Trump,
Dunia dan Indonesia
Mari Pangestu ; Profesor
Ekonomi Internasional Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
|
KOMPAS, 12 November
2016
Kemenangan
Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat adalah cerminan kecenderungan isu-isu
politik dan tipe tokoh politik yang merebak di berbagai bagian dari dunia
saat ini.
Kita
bisa melihat beberapa tokoh politik di Eropa yang dukungannya meningkat
dengan kampanye anti imigrasi, anti globalisasi dan integrasi ekonomi yang
puncaknya adalah keluarnya Inggris dari keanggotaan Uni Eropa (Brexit).
Isu
politik yang diangkat didasari politik berbasis kemarahan dan ketakutan.
Kampanye Trump membidik kelompok yang ”marah” dan ”takut” yang timbul karena
meningkatnya pengangguran, gaji kelas menengah di AS yang stagnan selama dua
dekade ini. Stagnasi dialami di sejumlah negara bagian yang kesempatan
ekonominya tergantung dari beberapa sektor, seperti besi baja, batubara,
padat karya seperti pakaian jadi dan sepatu, atau tersingkirkan karena kalah
bersaing, dan ketimpangan antara kaya dan miskin.
Setelah
krisis finansial global pada 2009, ketimpangan tambah tajam sehingga muncul
99 persen melawan 1 persen lewat gerakan ”Occupy
Wall Street”. Penyebab dari keadaan itu sering dikaitkan dengan globalisasi
atau perjanjian perdagangan (free trade
agreement) yang disinyalir hanya menguntungkan perusahaan besar dan
sektor tertentu, dan pendatang, termasuk pekerja ilegal yang banyak, yang
mengambil pekerjaan orang Amerika.
Maka,
sebagian besar masyarakat, terutama yang lebih berumur, berpendapatan rendah,
dan pendidikan rendah, yang membuat Trump terpilih. Mereka tidak terlalu
terpengaruh dengan hiruk-pikuk di media dan sosial media, karena sudah
mempunyai pandangan bahwa diperlukan figur yang bukan bagian dari kemapanan (establishment) yang tidak bisa
dipercaya karena selama ini tak menjawab kekhawatiran mereka. Mereka memilih
figur yang menjanjikan perubahan, tegas, dan menjanjikan langkah yang
konkret.
Kebijakan
ekonomi Trump
Sekarang
dunia menanti kebijakan ekonomi AS. Karena AS negara adikuasa, sudah pasti
apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan punya dampak global.
Reaksi
di pasar saham dan keuangan merupakan reaksi yang bisa dilihat segera.
Kekhawatiran terhadap ketidakpastian kebijakan ekonomi AS menyebabkan
anjloknya pasar saham di AS dan Asia Pasifik. Namun, esok harinya kembali
lagi, bahkan di sejumlah tempat dan beberapa sektor naik lebih tinggi,
terutama sektor yang terkait infrastruktur karena Trump dalam pidato
kemenangannya mengatakan, salah satu yang akan diprioritaskan adalah
pembangunan infrastruktur. Tidak terpilihnya Hillary Clinton berarti
berkurangnya fokus ke regulasi dan program kesehatan (Obama Care) yang
membuat kenaikan saham sektor farmasi dan kesehatan.
Sementara
imbal hasil (yield) pasar obligasi AS naik tajam karena diperkirakan belanja
infrastruktur yang dicanangkan Trump akan dibiayai dengan utang dan
peningkatan defisit anggaran AS. Terkait hal itu, diprediksi banyak pihak
kenaikan suku bunga The Fed yang diperkirakan akan dilaksanakan akhir tahun
akan ditunda. Hal ini berarti volatilitas arus modal jangka pendek masih akan
terjadi dan bagaimana Indonesia menyesuaikan kebijakan moneter dan suku bunga
perlu mengikuti perkembangan ini.
Bagaimana
kebijakan ekonomi luar negeri Trump? Jika Trump melakukan apa yang selama ini
dipidatokan di kampanye, Presiden Trump cenderung proteksionis, tidak
mendukung perjanjian perdagangan internasional, dan anti imigrasi. Maknanya
bahwa negara adikuasa AS mengikuti kecenderungan yang berkembang saat ini,
maka pola anti keterbukaan dan anti imigrasi menjadi norma, tidak lagi
ganjil.
Ada
dampak langsung dari bagaimana akses ke pasar AS dan yang lebih penting,
bagaimana hal itu akan berdampak pada kian berkurangnya peran AS dalam kerja
sama ekonomi internasional multilateral. Selama satu dekade ini sudah ada
pengurangan dari peran AS sebagai pemimpin di kancah kerja sama
internasional. Misalnya terkait pendanaan PBB, reformasi di IMF, dan dukungan
kepada perjanjian perdagangan multilateral, WTO.
Dalam
kampanyenya, Trump merespons soal lapisan masyarakat yang tertinggal,
kehilangan atau khawatir kehilangan pekerjaan karena persaingan yang tidak
adil, pekerja dari luar yang tidak legal dan perubahan teknologi yang pesat,
dengan slogan ”we will make America great again”. Itu akan dilakukan antara
lain dengan penciptaan lapangan pekerjaan dan membangun atau ”build” yang
konkret dijawab dengan program infrastruktur. Untuk ”mengembalikan”
kesempatan kerja dan berkembangnya kembali ekonomi AS, akan dilakukan dengan
membangun ”tembok” antara AS dan Meksiko, serta memulangkan semua pekerja
illegal.
Untuk
perdagangan internasional, secara khusus disebut akan melakukan renegosiasi
Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), tidak didukungnya Kemitraan
Trans-Pasifik (TPP) antara 12 negara Asia Pasifik atau Kemitraan Perdagangan
dan Investasi Trans-Atlantik antara AS dan Uni Eropa. Trump meyakini dia akan
tegas merespons praktik perdagangan Tiongkok yang tak adil dengan menaikkan
bea masuk hingga 45 persen dan mencegah manipulasi mata uang.
Implikasi
bagi dunia dan kita
Kita
harus menunggu seberapa jauh janji kampanye dilaksanakan. Mungkin hanya
sebagian janji kampanye yang bisa dilakukan mengingat tidak bisa semena- mena
menaikkan bea masuk tanpa alasan, dan mengingat arus utama Partai Republik
cenderung pro perdagangan internasional karena representasi dari bisnis besar
di AS. Padahal, Trump bukan bagian arus utama Partai Republik.
Namun,
hampir semua pihak yang mengetahui mengenai hal ini mengatakan, kecil
kemungkinan TPP akan disahkan selama periode lame duck ini. Dengan demikian,
nasib TPP jadi sangat tak pasti dan Indonesia perlu menyimak implikasi itu
dan implikasi berkurangnya peran AS di kancah multilateral dan regional.
Sejak
Presiden Joko Widodo mengumumkan Indonesia akan bergabung ke TPP, pemerintah
mempelajari untung rugi bergabung dengan TPP dan exercise tersebut tetap
penting sebagai persiapan untuk Indonesia dapat bersaing dan melakukan
persiapan di setiap sektor. Exercise penting karena pada akhirnya kita tetap
harus mempunyai strategi peningkatan daya saing dan diversifikasi pertumbuhan
dari komoditas primer. Persiapan reformasi untuk isu tradisional perdagangan
dan investasi, serta yang selama ini belum banyak dibahas, seperti e-commerce,
pengadaan pemerintah dan BUMN tetap perlu kita lakukan jika ingin
meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan penciptaan lapangan pekerjaan.
Di
samping itu, secara strategis Indonesia justru dapat berperan meningkatkan
kerja sama perdagangan internasional di Asia karena dari segi tahapan dan
komitmen lebih sesuai dengan keadaan dan tingkat pembangunan ekonomi kita.
Kita
lebih bisa menentukan berapa pesat dan luas, dan bagaimana kita mendapat
keuntungan karena pasar yang akan berkembang dan sumber pertumbuhan dalam
ketidakpastian perekonomian dunia adalah Asia. Dalam arti lain, bagaimana
kita memperkuat perjanjian regional Masyarakat Ekonomi ASEAN dan
menyelesaikan negosiasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Kawasan Asia Timur
yang mengonsolidasi ASEAN dengan negara Asia Timur, seperti Tiongkok, Korea,
Jepang, India, Australia, dan Selandia Baru.
Pembelajaran
penting dari hasil pilpres di AS ataupun kecenderungan di Uni Eropa, seperti
Brexit, bagi semua negara, juga Indonesia, adalah mengatasi sumber penyebab
dari lapisan masyarakat yang ”marah” dan ”takut”. Tergantung negaranya, siapa
mereka, di mana mereka, dan isu utama yang perlu diatasi akan berbeda. Namun,
perasaan bahwa pertumbuhan ekonomi dan globalisasi tak inklusif, pengangguran
tinggi dan pendapatan stagnan karena sektornya tak bisa bersaing atau
perubahan teknologi yang pesat adalah realitas.
Kira-kira
jawaban akal sehat bukan membangun tembok atau menutup diri. Namun, bagaimana
proses reformasi untuk peningkatan daya saing nasional ada komplemen yang
tepat dengan program mengurangi kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan
meningkatkan kapasitas. Hal itu mutlak sebagai prakondisi untuk menjalankan
program peningkatan daya saing, tetapi perlu tepat sasaran dan efektif. Mulai
dari hal umum, seperti pembangunan infrastruktur, program pendidikan dan
kesehatan, sampai dengan yang spesifik pada pelatihan keterampilan dan
peningkatan kapasitas yang diperlukan serta subsidi yang tepat sasaran.
Dunia dan kita menanti apa yang akan
menjadi kebijakan ekonomi AS di bawah kepemimpinan Trump. Namun, dunia dan
Indonesia harus siap dengan berlanjutnya ketidakpastian dan pertumbuhan
ekonomi global, serta menyiapkan respons dalam bentuk program kebijakan dan
strategi regional, terutama yang terkait pertumbuhan dan pembangunan yang
inklusif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar