Indonesia
Bukan Hanya Jakarta
Dedi Mulyadi ; Bupati
Purwakarta
|
KOMPAS.COM, 14 November
2016
Jakarta
adalah legenda bagi Indonesia. Sebuah tempat yang menawarkan seluruh derajat
kehidupan bagi mereka yang mampu membeli.
Peredaran
uang yang terbesar di seluruh tanah Indonesia berada di Jakarta. Pusat
perwakilan politik dari mulai pemerintahan sampai kepartaian berada di tangan
Jakarta. Energi dari seluruh bisnis yang terhampar di seluruh wilayah
Nusantara uangnya semua mengalir ke Jakarta.
Pusat
dari seluruh pungutan pajak dari seluruh industri yang tersebar sampai
pelosok desa, Kantor Pusat, NPWP, dan bagi hasilnya berada di Jakarta.
Kampung-kampung
seakan mengering, kehilangan gairah karena kekurangan darah. Jakarta seolah
tidak memberikan ruang lagi bagi tempat lain untuk berdiri dengan kokoh,
cukup vitalitas dan gizi, kaya protein dan inisiatif.
Kini
Jakarta menggelar kenduri. Memilih pemimpin secara demokratis dan terbuka.
Seluruh sudut pandang mata dan telinga kini tertuju kembali ke Jakarta. Bukan
hanya hari ini, melainkan sudah sejak sekian waktu yang silam, seolah tidak
boleh ada berita yang lain kecuali Jakarta.
Hingar
bingar pilkada serentak di seluruh pelosok negeri kini senyap terkubur tanpa
pemberitaan, seolah yang lain tak memiliki peran bagi hitam putihnya negeri.
Seolah hanya Jakartalah yang menentukan Indonesia ke depan. Pilkada Jakarta,
seperti menentukan hidup dan matinya Indonesia.
Padahal
apabila kita mau melakukan perenungan secara mendalam, energi bangsa ini terhampar
secara merata di seluruh persada Nusantara.
Dari
sudut-sudut kampung yang tak terurus mengalir kiriman beras, jagung, kelapa
sawit, karet, kopra, pala, buah-buahan, sayur-sayuran, telur, susu, daging,
ikan, dan seluruh kebutuhan hidup masyarakat.
Dari
sudut-sudut kepulauan Nusantara mengalir hasil tambang, emas, perak, nikel,
belerang, gas, minyak bumi, bauksit, uranium, timah, bijih besi yang sangat
menentukan tegak atau rapuhnya bumi Indonesia.
Seluruh
kebutuhan yang sangat menentukan kehidupan itu nyaris tak pernah menjadi
wacana publik yang menjadi pembicaraan kita, apalagi melakukan pengelolaan
secara sempurna bagi derajat dan kesejahteraan masyarakat.
Krisis
seluruh produk itulah yang sesungguhnya menentukan nasib bangsa kita. Gagal
panen berdampak pada krisis beras nasional. Menurunnya produksi jagung
berdampak pada tingginya harga pakan ternak.
Menurunnya
jumlah populasi sapi, ayam potong dan ayam petelur berdampak pada semakin
mahalnya protein hewani bagi masyarakat, sehingga kita harus impor.
Menurunnya
produksi ikan tangkapan, pesisir yang tidak terurus, berdampak pada kenaikan
harga ikan, garam dan menurunnya pariwisata bahari di Indonesia.
Menurunnya
harga gas alam, sawit, karet berdampak pada menurunnya ekspor komoditi kita
dan mengganggu struktur anggaran negara.
Kerusakan
lingkungan di hulu Jawa Barat berdampak pada meluapnya air di Citarum,
sehingga memenuhi bibir Danau Saguling, berimbas ke Cirata lalu bermuara di
Jatiluhur.
Kalau
tidak terkendali, air akan merambah wilayah Karawang, Bekasi dan akhirnya
menenggelamkan Jakarta.
Sadarkah kita, Pilkada Jakarta bukan
segalanya bagi Indonesia. Untuk apa kita bermusuhan, berkelahi,
bercakar-cakaran, hanya karena ingin punya gubernur yang sesuai harapannya di
Jakarta. Jakarta adalah Indonesia, tapi Indonesia bukan hanya Jakarta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar