Tidak
Sekadar Menjadi Kampiun
Enny Sri Hartati ; Direktur
Institute for Development of Economics and Finance
|
KOMPAS, 14 November
2016
Di
antara negara anggota G-20, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2016
diproyeksi masih berada di urutan tiga besar dunia. Berdasarkan proyeksi Dana
Moneter Internasional (IMF), ekonomi Indonesia akan tumbuh 4,9 persen, berada
di bawah India (7,6 persen) dan Tiongkok (6,6 persen). Sementara negara-negara
maju diperkirakan hanya mampu tumbuh di bawah 2 persen, seperti Inggris (1,8
persen), Jerman (1,7 persen), Amerika Serikat (1,6 persen), Perancis (1,3
persen), dan Jepang (0,5 persen). Bahkan, beberapa negara diperkirakan tumbuh
negatif, yaitu Rusia (-0,8 persen), Nigeria (-1,7 persen), dan Brasil (-3,3
persen).
Sekalipun
menjadi jawara ketiga di G-20, pertumbuhan ekonomi Indonesia justru relatif
tertinggal dibandingkan beberapa negara anggota ASEAN. Asian Development
Outlook pada September 2016 memproyeksikan, terdapat lima negara anggota
ASEAN yang mampu tumbuh di atas 6 persen pada 2016, di yakni Myanmar (8,4
persen), Kamboja (7 persen), Laos (6,8 persen), Filipina (6,4 persen), dan
Vietnam (6 persen). Terdapat empat negara yang ekonominya di bawah Indonesia,
yaitu Malaysia (4,1 persen), Thailand (3,2 persen), Singapura (1,8 persen),
dan Brunei (1 persen).
Di
tengah pelambatan ekonomi global, ada sejumlah negara tetangga yang masih
mampu memanfaatkan peluang. Dengan demikian, mengambinghitamkan kondisi
ekonomi global justru menghambat upaya memacu produktivitas. Indonesia
sebaiknya mengoptimalkan seluruh potensi dalam negeri dengan mendorong dan
mempercepat investasi di sektor riil.
Vietnam
adalah kompetitor utama Indonesia dalam menarik minat investor. Banyak
industri padat karya yang tertarik masuk ke Vietnam daripada Indonesia.
Karena itu, kontribusi ekspor industri manufaktur Vietnam pada 2015 sudah
mencapai 76,9 persen. Sementara ekspor industri manufaktur Indonesia baru 8,6
persen dari total ekspor karena 79,6 persen berupa ekspor komoditas dan 11,8
persen ekspor jasa.
Kinerja
ekspor produk manufaktur tidak saja memiliki porsi yang kecil, tetapi juga
menghadapi tekanan defisit neraca perdagangan. Sejak tahun 2007, defisit
perdagangan produk manufaktur terus meningkat. Pasar Indonesia terus
dibanjiri impor berbagai produk manufaktur, terutama dari Tiongkok. Penetrasi
berbagai produk impor barang konsumsi berlangsung secara masif. Impor barang
konsumsi pada Januari-September 2016 naik 12 persen selama setahun (yoy).
Sementara impor bahan baku/penolong turun 9,8 persen selama setahun dan impor
barang modal -12,66 persen.
Akibatnya,
industri manufaktur hanya tumbuh 4,56 persen selama triwulan III- 2016, lebih
kecil dari pertumbuhan ekonomi. Bahkan, deindustrialisasi tidak mampu
dinafikan lagi karena porsi industri manufaktur menurun dan tinggal 19,9
persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada triwulan III-2016.
Elastisitas
pertumbuhan
Dampak
deindustrialisasi sangat nyata mengurangi kualitas pertumbuhan ekonomi dalam
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Ekonomi masih tumbuh 5,02 persen pada
triwulan III-2016, tetapi tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan penciptaan
lapangan kerja. Elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan
kerja menurun. Setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi hanya mampu menciptakan
sekitar 170.000 lapangan kerja. Jika ekonomi hanya tumbuh 5 persen, lapangan
kerja baru yang tercipta kurang dari 1 juta. Ini sangat jauh dari pertumbuhan
angkatan kerja baru yang hampir mencapai 2 juta per tahun. Jika kondisi ini
terus berlangsung, bonus demografi justru akan menciptakan beban pembangunan.
Karena
itu, wajar jika penurunan angka pengangguran stagnan dan hanya menurun secara
angka statistik pada Agustus 2016. Walaupun angka pengangguran terbuka turun
menjadi 5,61 persen, jumlah pengangguran terbuka masih stagnan, yaitu 7,03
juta orang atau hanya turun 530.000 orang selama setahun. Bahkan, angkanya
naik sekitar 10.000 orang dibandingkan Februari 2016.
Porsi
sektor informal pada Agustus 2016 masih cukup besar, yakni 57,6 persen,
sehingga jumlah angka pengangguran terselubung masih sangat tinggi. Jumlah
pekerja yang bekerja di bawah 35 jam per minggu masih 32,23 juta orang (27,22
persen). Jika mengacu pada standar Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang
menyebut pengangguran untuk pekerja yang bekerja di bawah 35 jam per minggu,
jumlah angka pengangguran di Indonesia masih 27,22 persen.
Upaya penciptaan lapangan kerja di sektor
formal harus konkret dilakukan. Reindustrialisasi merupakan jawaban yang
harus segera direalisasikan. Pemerintah sebaiknya tidak cukup hanya
mengeluarkan 14 paket kebijakan ekonomi, tetapi juga harus secara konkret
memenuhi kebutuhan infrastruktur dasar untuk merealisasikan investasi.
Kawasan industri merupakan kebutuhan mendesak yang harus segera dipenuhi. Ini
terutama untuk pembangunan kawasan industri bagi berbagai hilirisasi industri
dan pembangunan industri dasar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar