Kebijakan
Perberasan Tanpa Raskin
Husein Sawit ; Senior
Advisor Perum Bulog 2003-2010;
Tim Ahli Kepala Bulog 1996-2002;
Pendiri House of Rice
|
KOMPAS, 14 November
2016
Pemerintah
sedang menguji coba perubahan program beras untuk rakyat miskin ke voucer
pangan. Dorongan perubahan raskin tidak lepas dari saran Komisi Pemberantasan
Korupsi dua tahun lalu, yang menyarankan agar pemerintah menata ulang program
raskin. Maksudnya agar tercegah ”potensi korupsi” dalam implementasinya.
Denni
P Purbasari, Deputi III Kepala Staf Kepresidenan, menulis tentang reformasi
beras untuk rakyat miskin (raskin) di Kompas (11/10). Walau program raskin
dihapus, ia menyebutkan bahwa fungsi Bulog tidak hilang. Bulog tetap
dipercaya untuk menjaga harga produsen, stabilisasi harga beras, danstok
beras nasional. Sayangnya, iatidak mengelaborasi lebih lanjut tentang hal
itu.
Kemudian,
Sapuan Gafar (Kompas, 4/11) menilai pemahaman Denni tentang program raskin
sempit. Seharusnya program raskin dilihat dalam keterkaitannya dengan
kebijakan perberasan yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Kalau Bulog
hanya ditugasi melaksanakan pengadaan untuk menjaga harga produsen, tanpa
penyalurannya dalam jumlah yang memadai—salah satu yang terpenting adalah
raskin—Bulog akan bangkrut, implementasi kebijakan beras bisa buyar. Saya
mencoba menengahi pandangan kedua ahli tersebut dengan menganalisis tugas
penyaluran publik beras Bulog.
Kebijakan
beras
Kebijakan
beras pemerintah bertumpu pada instruksi presiden yang dirancang 15 tahun
lalu, sebagai respons atas liberalisasi radikal yang dipaksakan oleh lembaga
donor periode 1998-2000.Hampir semua instrumen kebijakan beras dicabut, Bulog
diamputasi. Dampaknya, impor beras tidak terkendali, harga beras tertekan
rendah, harga gabah menjadi tidak menarik buat petani yang berdampak serius
dalam mewujudkan stabilitas harga dan meningkatkan pendapatan petani padi.
Menghadapi
masalah tersebut, pada tahun 2001, Bappenas membentuk tim kajian kebijakan
perberasan nasional dengan anggota dari unsur pemerintah, perguruan tinggi,
lembaga riset, dan lembaga swadaya masyarakat. Tim mampu mereformulasi
kebijakan beras dan memformulasi paket kebijakan beras yang terintegrasi dari
hulu hingga hilir.
Konsep
itulah yang dijadikan sebagai pedoman dalam penyusunan inpres tentang
kebijakan perberasan nasional pada era pemerintahan reformasi, yang dimulai
dengan Inpres No 9 Tahun 2002 (berlaku 1 Januari 2002), dan terakhir Inpres
No 5 Tahun 2015 tentang kebijakan pengadaan gabah/beras dan penyaluran beras oleh
pemerintah, sebagai bagian dari kebijakan perberasan nasional.
Cadangan
beras
Walaupun
kebijakan perberasan dirancang komprehensif, dalam pelaksanaannya hampir
seluruh sumber daya diarahkan ke usaha tani, minim untuk memperkuat industri
beras, yang telah berdampak pada lemahnya daya saing beras, dominan beras
kualitas rendah, dan harga beras tinggi.
Pada
tahun 2005, pemerintah memutuskan memiliki cadangan beras pemerintah (CBP),
dimulai dengan besaran 350.000 ton. Bulog diminta mengelolanya untuk keperluan
darurat, stabilisasi harga, dan bantuan pangan internasional. Pada rancangan
awal, seperti yang disarankan oleh perancangnya tim Universitas Gadjah Mada
(UGM), volume CBP bertahap diperbesar akan mencapai 1,25 juta ton pada 2008.
Namun,
realisasinya jauh lebih rendah, hanya sekitar 350.000 ton per tahun, sebagian
besar untuk intervensi pasar. Pada 2015, misalnya, jumlah CBP 353.000 ton
yang dimanfaatkan untuk operasi pasar/pasar murah sekitar 60 persen, hanya 2
persen untuk bantuan korban bencana, selebihnya disimpan menjadi stok akhir.
Pemerintah tidak pernah menggunakan CBP untuk bantuan internasional karena
terhambat kualitas beras CBP rendah, sama dengan kualitas beras program
raskin.
Pemerintah
malahan memperbesar penyaluran raskin, sejak 2008 meningkat sangat pesat.
Dalam periode 2011-2015, misalnya, rata-rata penyaluran raskin 3,3 juta ton
per tahun, sedangkan pengadaan dalam negeri lebih rendah hanya 2,6 juta ton
per tahun, membuat perangkap impor. Penyaluran raskin digandakan pada bulan-bulan
instabilitas harga tinggi, mencapai 400-500 ton per bulan, lebih besar dari
volume CBP tahunan. Tahun ini ditargetkan raskin sedikit menurun menjadi 2,8
juta ton, masih terlalu tinggi.
Manakala
raskin dihapus atau dikurangi dengan signifikan, peran CBP perlu
dioptimalkan. CBP haruslah ditingkatkan, baik volume maupun kualitas berasnya
sehingga lebih efektif dalam mengendalikan inflasi, bisa tampil dalam bantuan
pangan internasional, dan akan dapat mengatasi kebuntuan peningkatan kualitas
beras serta tercipta insentif ekonomi buat penggilingan padi kecil/sederhana
untuk memperbaiki alat/mesin.
Pada
saat kita berhasil mencapai surplus produksi beras, maka penyerapan
gabah/beras untuk CBP dapat membantu atasi harga gabah agar tidak
tertekan.Oleh karena itu, peran CBP dapat juga dipakai sebagai instrumen
untuk melindungi produsen.
Empat
langkah
Dalam
kaitan dengan itu disarankan: pertama, pemerintah perlu menata ulang
kebijakan perberasan nasional yang mampu memperkuat daya saing industri
beras. Kedua, volume raskin perlu dikurangi atau cukup 0,5 juta ton,
diprioritaskan disalurkan pada wilayah terpencil di mana harga beras biasanya
sangat tinggi.
Ketiga,
volume CBP perlu ditingkatkan menjadi 1,3 juta ton setara 15 hari kebutuhan
beras nasional. Kualitas beras untuk CBP haruslah beras kualitas premium agar
lebih efektif dalam operasi pasar serta bantuan internasional. Pemanfaatan
CBP diperluas, misalnya program food
for work pada musim kemarau/paceklik, termasuk ekspor apabila stok akhir
tinggi.
Keempat, dukungan harga atau harga
pembelian pemerintah haruslah diubah dari satu kualitas beras (medium)
menjadi dua macam kualitas medium dan premium. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar