Makna
Kemenangan Donald Trump untuk Indonesia
Aleksius Jemadu ; Guru
Besar Politik Internasional
Universitas Pelita Harapan
Karawaci, Tangerang
|
KOMPAS, 11 November
2016
Pengaruh
besar Amerika Serikat di berbagai belahan dunia membuat orang bertanya-tanya
tentang arah kebijakan luar negeri presiden terpilih Donald Trump. Dalam
kampanyenya, Trump melontarkan berbagai janji yang tampaknya agak
bertentangan dengan prinsip-prinsip yang sudah menjadi pola umum dalam
kebijakan luar negeri AS, terlepas dari apakah presidennya dari Partai
Republik ataupun Partai Demokrat.
Majalah
The Economist (edisi 2 November
2016) yang sangat kritis dengan pencalonan Trump menyebutkan bahwa isi
kampanye Trump bertentangan dengan tradisi AS yang mendukung globalisasi dan
perdagangan bebas, terpeliharanya hubungan baik AS dengan sekutu-sekutunya di
Eropa dan Asia, serta promosi hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di
seluruh dunia.
Trump
menaruh kecurigaan yang mendalam terhadap kesepakatan perdagangan bebas, baik
di tingkat regional dengan Meksiko dalam kerangka Kawasan Perdagangan Bebas
Amerika Utara (NAFTA) dan tingkat global, yaitu Organisasi Perdagangan Dunia
(WTO).
Sistem
perdagangan bebas telah mengakibatkan pengangguran bagi kelas menengah AS
yang menjadi basis penting bagi terpilihnya Trump. Dengan alasan ini juga,
Trump menolak mentah-mentah perjanjian perdagangan Kemitraan Trans-Pasifik
(TPP) yang diusung pendahulunya, Presiden Barack Obama.
Penolakan
terhadap prinsip perdagangan bebas ini juga bertolak belakang dengan tradisi
Partai Republik, khususnya di bawah Presiden Ronald Reagan tahun 1980-an yang
terkenal dengan promosi pasar bebas dengan meminimalisasi peranan negara
dalam perekonomian.
Dalam
kampanyenya, Trump seperti tidak menyadari bahwa dalam kebijakan luar negeri
AS, promosi demokrasi dan HAM adalah kepentingan utama (core interest). Tanpa keraguan, Trump memuji sikap tegas Tiongkok
dalam menindas demonstrasi mahasiswa di Lapangan Tiananmen tahun 1989 serta
memuji Presiden Rusia Vladimir Putin yang melanggar asas demokrasi dan HAM di
Rusia.
Sikap
lunak dan bahkan pujian terhadap Putin ini tentu mengejutkan bagi sekutu AS
di Eropa Barat yang tergabung dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO)
yang mengecam sepak terjang Rusia di Ukraina. Akankah AS di bawah Trump
meninggalkan dan menelantarkan NATO?
Bagaimana
Asia dan Indonesia?
Berdasarkan
acuan di atas, kita bisa memperkirakan apa yang akan dilakukan Trump di Asia.
Ia memandang Tiongkok dengan penuh kecurigaan dan bahkan merencanakan
memberikan sanksi tegas kepada mitra dagang utama AS itu.
Trump
tampaknya tidak menyadari bahwa konstelasi ekonomi politik sudah berubah pada
abad ke-21 ini di mana telah muncul kekuatan ekonomi baru di Asia, yaitu
Tiongkok dan India yang tidak bisa diabaikan begitu saja oleh AS. Bahkan, AS
akan menanggung rugi yang besar jika gagal memanfaatkan pertumbuhan ekonomi
kedua raksasa Asia ini.
Pada
abad ke-20 mungkin AS masih mendominasi ekonomi dan keamanan dunia, tetapi
pada abad ke-21 ini telah terjadi perubahan yang mendasar dengan munculnya
perekonomian-perekonomian yang pasarnya masih bertumbuh (the emerging
markets) yang tergabung dalam BRICS (Brasil, Rusia, India, Tiongkok, dan
Afrika Selatan) yang berkemampuan menantang dominasi AS dan Barat pada
umumnya.
Ekonomi
politik dunia semakin dicirikan dengan saling ketergantungan yang semakin
mendalam, baik melalui globalisasi keuangan maupun produksi. Kejayaan dan
kebangkitan ekonomi AS setelah Perang Dunia II justru disebabkan oleh sikap terbuka
dan menjangkau dunia luar melalui kerja sama, baik di tingkat regional maupun
global. Jika tradisi yang sukses itu ditinggalkan, kita mempertanyakan
alternatif apa yang akan ditawarkan Trump.
Dari
sudut kepentingan Indonesia, kehadiran AS di Asia masih sangat dibutuhkan
untuk mengimbangi dominasi ekonomi dan militer Tiongkok yang tidak jarang
mengabaikan norma dan hukum internasional.
Kita
sudah melihat bagaimana Tiongkok mengabaikan putusan Mahkamah Arbitrase
Internasional (PCA) yang menolak klaim kedaulatan sepihak Tiongkok di Laut
Tiongkok Selatan. Dominasi salah satu kekuatan besar di Asia Tenggara akan
mengecilkan arti ASEAN yang selama ini penuh dengan inisiatif untuk code of
conduct dalam tata kelola konflik di Laut Tiongkok Selatan demi menjaga
perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara.
Bagaimanapun
ASEAN adalah platform regional kebijakan luar negeri Indonesia yang bisa
meningkatkan posisi tawar kita di dunia internasional.
Kemitraan
AS-Indonesia
Di
samping itu, Indonesia berkepentingan melanjutkan kemitraan strategis dengan
AS yang mewadahi kerja sama jangka panjang kedua negara dalam bidang
perdagangan dan investasi, perubahan iklim, dan sosial budaya. Kerja sama
yang sudah dibina selama ini telah meningkatkan arus investasi Amerika Serikat
ke Indonesia dan perdagangan bilateral yang memberi keuntungan kepada kedua
pihak.
Dengan
pertumbuhan ekonominya yang cukup tinggi dan pertumbuhan daya beli kelas
menengah, keliru besar jika AS di bawah Trump akan mengabaikannya hanya
karena pemerintahannya lebih mengutamakan tuntutan kelas menengah di dalam
negeri.
Akhirnya,
sikap diskriminatif Trump terhadap Islam sangat disesalkan dan bahkan
merugikan kepentingan keamanan AS sendiri. Bagaimanapun Indonesia adalah
contoh negara yang berhasil mengombinasikan antara pendekatan represif dan
budaya melalui deradikalisasi dalam upaya menanggulangi ancaman terorisme.
Mestinya Indonesia bisa menjadi mitra yang
penting bagi AS. Selain itu, keberhasilan Indonesia sebagai bangsa dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia dalam menciptakan demokrasi yang relatif
stabil perlu diapresiasi sebagai soft
power yang menginspirasi dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar