Sejarah
Lokal untuk Bangsa
S Hamid Hasan ; Guru
Besar Emeritus Universitas Pendidikan Indonesia
|
KOMPAS, 11 November
2016
Pertemuan
besar Konferensi Nasional Sejarah X baru saja selesai. Pertemuan ini berfokus
pada sejarah maritim, suatu fokus studi sejarah yang sangat penting untuk
mengkaji prestasi bangsa Indonesia di bidang kebaharian, melanjutkan dan
mengembangkannya dalam kehidupan masa kini dan masa mendatang.
Salah
satu bidang kajian di antara tujuh subtema yang dibahas adalah ”Pemikiran
Pembelajaran dan Pengajaran Sejarah”. Ada dua masalah pembelajaran sejarah
Indonesia yang terjadi pada saat sekarang yang pembelajaran sejarah maritim
akan terkungkung di dalamnya jika perubahan dalam proses pembelajaran sejarah
Indonesia tidak dilakukan.
Membangun
memori kolektif
Permasalahan
pertama yang cukup kritikal dalam pembelajaran sejarah Indonesia, termasuk
sejarah maritim, adalah siswa tercerabut dari lingkungan sosial-budaya
mereka. Siswa belajar tentang berbagai peristiwa sejarah yang dinyatakan
sebagai peristiwa sejarah Indonesia, sebagaimana yang tercantum dalam
Kompetensi Dasar mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dan Sejarah
Indonesia.
Mereka
mengenal apa yang terjadi dalam panggung sejarah di Indonesia, ada yang
terjadi di lokalnya tetapi banyak juga yang terjadi di lokal yang jauh dari
dirinya. Siswa Surabaya beruntung belajar mengenai 10 November yang terjadi
di lokalnya, tetapi mereka juga belajar peristiwa sejarah yang jauh dan
”tidak terkait dengan lokalnya”.
Namun,
dalam kenyataannya, siswa lebih banyak belajar peristiwa sejarah di luar
lokal di mana mereka bertempat tinggal. Siswa yang belajar sejarah maritim
tidak mengenal lokalnya sebagai wilayah maritim, terkecuali mereka yang
tinggal di wilayah kerajaan maritim besar Indonesia dan tercantum dalam buku
teks pelajaran sejarah.
Akibat
dari pembelajaran sejarah Indonesia yang demikian, siswa kurang atau bahkan
tidak mengenal masyarakatnya dan perkembangan masyarakatnya pada masa lalu,
nilai-nilai yang diwariskan, dan kontribusi masyarakatnya dalam perjalanan
sejarah bangsa. Seolah-olah masyarakat sekitarnya tidak terlibat dalam
peristiwa sejarah Indonesia.
Oleh
karena itu, banyak siswa di sejumlah wilayah Indonesia tidak mengenal
peninggalan zaman pra-aksara di lokalnya ketika mereka belajar pra-aksara
Indonesia. Mereka tidak mengenal peninggalan- peninggalan Hindu dan atau
Buddha di wilayahnya ketika mereka sedang mempelajari zaman kerajaan
Hindu-Buddha Indonesia.
Demikian
pula ketika mereka belajar zaman kerajaan Islam di Indonesia, mereka tidak
memahami kerajaan Islam yang ada di wilayahnya. Ketika mereka belajar masa
pergerakan sampai dengan peristiwa terakhir (masa reformasi), mereka tidak
tahu peristiwa yang terjadi di wilayahnya.
Peristiwa
yang mereka pelajari adalah peristiwa yang jauh dari mereka, baik dalam unsur
ruang (lokal) maupun dalam unsur waktu. Pengecualian dari kenyataan di atas
adalah ketika peristiwa di lokal siswa itu, yang merupakan peristiwa sejarah
Indonesia, tercantum dalam kurikulum dan dalam buku teks.
Untuk
membangun memori kolektif sebagai bangsa sebagai dasar pengembangan karakter
siswa, proses pembelajaran sejarah Indonesia harus diubah. Pendekatan
pembelajaran sejarah saat ini yang lebih berorientasi pada peristiwa nasional
dan yang tertulis pada buku pelajaran, diubah ke pendekatan semasa
(sinkronik). Dalam pendekatan semasa yang dikemukakan ini, peristiwa sejarah
di wilayah lokal yang semasa dengan peristiwa sejarah Indonesia dipelajari
sebagai suatu keterkaitan mata rantai peristiwa sejarah.
Nilai
kepahlawanan lokal
Dalam
proses pembelajaran dengan pendekatan semasa ini, maka pada waktu siswa
belajar tentang masa pra-aksara sejarah Indonesia—sebagai kelanjutan—mereka
juga mempelajari peninggalan sejarah zaman pra-aksara di wilayahnya. Pada
waktu siswa belajar zaman kerajaan Hindu atau Buddha atau Islam, mereka juga
dapat mempelajari perkembangan Hindu, Buddha, dan Islam di daerahnya.
Pada
waktu belajar periode Kebangkitan Nasional, siswa mempelajari berbagai
peristiwa yang terjadi di wilayahnya yang semasa dengan Kebangkitan Nasional.
Ketika mereka belajar tentang perang kemerdekaan tahun 1945-1950, mereka juga
belajar peristiwa di daerah masing-masing dalam mempertahankan kemerdekaan.
Siswa
di Kecamatan Parigi, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, misalnya, dapat
mempelajari perlawanan Balla Bunga yang terjadi pada masa tersebut. Siswa di
Bandung, Jawa Barat, dapat memiliki kesempatan belajar perjuangan Sersan
Badjuri, Sersan Sodik, dan lainnya di Bandung Utara. Ketika siswa di Papua
mempelajari ”Perjuangan Papua Kembali ke Republik Indonesia”, mereka pun
belajar tentang tokoh sejarah Papua yang tangguh memperjuangkan aspirasi
untuk kembali ke Republik Indonesia.
Demikian
pula siswa di daerah lain di Indonesia. Bagaimanapun, kejadian di daerah
merupakan bagian dari sejarah Indonesia dan peristiwa lokal akan sangat
membantu memahami sejarah nasional.
Dengan
memahami kontribusi nenek moyangnya dalam berbagai peristiwa sejarah
Indonesia, akan menimbulkan perasaan keterdekatan yang positif sebagai ahli
waris kehidupan bangsa. Mereka akan memiliki rasa kepemilikan bangsa yang
kuat karena adanya bangsa ini adalah hasil dari kontribusi orang-orang di
wilayah mereka dan banyak di antaranya nenek- kakek mereka sendiri. Pada
waktu bersamaan, pemahaman yang kuat mengenai nilai-nilai kepahlawanan,
keteladanan, dan kepemimpinan merupakan tantangan untuk melanjutkan warisan
nilai-nilai tersebut.
Problema
yang dihadapi dalam mengimplementasikan pendekatan semasa ini adalah sumber
belajar terkait peristiwa lokal. Direktorat Sejarah pada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan telah banyak menghasilkan buku-buku berkenaan
sejarah lokal meski belum cukup lengkap untuk seluruh periode dan lokal.
Buku-buku tentang peristiwa lokal di suatu wilayah tertentu tidak ada yang
tersedia di toko-toko buku.
Upaya
penulisan buku-buku perlu kerja keras sejarawan di wilayah lokal tersebut
selain apa yang sudah mereka hasilkan sekarang. Sementara itu, guru dapat
mengembangkan pembelajaran aktif bagi siswa untuk menggunakan sumber-sumber
sejarah, seperti dokumen, gedung, patung, dan cerita, guna mempelajari
peristiwa yang terjadi di wilayah lokalnya.
Warisan
yang berlanjut
Permasalahan
kedua pembelajaran sejarah Indonesia adalah peristiwa yang dipelajari selalu
dianggap hanya sebagai peristiwa yang sudah selesai pada masa lalu. Alhasil,
selama ini, belajar sejarah dianggap sebagai belajar sesuatu yang sudah lalu,
yang bagus untuk dikenang dan dipajangkan di museum atau disimpan di dalam
arsip.
Dalam
anggapan ini, masa sekarang dipandang tidak terkait dengan masa lalu, apalagi
masa lalu yang sangat jauh seperti masa pra-aksara, masa kerajaan Hindu, masa
kerajaan Buddha, masa kerajaan Islam. Padahal, kehidupan masa kini adalah
kelanjutan dari kehidupan masa lalu. Kehidupan masa kini tidak mungkin ada
tanpa masa lalu.
Memang
ada aspek kehidupan masa lalu sudah tidak berlanjut pada masa kini, tetapi
banyak aspek kehidupan masa kini merupakan kelanjutan dari masa lalu.
Sebutlah seperti cara hidup, cara berpikir, pakaian dan cara berpakaian,
makanan dan cara makan, upacara perkawinan, upacara kematian, kesenian,
rumah, upacara adat, agama dan kepercayaan yang dianut, serta masih banyak
aspek lainnya.
Kemajemukan
masyarakat Indonesia dalam budaya, sosial, agama, adat, ekonomi adalah
warisan yang masih berlanjut dari kehidupan masa lalu bangsa. Pengaruh
teknologi modern, terutama komunikasi, tidaklah mengubah seluruh struktur
kehidupan masyarakat. Bahkan, orientasi masyarakat terhadap teknologi adalah
warisan dari masa lalu.
Keunggulan
bahari yang akan dibangun kembali untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat
maritim dunia didasarkan pada warisan kehidupan maritim, yang pernah jaya
pada masa lalu, masih meninggalkan berbagai keunggulan dan semangat pada masa
kini. Pembangunan Indonesia sebagai pusat maritim dunia berdasarkan pada
kenyataan bahwa bangsa Indonesia masih meneruskan kehidupan maritim tersebut.
Sejarah memberikan banyak landasan kehidupan bangsa maritim yang masih hidup
di masyarakat masa kini, yang harus digali kembali dari yang sudah hilang,
dan untuk dikembangkan menjadi warna kehidupan bahari masa kini dan masa yang
akan datang.
Pembelajaran
sejarah Indonesia harus menyadarkan siswa bahwa sejarah masih hidup pada masa
kini dan menjadi living history yang mungkin tidak disadari. Untuk itu,
pembelajaran sejarah Indonesia harus mampu meyakinkan siswa bahwa belajar
sejarah Indonesia bukan belajar sesuatu yang sudah mati, melainkan sesuatu
yang terus-menerus berkelanjutan dalam kehidupan mereka masa kini, masa depan,
dan akan terus hidup pada generasi muda yang akan datang.
Untuk itu, mereka—generasi muda bangsa
ini—harus menjadi pengembang kehidupan kebangsaan yang tetap sebagai orang
Indonesia dan mewariskan kehidupan kebangsaan kepada generasi muda yang juga tetap
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar