Demokrasi
sebagai Proses
M Alfan Alfian ; Dosen
Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta; Anggota Lembaga
Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
KOMPAS, 12 November
2016
Secara
konstruktif telah berlangsung aksi damai 4 November 2016 di Jakarta dan
kota-kota lain di Indonesia. Selain menyajikan dimensi politiknya, terdapat
laporan bertajuk ”Aksi Simpatik, Menyampaikan Aspirasi sambil Bersih-bersih”.
Juga, ”Unjuk Rasa di Daerah Berlangsung Damai, Warga Inginkan Persatuan dan
Kedamaian Bangsa” (Kompas, 5/11/2016).
Pemberitaan-pemberitaan
demikian menepis sinisme bahwa media konvensional arus utama, terjebak pada
sudut pandang pemberitaan yang mampu memicu kembali keresahan-keresahan
kolektif. Apa pelajaran penting dari fenomena 4 November 2016? Kendati
diwarnai insiden kekerasan yang sangat disayangkan, secara umum proses yang
damai masih terjaga. Proses yang damai dalam politik merupakan salah satu
penopang penting demokrasi substansial. Manakala ia tak terwujud, demokrasi
berada di ujung tanduk kegagalannya.
Karena
itulah, komitmen semua pihak terhadapnya perlu terus ditanamkan. Koridor
demokrasi pastilah menjunjung tinggi nilai-nilai substansial yang bersifat
universal, sebagai titik temu semua pihak.
Aksi
4 November 2016, terlepas dari pro-kontra yang menyertai, bagaimanapun
merupakan pertaruhan reputasi politik umat Islam di Indonesia. Tak
terelakkan, Indonesia adalah negeri Muslim apabila merujuk realitasnya
sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Ketika sistem politik
yang demokratis diterapkan, rupa-rupa ekspresi politik dan kepentingan
pluralitas kelompok Islam, akan selalu memperoleh sorotan dan penilaian.
Karakter Muslim demokrat akan menjadi indikator yang menentukan kualitas praktik
demokrasi di Indonesia.
Demokrasi
tentu bukan sekadar urusan umat Islam, melainkan seluruh komponen bangsa.
Semuanya turut bertanggung jawab atas masa depan demokrasi dalam rangka
kemaslahatan bersama. Sejarah modern kebangsaan kita telah secara jelas
memilih suatu sistem demokrasi. Terlepas pasang naik dan pasang surut
praktiknya, demokrasi telah diikhtiarkan tegak dan berjalan nilai-nilainya
sebagai tata cara yang beradab untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan
politik.
Para
elite politik Islam tempo dulu telah mampu memberikan contoh yang baik dalam
berdemokrasi. Pada awal kemerdekaan hingga demokrasi parlementer, setidaknya
terdapat kekuatan-kekuatan politik mereka yang tecermin dari signifikannya
perolehan suara di parlemen dan konstituante pada Pemilu 1955 Partai Masyumi
dan Partai Nahdlatul Ulama (NU).
Dua
partai tersebut terkategori empat besar, selain Partai Nasional Indonesia
(PNI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Telah banyak kisah bagaimana
interaksi dan kesantunan politik para elite masa itu. Pengelolaan konflik dan
pembangunan konsensus terjadi secara elegan kendatipun sistem parlementer
telah membuat realitas kontestatif di parlemen begitu tajam.
Masyarakat
madani
Proses
politik yang demokratis meniscayakan keberadaan kelompok-kelompok kepentingan
yang bisa mengerucut sebagai kekuatan penekan. Mereka tecermin dari ragam
kelompok dalam masyarakat yang mencerminkan realitas masyarakat madani (civil society). Mereka punya aspirasi
dan kepentingan yang dalam analisis sistem politik dikategorikan sebagai
masukan (input) para elite penentu kebijakan. Hasil kebijakan, sebagai suatu
proses yang sering kali begitu kompleksnya di ranah elite penentu, lantas
menjadi umpan balik yang akan direspons lagi oleh publik (civil society).
Dalam
konteks ini, aksi damai 4 November 2016 memberi pesan yang jelas, yakni agar
proses hukum terhadap dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki
Tjahaja Purnama, yang kebetulan juga merupakan salah satu kandidat gubernur
DKI Jakarta pada Pilkada 2017, dilakukan secara adil tanpa adanya intervensi
politik dari pemerintah. Pesan demikian sesungguhnya telah ditangkap oleh
pemerintah dan aparat penegak hukum sebelum aksi dilaksanakan.
Karenanya,
aksi yang ada sesungguhnya lebih merupakan unjuk eksistensial
kelompok-kelompok yang ada bahwa mereka bisa menjadi kelompok penekan sebagai
embrio dari kekuatan politik. Hal semacam itu sah-sah saja, sepanjang damai
dan terdapat kerelaan proses hukum bagi para pelaku tindak kekerasan.
Semua
pihak harus menghargai proses hukum, apa pun hasilnya. Penegakan hukum juga
merupakan pilar penting demokrasi. Kualitas konsolidasi demokrasi, sering
dikaitkan dengan prakondisi yang baik atas adanya masyarakat politik yang
dewasa dalam berdemokrasi. Selanjutnya juga, masyarakat madani yang mandiri
dan kritis, masyarakat ekonomi yang mandiri dan objektif pula, dan penegakan
hukum dalam rangka kepastiannya. Di atas semua itu, yang paling mendasar
adalah kepercayaan (trust) satu
sama lain, antarelite, antarkelompok, ataupun antara kelompok-kelompok dalam
masyarakat dengan para elite politik, pemerintah, dan aparat penegak hukum.
Dalam konteks inilah, demokrasi sebagai proses selalu diuji justru sejauh
mana kepercayaan terwujud dalam dialektika sistem politik.
Membangun
kepercayaan dan kebersamaan itulah yang paling penting dalam dinamika
kebangsaan. Muara dari proses dan dinamika demokrasi politik yang kontestatif
di Tanah Air yang tak boleh dilupakan oleh semua elemen bangsa ialah
integrasi bangsa. Masalah integrasi bangsa di zaman demokrasi elektoral
dewasa ini lebih ditentukan oleh para elite politik yang di belakang mereka
adalah massa pendukungnya masing-masing.
Kedewasaan
dan capaian akan diukur oleh sejauh mana para elite politik mampu mengelola
konflik dan lantas membangun konsensus yang dapat diterima semua pihak,
dengan tingkat kepercayaan yang tinggi. Meminjam Francis Fukuyama, kita perlu
high trust society dalam
berdemokrasi. Peran elite politik dan nonpolitik sangat penting dalam hal
ini.
Jalan
politik inklusif
Perasaan
marginal dalam politik bisa melanda semua kelompok dalam masyarakat, termasuk
di lingkungan umat Islam di Indonesia. Hal itu mengemuka manakala
representasi dan yang lebih penting lagi aspirasi mereka terabaikan. Dalam
hal representasi politik, sesungguhnya demokrasi telah memberi jalan yang
lazim, yakni melalui partai-partai politik. Dalam hal ini, dalam tradisi
politik Indonesia, yang mencerminkan aspek representasi politiknya adalah
partai-partai politik Islam.
Namun
dalam hal aspirasi politik, ia bukan sekadar monopoli partai-partai tersebut,
melainkan juga menjadi tanggung jawab pula partai-partai terbuka (cacth-all). Dalam hal yang terakhir
itu, dewasa ini terasa bahwa aspirasi umat Islam pun telah menemukan
salurannya, kendatipun barangkali ada perasaan umum bahwa aspirasinya
direspons secara sambil lalu.
Memperbaiki
representasi politik secara formal, bagaimanapun merupakan tantangan semua
kelompok dalam masyarakat yang sadar kepentingan politik. Dalam konteks ini,
partai-partai Islam mestinya tertantang untuk mengambil alih isu-isu krusial
yang berkembang sehingga kelompok-kelompok kepentingan tidak segera berubah
menjadi kekuatan penekan. Namun, tampaknya partai-partai Islam pun berada
dalam situasi yang dilematis. Mereka terbatasi oleh sistem dan kepentingan
pragmatis yang menyangkut daya hidup jangka pendeknya. Tantangan mereka
adalah keluar dari labirin masalah-masalah klasik dinamika konfliktual dan
pragmatisme politik dan mampu menjadi saluran.
Memperbaiki dan memperlakukan umat Islam
sebagai faktor penting dalam realitas aspirasional dan politik di Indonesia,
bagaimanapun merupakan pesan penting setelah aksi damai 4 November 2016.
Saatnya semua pihak menahan diri dan berefleksi untuk kebaikan bersama dan
masa depan bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar