rezim defamasi
Masyarakat
dunia kontemporer memberikan perhatian yang besar terhadap defamasi agama.
Tahun 2009, Majelis Umum PBB menyetujui resolusi tentang Combating Defamations of Religions. Faktor determinan resolusi
tersebut adalah kecenderungan bahwa defamasi agama dapat memantik disharmoni
sosial dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Meski begitu, resolusi
tersebut tidak memberikan kewenangan kepada negara-negara dengan alasan
defamasi agama untuk membatasi kebebasan berkeyakinan, berpendapat, dan
berekspresi yang notabene merupakan hak sipil dan politik yang fundamental,
sebagaimana diatur dalam International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966.
Salah
satu misi perang melawan defamasi agama adalah pemenuhan HAM, maka norma
substantif yang mestinya diacu adalah instrumen HAM, yang mengikat secara
hukum (legally binding), khususnya
ICCPR. Apalagi untuk konteks Indonesia, ICCPR merupakan hukum positif sebab
sudah diratifikasi melalui UU No 12/2005.
ICCPR
menegaskan, kebebasan beragama/berkeyakinan merupakan hak dasar [Pasal 18
Ayat (1)-(4)]. Dalam konvensi tersebut tidak ada pendefinisian khusus tentang
defamasi agama. Namun, ada larangan spesifik yang berkaitan dengan agama,
yaitu Pasal 20 Ayat (2) yang berbunyi: ”Segala tindakan yang menganjurkan kebencian
atas dasar kebangsaan, ras, atau agama yang merupakan hasutan untuk melakukan
diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan harus dilarang oleh hukum”.
Artinya,
ekspresi eksternal atas kebebasan internal (forum internum)untuk beragama dan
berkeyakinan dijamin hukum, sepanjang tidak memuat hate speech atau anjuran
kebencian, yakni hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan, dan
kekerasan. Dengan menggunakan metode penafsiran gratikal dan
teleologis-sosiologis, hate speech inilah substansi pokok defamasi agama
menurut instrumen HAM.
Sementara
menurut Pasal 156a KUHP dan Pasal 1 UU No 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan
Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, substansi penodaan agama adalah
penafsiran dan kegiatan keagamaan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran
agama. Ketentuan tersebut problematik karena tafsir yang sekadar berbeda saja
(terutama dari tafsir arus utama ajaran agama tertentu) berpotensi disebut
penodaan, apalagi jika dilegitimasi dengan penyesatan.
Padahal,
betapa banyak perbedaan pokok-pokok ajaran berbagai mazhab atau sekte dalam
satu agama, apalagi antaragama. Bisa dibayangkan besarnya potensi ”penodaan”
itu. Oleh karena itu, ketentuan dua peraturan perundang-undangan tersebut
harus direvisi.
Posisi
negara
Dalam
rezim defamasi yang problematik tersebut, negara akan mudah menjadi alat
tirani tafsir arus utama agama kepada yang pinggiran; mayoritas terhadap
minoritas, dari yang cerewet (noisy)
ke yang diam (silent). Atau, paling
tidak, pemeluk agama dengan tafsir mayoritas akan ”membantu” negara dalam
menghukum sesama pemeluk agama dengan ”tafsir menyimpang”, seperti yang
banyak terjadi di Indonesia. Di titik inilah potensi disharmoni sosial dan
pelanggaran HAM ditabung. Hal ini jelas bertentangan dengan misi anti
defamasi agama yang dicanangkan negara-negara beradab di dunia.
Apalagi
data menunjukkan bahwa rezim defamasi yang mengidap cacat paradigmatik
tersebut kerap kali ditegakkan secara hukum dengan menghimpun energi politik.
Setara Institute mencatat, UU No 1/PNPS/1965 paling banyak digunakan pada
masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono dengan sokongan gerakan massa. UU
Penodaan Agama tersebut dalam kurun 2004-2014 digunakan untuk 100 lebih
kasus. Padahal, sepanjang masa pemerintahan otokratik Soeharto, UU yang sama
tercatat digunakan hanya untuk 10 kasus.
Tak
boleh terulang
Setelah
reformasi, rezim defamasi agama yang rapuh ditegakkan lebih banyak dengan
mengandalkan energi politik di luarnya. Salah satu contoh aktual yang
menonjol adalah kriminalisasi Tajul Muluk di Sampang dengan pasal penodaan
agama.
Padahal
tokoh Syiah tersebut beserta jemaahnya nyata-nyata jadi korban kekerasan,
penyerangan, dan pembakaran yang mengakibatkan rusaknya harta benda,
hilangnya nyawa, serta tercerabutnya hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial,
dan budaya. Namun, dalam kasus tersebut, massa dan kelompok-kelompok
intoleran menghendaki agar Tajul Muluk dipenjara dengan dalil penodaan agama
dan negara menuruti selera mereka.
Penegakan hukum demikian tidak boleh
terjadi lagi. Negara mesti menegakkan rezim defamasi agama dengan beralas
pada dasar negara, konstitusi dan zeitgeist di balik Bhinneka Tunggal Ika dan
mengacu pada instrumen HAM yang juga digunakan negara-negara beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar