Tunggu
dan Lihat
Hikmahanto Juwana ; Guru
Besar Hukum Internasional UI, Jakarta
|
KOMPAS, 11 November
2016
Rakyat
Amerika Serikat telah menentukan pilihannya. Donald Trump terpilih menjadi
presiden ke-45 AS menggantikan Barack Obama.
Banyak
pihak terkejut. Tidak hanya publik dan pengamat politik di AS, tetapi juga
para pemimpin dunia. Mereka tidak menyangka. Padahal, sehari sebelum rakyat
AS memilih, sejumlah survei memperlihatkan Hillary Clinton yang akan
memenangi pertarungan.
Boleh
jadi para swing voters di sejumlah
negara bagian mengulang apa yang terjadi ketika Inggris akhirnya keluar dari
Uni Eropa. Mereka memilih Trump bukan karena karakter, kepemimpinan, atau
program-programnya. Bisa jadi mereka memilih Trump karena sekadar ingin
membuktikan bahwa berbagai hasil survei salah adanya.
Arah
kebijakan luar negeri
Apa
pun alasan di balik kemenangan dan keterkejutan dunia terhadap terpilihnya
Trump, negara-negara di dunia harus menghormati pilihan rakyat AS. Sejumlah
pemimpin dunia, termasuk Presiden Joko Widodo, telah memberikan selamat
kepada Trump dan berharap di bawah kepemimpinan Trump hubungan antarnegara
semakin erat dan saling menguntungkan.
Keterkejutan
dari pemimpin dunia dan rakyat di sejumlah negara telah mengarah pada kekhawatiran
bagaimana AS berada di bawah kepemimpinan Trump.Apakah AS akan lebih inward
looking? Apakah AS akan menarik diri menjadi polisi dunia di sejumlah
kawasan? Apakah perdagangan bebas akan diakhiri? Apakah AS akan menjadi
negara anti imigran? Apakah tembok tinggi jadi dibangun?
Apakah
hubungan dengan Rusia semakin akrab mengingat Trump dan Vladimir Putin saling
mengenal? Apakah perasaan Islamofobia semakin memiliki basis di AS? Dan masih
banyak lagi apakah, apakah lainnya.
Kekhawatiran
ini dapat dimengerti karena dunia mendengar apa yang disampaikan Trump pada
masa kampanye. Trump membeberkan apa yang akan dilakukan saat ia menjadi
presiden dengan tujuan membuat AS hebat kembali (make America great again).
Kekhawatiran
dunia terhadap Trump sebagai Presiden AS bisa jadi hanya reaksi sesaat. Ada
dua alasan untuk ini.
Pertama,
Trump sebagai kandidat presiden akan berperilaku berbeda saat ia menjadi
presiden. Ketika menjadi kandidat, layaknya kandidat dalam suatu pemilihan,
akan berkampanye seolah dapat mengubah kebijakan dalam waktu semalam. Namun,
saat telah menjabat, banyak realitas yang harus dihadapi. Saat itulah siapa
pun yang menjabat baru menyadari bahwa tidak mudah untuk mengubah kebijakan
yang sudah mengakar dan berkaitan dengan berbagai isu lain.
Mulai
realistisnya Trump dapat dilihat dalam pidato kemenangannya. Trump seolah
melunak dalam kaitan dengan hubungan luar negeri. Ia mengatakan, ”Saya ingin
mengatakan kepada masyarakat dunia, sementara kami akan mengedepankan
kepentingan Amerika sebagai yang utama, tetapi kami akan berhubungan secara
adil dengan semuanya, semua masyarakat dan semua bangsa.” Selanjutnya Trump
mengatakan, ”Kami akan mencari dasar yang sama, bukan permusuhan; kemitraan,
bukan konflik.”
Kata-kata
itu mengindikasikan Trump tidaklah segarang ketika saat ia berkampanye. Saat
kampanye, kegarangan ditonjolkan demi mendulang suara. Banyak rakyat AS yang
kecewa terhadap performa Obama pada tahun-tahun terakhir. Bagi mereka,
memilih Hillary berarti memperpanjang kepemimpinan Obama meski Trump bukanlah
pilihan yang ideal.
Kedua,
perlu dipahami dalam pemerintahan AS ada dikotomi antara politisi dan
birokrat. Presiden dan menteri adalah politisi. Politisi bisa masuk dan bisa
keluar. Saat masuk, mereka ingin banyak hal diubah, tetapi belum sampai
perubahan terjadi mereka harus keluar.Lalu, siapa yang harus menjaga
konsistensi kebijakan? Di sinilah peran birokrat. Birokrat berperan untuk
menjaga konsistensi kebijakan di AS, termasuk kebijakan luar negeri.
Di
negara-negara yang mapan demokrasinya, birokrat sangat solid dan tak mudah
didikte oleh politisi yang menduduki jabatan presiden, perdana menteri, dan
menteri. Di negara yang menganut sistem parlemen, seperti Inggris, Australia,
dan Jepang, masa jabatan perdana menteri dan menteri terkadang hanya dalam
hitungan bulan. Namun, stabilitas pemerintahan dan konsistensi kebijakan
terjaga. Ini semua karena peran birokrat.
Obama
saat berkampanye menjanjikan agar penjara Guantanamo Bay ditutup. Namun,
hingga saat ini dan bisa dipastikan hingga berakhirnya masa jabatan
kepresidenannya, Guantanamo Bay tidak akan ditutup. Ini tidak lepas dari
peran birokrat.
Oleh
karena itu, dapat dipastikan para birokrat akan menjaga kebijakan AS meski
terjadi perubahan atau pergantian presiden dari waktu ke waktu. Justru para
birokrat dan perwakilan AS di seluruh dunia mempunyai tugas tambahan. Mereka
harus menjelaskan kepada pemimpin, para elite, dan rakyat di suatu negara
bahwa AS di bawah kepemimpinan Trump tidak akan sama seperti saat Trump
berkampanye.
Jika
berurusan dengan pemerintah dan elite, bisa jadi tidak akan sulit untuk
meyakinkan. Hanya saja untuk meyakinkan rakyat di banyak negara akan jauh
lebih sulit. Banyak rakyat di suatu negara telah mempunyai persepsi yang
negatif terhadap Trump. Mereka merekam pernyataan-pernyataan tidak bersahabat
dari Trump sehingga mereka menganggap AS identik dengan Trump saat kampanye.
Sulit
Meski
akan terjaga konsistensi kebijakan Pemerintah AS, di sana-sini bukannya tidak
ada perubahan kebijakan. Saat ini masih sulit untuk menerka sejauh mana
perubahan kebijakan akan terjadi di bawah kepemimpinan Trump.
Kesulitan
untuk menerka karena Trump belum bertemu dengan birokrat. Interaksi ini
penting karena akan diketahui sejauh mana janji kampanye Trump dapat
terakomodasi.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar