Ahok,
Penistaan dan Pemaafan
JM Muslimin ; Dosen
Sosiologi Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta
|
KORAN SINDO, 11 November
2016
Gonjang-ganjing
akibat ucapan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) belumlah reda. Seperti yang
terlihat dalam aksi unjuk rasa di berbagai belahan kota Indonesia, umat Islam
menunjukkan sikap dan keprihatinannya.
Di
Jakarta yang merupakan episentrum dari denyut nadi politik nasional, luapan
massa itu begitu menyeruak dan menggema, khususnya dalam aksi demo 4
November. Mereka merasa terpanggil untuk menyatakan sikap dan
ketersinggungannya. Di sisi lain, publik khawatir, cemas dan waspada karena
gelombang demonstrasi begitu masif dan membahana. Beruntung, tidak ada
insiden yang dikhawatirkan banyak orang tersebut. Demonstrasi berjalan
relatif damai, meski sempat disusul oleh letupan vandalisme dan kekerasan.
Khususnya
di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara. Suka atau tidak, dilihat dari
materinya, ucapan Ahok di Pulau Seribu memang kontroversial dan potensial
untuk memecah harmonitas sosial. Ia merujuk kepada Alquran (surah al-Maidah,
51) untuk menyimpulkan larangan memilih pemimpin nonmuslim. Dalam ucapannya,
Ahok menyampaikan, ayat tersebut dipakai untuk mengelabui (menipu)
masyarakat. Sontak, kalimat tersebut menyulut emosi dan mengingatkan adanya
pasal tentang penistaan agama.
Legalitas
dan High Context
Rezim
kebebasan beragama di Indonesia adalah rezim kebebasan terikat (gebonden vrijheid). Artinya, keyakinan
untuk menghayati, meyakini dan meresapi kerohanian sebagai perasaan keagamaan
internal-personal, sepenuhnya dijamin undang-undang. Karena hal itu merupakan
aspek internal kebebasan, hak yang tidak dapat dicabut. Namun, menyatakan
atau berbuat sesuatu yang bersinggungan dengan konteks keagamaan atau
bersumberkan dari nilai keagamaan di dalam keterkaitannya dengan relasi
sosial, tidaklah berpangkal pada kebebasan mutlak.
Oleh
karena itu, meski pernah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK),
Undang-Undang (UU) Nomor 5/1969 atau yang dikenal dengan UU Nomor 1/PNPS/1965
masih dinyatakan berlaku, di mana Pasal 1 UU Nomor 1/PNPS/1965 tersebut
berbunyi: ”Setiap orang dilarang dengan
sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan
umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di
Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai
kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan mana
menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”.
Personifikasi
Ahok sekarang ini bukanlah manusia biasa. Selain yang bersangkutan adalah
gubernur petahana, Ahok juga calon gubernur Daerah Khusus Ibu Kota (DKI)
Jakarta. Proses pencalonannya pun berlangsung sedemikian rupa dramatis,
dengan tarik ulur politik yang atraktif, sekaligus akrobatik. Kontestasi dan
kompetisinya pun sangat menantang dan sarat dengan teka teki silang. Maka,
tidak dimungkiri, konteks kasus ini adalah konteks yang tinggi.
Adalah
hak Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menyatakan pendapat dan pernyataan
keagamaannya, sepertijuga hak publik untuk mengkritisi pernyataan Ahok dengan
aneka cara, termasuk dengan aksi unjuk rasa masif 4 November lalu. Tetapi
cepat atau lambat namun pasti, sekarang persoalannya semakin meruncing dan
melebar.
Tidak
mustahil akan merembet dan lari ke mana-mana. Maka sudah saatnya dipikirkan
bahwa menjadi hak publik juga untuk merasakan ketenteraman dan kedamaian
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berbineka. Mungkin
saat ini saatnya semua pihak duduk bersama kembali: andaikan penistaan itu
secara formal maupun materiil terbukti atau tidak terbukti, yang jelas
perasaan keagamaan masyarakat Islam sudah terluka.
Aksi
dan unjuk rasa adalah aspirasi dan bukti nyatanya. Apalagi sampai demonstrasi
berakhir, Presiden Jokowi belum menunjukkan inovasi dan kepiawaiannya untuk
meredakan situasi dan merangkul semua anak negeri. Walau demikian, tidaklah
semua terlambat. Semua pihak ada baiknya untuk berkepala dingin dan lapang
dada: Ahok dengan elegan dapat bersafari untuk bersilaturahim dengan ulama
serta menyatakan penyesalannya dengan (kembali) meminta maaf, sementara ulama
dapat menerimanya dengan tangan terbuka.
Seraya
(semuanya) menekankanperlunya sikap kehati-hatian ekstra dalam hal berdimensi
dan berpotensi konflik horizontal. Publik masih tetap berharap Presiden
Jokowi dapat benar-benar dan nyata sebagai pemimpin. Bukan hanya sebagai
presiden. MUI sudah melakukan kanalisasi aspirasi. Umat sudah menyampaikan
bisikan nurani.
Di atas semua, rakyat ingin harmoni agar
negara yang dihuni oleh banyak penduduk muslim ini dapat terus menjalankan
agenda demokrasi. Sesuatu yang langka di banyak negeri. Dunia sudah
mengapresiasi. Demokrasi yang tidak terdistorsi. Demokrasi yang berdimensi
nilai ilahi. Kita tetap meyakini, interaksi simbolik yang positif antarelite
dapat meredam situasi dan menabalkan harapan untuk kebersamaan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar