Prasyarat
Pilkada Demokratis
Farouk Muhammad ; Wakil
Ketua DPD RI
|
MEDIA INDONESIA,
12 November 2016
JIKA
tidak ada aral melintang, pilkada serentak tahap II akan diselenggarakan 15
Februari 2017. Pilkada itu akan diikuti 101 daerah, terdiri atas 7 provinsi,
18 kota, dan 76 kabupaten, yang jabatan kepala daerahnya berakhir pada Juli
2016 hingga awal 2017. Peserta pilkada serentak tahap II memang tidak
sebanyak tahap I yang diikuti 269 daerah pada 9 Desember 2015 lalu. Meski
demikian, seluruh potensi permasalahan dalam penyelenggaraan pilkada
berdasarkan hasil evaluasi sebelumnya harus tetap diantisipasi untuk
menghasilkan proses dan hasil pilkada yang semakin berkualitas dalam
perspektif demokratisasi di daerah sehingga bisa menjadi milestone bagi
penyelenggaraan pilkada serentak berikutnya.
Esensi
pilkada demokratis
Pemilu
merupakan mekanisme demokratis untuk mengejawantahkan kedaulatan rakyat.
Rakyat memilih pemimpin dan memberikan mandat kepada yang terpilih mengelola
negara untuk kepentingan mereka (rakyat). Hasil pemilu diharapkan melahirkan
para pemimpin berkualitas (baik di eksekutif maupun legislatif) sehingga
mampu menghadirkan kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyat dalam beragam
aspeknya. Inilah esensi dari pemilu demokratis yang harus terus dipedomani
sehingga semakin relevan dalam praktik berbangsa dan bernegara.
Pemilu,
yang awalnya hanya berlaku untuk memilih presiden-wapres dan anggota
legislatif, sejak medio 2005 digunakan sebagai mekanisme untuk memilih kepala
daerah di seluruh Indonesia. Pilkada menandai era deliberasi partisipasi
rakyat dalam memilih pemimpinnya sejalan dengan semangat penguatan otonomi
daerah sebagai paradigma pembangunan nasional. Pilkada memiliki peran yang
penting dan urgen bagi maju mundurnya otonomi berdasarkan asumsi bahwa
otonomi daerah memerlukan seorang pemimpin yang visioner dan mampu
mengembangkan potensi daerah masing-masing.
Secara
teknis, pilkada merupakan sarana sirkulasi (pergantian) kepemimpinan di
daerah, tetapi secara substantif pergantian tersebut menjadi penanda hadirnya
harapan baru untuk kemajuan pembangunan di daerah. Tentu diharapkan akan
lahir pemimpin daerah yang kreatif, inovatif, kaya gagasan dan terobosan,
serta terampil dalam mengembangkan potensi daerah termasuk menggerakkan/memotivasi
rakyat untuk berpartipasi dalam pembangunan. Inilah yang menjadi penanda
proses konsolidasi demokrasi. Demokrasi tidak sekadar bermakna prosedural
akan, tetapi secara substansial mampu menghadirkan kemajuan dalam pembangunan
dan peningkatan kesejahteraan bagi rakyat di daerah.
Prasyarat
pilkada demokratis
Untuk
menghadirkan pilkada yang demokratis baik secara prosedural maupun
subtansial, setidaknya ada empat hal yang perlu kita cermati. Pertama,
terkait dengan kualitas calon, pilkada harus mampu menghadirkan calon
berkualitas. Di sini kita bicara sistem rekrutmen dan kualifikasi calon
kepala daerah. Pasangan calon baik yang diusung partai politik maupun
perseorangan sudah semestinya memiliki rekam jejak, integritas, kompetensi,
dan kapabilitas yang baik sebagai calon pemimpin daerah.
Dalam
konsteks ini, saat pembahasan Perppu Pilkada Tahun 2014 yang menganulir
pemilihan kepala daerah melalui DPRD, penulis pernah mengusulkan ada 'uji
publik' bakal calon kepala daerah sebelum ditetapkan sebagai calon. Kedua,
terkait dengan kualitas penyelenggaraan pilkada. Sistem penyelenggaraan harus
mampu mendorong pasangan calon berkompetisi dengan jujur dan adil (fairness),
taat asas dan aturan, serta menjunjung tinggi sportivitas.
Proses
kampanye dilakukan secara bertanggung jawab dan menghindari praktik kampanye
hitam, SARA, money politics, politisasi birokrasi, intimidasi, serta
manipulasi suara rakyat. Sebaliknya, kampanye dimanfaatkan betul untuk
memublikasikan rekam jejak pasangan calon serta menyampaikan program unggulan
mereka untuk mendapatkan feedback dari publik. Ketiga, terkait dengan
pemilih.
Bagaimana
pemilih dapat memilih secara objektif dan rasional berdasarkan informasi
rekam jejak dan kualitas calon serta komitmen/kontrak politik dalam menghadirkan
perubahan, bukan dimobilisasi apalagi diimingi materi (transaksional). Hari
ini kita masih dihadapkan pada fenomena money politics yang marak. Bahkan
fenomena kongkalikong pasangan calon dengan pengusaha (swasta) dalam
pembiayaan politik masih terjadi dengan konsesi keuntungan proyek, perizinan,
dan lain sebagainya setelah pasangan calon terpilih.
Dalam
hal ini, petahana berpeluang melakukannya karena posisi dan jabatan yang
melekat padanya. Melihat fenomena tersebut, Bawaslu harus melakukan pengawasan
secara ketat dan merekomendasikan sanksi tegas jika menemukan pelanggaran
dimaksud. Keempat, terkait dengan penyelenggara. Bagaimana menjamin
independensi dan profesionalisme KPU dan Bawaslu. KPU dan Bawaslu kita
apresiasi semakin menunjukkan independensi dan profesionalisme mereka.
Hal
itu didukung dengan regulasi yang semakin kuat atas kewenangan masing-masing.
Merujuk UU 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Pilkada yang baru saja
disahkan, kewenangan dan tugas KPU dalam mengoordinasi dan memantau tahapan
diperkuat (Vide: Pasal 9). Demikian halnya UU menegaskan kewajiban KPU
melaksanakan dengan segera rekomendasi dan/atau putusan Bawaslu mengenai
sanksi administrasi pemilihan (Vide: Pasal 10 huruf b1). UU juga memperkuat
tugas dan wewenang Bawaslu dan Panwas dalam pengawasan penyelenggaraan
pemilihan yang selama ini belum diatur sehingga menyulitkan Bawaslu/Panwas
untuk menindak pelanggaran (Vide: Pasal 22B, Pasal 30, Pasal 33).
Aspek
kualitas penyelenggara di lapangan juga menjadi sorotan penting sehingga
seleksi khususnya PPK, PPS, dan KPPS harus dilakukan secara terbuka, dengan
memperhatikan kompetensi, kapasitas, integritas, serta kemandiriannya (Vide:
Pasal 16, Pasal 19, Pasal 21). Dengan seluruh upaya penguatan itu,
KPU-Bawaslu didukung Sentra Gakum Terpadu ke depan dituntut untuk semakin
efektif dan eksesif dalam menegakkan aturan serta menjamin pilkada yang
berkualitas.
Kita semua berkepentingan untuk
menghadirkan pilkada yang demokratis dengan menepati asas 'luber' dan
'jurdil' secara konsekuen. Menghadirkan suasana kondusif, menghindari
konflik, tetap menjaga persatuan dan kesatuan karena kita semua sama-sama
berharap yang terbaik untuk negeri ini. Hanya dengan cara itulah demokrasi
menjadi berkah dan menghasilkan kesejahteraan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar