Trump,
Populisme Politik dan Prospeknya
M Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
|
KORAN SINDO, 11 November
2016
Mengagetkan.
Donald Trump menang dalam pilpres AS tahun ini. Ia telah menyampaikan pidato
kemenangannya secara lebih kalem.
Prediksi-prediksi
yang melihat peluang kemenangan Hillary Clinton lebih besar pun lewat sudah.
Hillary pun telah memberi ucapan selamat. Meskipun banyak yang kecewa dan
khawatir, kemenangan Trump merupakan buah demokrasi. Masyarakat internasional
harus menghargainya dan segera menyesuaikan dengan perkembangan baru
tersebut.
Fenomena
Trump menggambarkan kemenangan populisme politik di AS. Ragam ulasan
mengenainya telah menyertai kehadiran Trump dalam kontestasi pilpres. Di
Majalah Foreign Affair Edisi
November-Desember 2016, komentator politik kenamaan Farid Zakaria mengulas
fenomena populisme Trump sebagai sosok yang berbeda, yang menurut Newt
Gingrich, ”unik, luar biasa pengalamannya.” Trump termasuk selebriti yang
”luwes dengan kenyataan”. Sosoknya nyentrik (unusual). Di AS, catat Michael Kazin di majalah yang sama,
populisme politik terkait dengan sejarahnya yang panjang.
Trump
tergolong ”populis yang tak disukai”, kendatipun ia sekadar menyuguhkan
”anggur lama” ke dalam ”botol baru”. Tak hanya menyangkut karakter sosok,
ketidaklaziman Trump ditunjukkan pula dalam aneka kampanyenya yang
kontroversial. Trump suka menyerempet isu sensitif yang membuat
kelompok-kelompok tertentu jengah. Banyak yang menolak lontaran-lontarannya
yang cenderung ”anti-imigran” dan ”diskriminatif”, tetapi pemilih mengambang
yang selama ini lebih banyak diam rupanya suka dengan isu-isu populis semacam
itu.
Kini,
populisme politik tak terelakkan lagi di AS setelah fenomena seperti ini
marak diperbincangkan dengan mengambil contoh kasus kehadirannya di Eropa,
Amerika Latin, hingga Asia, termasuk Asia Tenggara, bahkan Indonesia dan
Filipina. Kemenangan Trump seolah menandai gelombang populisme politik di
abad kita. Zakaria melihat populisme sebagai sesuatu yang berbeda dari
kelaziman politik arus utama.
Ada
ciri kecurigaan dan permusuhan terhadap elite dan lembaga politik arus utama.
Populisme melihat dirinya berbicara untuk orang biasa yang dilupakan. Juga
sering membayangkan dirinya sebagai representasi patriotisme asli. Trump
misalnya pernah menulis di The Wall
Street Journal (April 2016) bahwa satu-satunya penangkal terhadap ”dekade
kehancuran pemerintahan yang dikendalikan oleh segelintir kecil elite” adalah
dengan keberaniannya menyuntikkan ”kehendak rakyat”.
Trump
mengkritik negerinya diurus oleh ”elite pemerintahan yang salah”. Pada
mulanya populisme politik selalu membawa-bawa namarakyat. Politisipopulissuka
mengklaim apa yang hendak dilakukannya seiring kehendak rakyat. Mereka sangat
sadar yang mereka pidatokan merupakan bagian dari ikhtiarnya mengendalikan
alam bawah sadar orang kebanyakan dengan mengeksploitasi ragam kekecewaan
terhadap realitas.
Isu-isu
yang disampaikannya biasanya bersifat ekstrem untuk kasus-kasus tertentu,
bahkan kerap antipati pada kelompok-kelompok tertentu, terutama minoritas.
Retorika-retorika Donald Trump mencirikan semua itu. Muaranya jargon ”Make America Great Again!”
What
Next?
Kemenangan
Trump tak dapat dilepaskan dari konteks keamerikaan masa kini yang bukan
tanpa masalah. Jargon ”Make America
Great Again!” jelas memberangkatkannya dari adanya masalah-masalah
krusial yang menggejala dan bermuara pada ”melemahnya” AS sebagai negara
adidaya. Dalam retorika Trump, kepemimpinan Barack Obama digambarkan lemah
dalam berbagai hal, sehingga AS tak lagi ”hebat”.
Trump
mengaitkannya dengan masalahmasalah domestik yang membuat ”masyarakat AS”
tidak nyaman sebagai imbas dari kebijakan pemerintah yang akomodatif terhadap
imigran hingga penerapan pajak bagi orang kaya yang dinilai berlebihan. Trump
sempat dikritik oleh para tokoh PartaiRepubliktelah”membawa lari” isu-isu
konservatisme AS ke ranah yang lebih membahayakan. Tentang kebijakan politik
luar negeri AS, Trump telah menguraikannya dalam aneka kampanye dan debat
antarcapres.
Banyak
hal yang akan dilakukannya untuk menunjukkan perbedaannya dengan pemerintahan
Obama. Akan ada rekalkulasi AS terhadap berbagai kebijakannya terhadap
negara-negara Timur Tengah, China, hingga Korea Utara.
Pendekatan-pendekatannya, merujuk retorika Trump, akan ”lebih keras” dalam
menyelesaikan konflik dalam garis kepentingan nasional AS. Muaranya,
menunjukkan AS adidaya yang lebih hebat.
Gaya
komunikasinya yang atraktif dan menggebu-gebu dalam merespons isu-isu
internasional yang krusial membuat Trump terbayangkan bak koboi yang siap
menembak musuhmusuhnya. Politik luar negeri AS pasca- Obama, bisa lain sama
sekali. Doktrin Obama akan segera digusur Doktrin Trump dengan cita rasa yang
lain. Barangkali masyarakat internasional punya gambaran minimal, di mana
gaya kepemimpinan Trump bisa lebih mirip dengan George Bush Jr yang juga dari
Partai Republik.
Ia
akan lebih atraktif, terlepas dari latar belakangnya sebagai aktor ”reality
show”. Risikonya, politik internasional potensial lebih gaduh dan tegang,
konflik-konflik lama belum tentu terselesaikan justru oleh ketika konflik
baru hadir. Jargon ”Make America Great Again!” menggambarkan bagaimana AS
harus lebih dominan dalam penentuan keputusan-keputusan strategis
internasional dan lebih tampil gagah dalam merespons ”musuh-musuhnya”.
Gaya
semacam ini justru bisa memicu konflik. Namun, Trump akan dihadapkan pada
sejumlah hal yang membuatnya dipaksa berpikir ulang dalam mengambil
kebijakan, apakah dari oposisi ataupun publik anti-Trump. Di sisi lain, pasar
juga akan turut mengoreksi. Demikian pula dari sisi politik internasional,
tidak mudah kini AS mendiktekan kehendak sebagaimana pada masa Perang Dingin.
Kritisisme masyarakat internasional bukanlah sesuatu yang statis pula.
Realitas politik multipolar yang ditandai
hadirnya aktor-aktor strategis di luar AS, seperti China, Rusia, Iran dan
yang lain, menghendaki pola-pola komunikasi politik baru yang ”lebih
rasional”. Merujuk genealogi populisme politik Trump, prospek pemerintahannya
justru akan lebih banyak ditentukan oleh reaksireaksi politik yang muncul
atau melawan kebijakan-kebijakannya. Trump harus mampu mengelola semua itu,
kecuali akan terus menjadi bulan-bulanan di tengah labirin politiknya yang
terbalut jargon ”Make America Great
Again!”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar