Ancaman
Kedaulatan Rakyat untuk Berekspresi
Sabam Leo Batubara ; Mantan
Wakil Ketua Dewan Pers
|
TEMPO.CO, 09 November
2016
Saya
tertarik membandingkan perkembangan kedaulatan rakyat Indonesia untuk
mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dengan rakyat Belanda, negeri
bekas penjajah Indonesia. Pada era penjajahan Belanda, penguasa memperlakukan
penghuni bumi Nusantara sebagai rakyat terjajah dan kumpulan penjahat
potensial. Penjajah memberlakukan peraturan bahwa barang siapa menyuarakan
pendapat atau kritik yang dinilai mencemarkan nama baik aparat, pelakunya
akan dianggap sebagai penjahat. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP)—waktu itu disebut Wetboek Van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie—sang
pelaku terancam pidana 1 tahun 4 bulan penjara atau denda maksimal Rp 4.500.
Dengan satu KUHP itu, Belanda mampu mengendalikan Indonesia selama 350 tahun.
Di
negerinya, pemerintah Belanda memperlakukan rakyatnya sebagai warga negara
merdeka, berdaulat, dan bermartabat. Ekspresi dan pendapat rakyat yang
dinilai mencemarkan nama baik tidak dianggap sebagai kejahatan. Pelakunya
hanya dapat diproses dalam perkara perdata dengan denda proporsional.
Setelah
Indonesia merdeka, ketika Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto berkuasa, kedaulatan
berada di tangan penguasa rezim, meski UUD 1945 menyatakan kedaulatan berada
di tangan rakyat. Rakyat diposisikan sebagai burung beo. Setelah rakyat
mendelegasikan kedaulatannya kepada MPR, selanjutnya MPR menggadaikan
kedaulatan itu kepada penguasa. Kemudian penguasa menjadi pemegang kedaulatan
tertinggi. Demi memenuhi kehendaknya, Sukarno diangkat oleh MPR menjadi
presiden seumur hidup. Soeharto tidak mau menjadi presiden seumur hidup. Ia
hanya mau dipilih oleh MPR sebanyak tujuh kali. Dan, dalam pemilihan, calon
presiden yang harus dipilih hanya boleh satu, yakni Soeharto sendiri.
Pers
yang berani memberitakan ekspresi ketidakpuasan dan kritik rakyat bukan hanya
dicabut izin penerbitannya, wartawannya pun terancam dikriminalkan.
Bagaimana
kedaulatan berekspresi rakyat pada era reformasi ini? Fakta-fakta menunjukkan
pola pikir penyelenggara negara terkesan cenderung paradoksal. Pertama,
penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung, menunjukkan
kebijakan melindungi kebebasan pers berdasarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun
1999 tentang Pers. Adapun DPR dan pemerintah, dalam kewenangannya membuat
undang-undang, justru semakin mengancam kebebasan pers. Hasil survei Indeks
Kebebasan Pers Indonesia 2015 oleh Dewan Pers menunjukkan, meski secara umum
kebebasan pers pada 2015 dikategorikan masih "agak bebas", paling
tidak penegak hukum dinilai tidak lagi gemar mengkriminalkan pers.
Paradoksnya,
kecenderungan DPR dan pemerintah untuk mengkriminalkan kedaulatan berekspresi
rakyat semakin lebih represif ketimbang kecenderungan penjajah Belanda. Saat
ini, revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (UU ITE), revisi KUHP, serta revisi Undang-Undang Penyiaran sedang
diagendakan dan dibahas di DPR. Rancangan revisi UU ITE dan rancangan revisi
KUHP masih menilai pencemaran nama baik sebagai tindak kejahatan.
Salah
satu pasal rancangan UU Penyiaran mendesain agar siaran wajib disensor oleh
lembaga sensor sebelum disiarkan. Tidakkah draf ketentuan itu bermakna bahwa
DPR dan pemerintah sama sekali tidak mempercayai kedaulatan rakyatnya yang
bergiat di bidang pers penyiaran? Padahal penjajah Belanda saja masih menaruh
kepercayaan kepada rakyat Indonesia, sehingga media pers tidak perlu disensor
terlebih dulu. Semua rancangan tersebut bertujuan mengebiri hak-hak dasar
rakyat.
DPR
dan pemerintah hasil Pemilihan Umum 1997, yang tidak demokratis, pada akhir
masa baktinya menerbitkan UU Pers. Selain diberi fungsi untuk mengekspresikan
kontrol rakyat, Pers diberi peran untuk mengawasi, mengkritik, dan mengoreksi
hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum.
Amendemen
konstitusi semakin melindungi fungsi dan peran pers tersebut. Pasal 28F UUD
1945 menyatakan, "Setiap orang berhak mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala
jenis saluran yang tersedia."
Namun
DPR dan pemerintah, yang dipilih langsung oleh rakyat dalam pemilihan umum
yang demokratis, masih menghasilkan revisi UU ITE yang isinya tidak mengubah ancaman
sanksi pidana bagi pelaku pencemaran nama baik menjadi perkara perdata dengan
sanksi proporsional, seperti yang lazim diberlakukan di negara-negara
demokratis. Hasil revisi UU ITE itu ternyata masih mengkriminalkan rakyat
pelaku pencemaran nama baik dengan ancaman pidana sampai 4 tahun penjara
dan/atau denda maksimal Rp 750 juta.
Persoalannya, mengapa UU ITE masih
mengancam rakyat dengan hukuman yang jauh lebih berat dibanding ancaman hukum
kolonial? Apakah karena DPR dan pemerintah masih menilai rakyat cenderung
sebagai penjahat potensial yang dapat mengancam kedaulatan DPR dan
pemerintah? Poin dari tulisan ini, DPR dan pemerintah terkesan masih berpola
pikir bahwa kedaulatan rakyat negeri ini harus di bawah kendali DPR dan
pemerintah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar