Rimba
Tafsir Kerugian Negara
AP Edi Atmaja ; Alumnus
Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro
|
KOMPAS, 09 November
2016
Kejaksaan
Tinggi Sumatera Utara dikabarkan menggunakan jasa kantor akuntan publik dalam
perhitungan kerugian negara atas kasus dugaan korupsi pada Bank Pembangunan
Daerah Sumatera Utara baru-baru ini.
Ketua
Indonesia Audit Watch Junisab Akbar melontarkan kritik bahwa penggunaan jasa
kantor akuntan publik akan memantik pertanyaan mengenai bagaimana kualifikasi
akuntan publik, siapa yang berhak menentukan, dari mana sumber anggaran
penggunaan jasa kantor akuntan publik, dan bagaimana kekuatan hukum laporan
hasil audit kantor akuntan publik.
Penggunaan
jasa akuntan publik dalam perhitungan kerugian negara sesungguhnya bukan
merupakan sesuatu yang luar biasa. Selain Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara,
tercatat Kejaksaan Agung—dalam kasus dugaan korupsi pemberian fasilitas
kredit oleh PT Bank Bukopin kepada PT Agung Pratama Lestari—dan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK)—dalam kasus pengadaan minyak oleh Pertamina
Energy Trading Ltd (Petral)—pun melakukan hal serupa.
Bahkan,
sejumlah aparat penegak hukum melakukan perhitungan kerugian negara sendiri
atas perkara yang mereka tangani. Selain itu, ada juga aparat penegak hukum
yang bekerja sama dengan inspektorat daerah dalam menghitung kerugian negara,
di antaranya Kejaksaan Negeri Bantul yang melibatkan Inspektorat Kabupaten
Bantul dan Kejaksaan Negeri Surakarta yang melibatkan Inspektorat Kota
Surakarta.
Kebebasan
KPK
Dalam
soal perhitungan kerugian negara secara mandiri ataupun dengan menggunakan
jasa akuntan publik, aparat penegak hukum biasanya mengemukakan alasan bahwa,
pertama, kerugian negara yang mereka tangani cukup sederhana perhitungannya
sehingga dapat dihitung sendiri. Kedua, lembaga pemeriksa
eksternal-pemerintah, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan lembaga
audit intern-pemerintah, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP), terlalu lama menyelesaikan perhitungan. Ketiga, terjadi kesimpulan
yang bertolak belakang antara penyidik dan pemeriksa/auditor berkenaan dengan
ada-tidak atau besar-kecilnya kerugian negara.
Pada
umumnya, dalam banyak kasus yang ditangani kejaksaan, kepolisian, atau KPK,
perhitungan kerugian negara dilakukan BPKP. Dalam banyak perkara, terdakwa
melalui kuasa hukum mereka hampir selalu menggugat keabsahan laporan audit
BPKP yang digunakan aparat penegak hukum untuk menilai jumlah kerugian
negara. Terdakwa beranggapan, BPKP tidak berwenang dalam menghitung dan
menilai kerugian negara.
Persoalan
tersebut sebenarnya telah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi pada 2012 oleh
Eddie Widiono Suwondho, mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara.
Dalam pokok perkaranya, Eddie memohon agar MK menyatakan Pasal 6 Huruf a dan
Penjelasan UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(UU KPK) sepanjang frasa ”... BPKP, Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara
Negara...” bertentangan dengan konstitusi. Menurut Eddie, satu-satunya
lembaga yang berwenang melakukan perhitungan kerugian negara ialah BPK.
MK,
dalam putusan No 31/PUU-X/2012, menolak permohonan Eddie Widiono Suwondho
untuk seluruhnya. Pertimbangan hukum MK adalah bahwa korupsi merupakan
kejahatan luar biasa sehingga pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
KPK, lanjut MK, adalah badan khusus yang memiliki kewenangan luas,
independen, dan bebas dari kekuasaan mana pun dalam upaya pemberantasan
korupsi sehingga Pasal 6 Huruf a dan Penjelasan UU KPK yang menyatakan bahwa
KPK mempunyai tugas koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan
pemberantasan korupsi, termasuk BPK dan BPKP, tidak bertentangan dengan
konstitusi.
Lebih
lanjut, MK menyatakan, ”KPK bukan hanya
dapat berkoordinasi dengan BPKP dan BPK dalam rangka pembuktian suatu tindak
pidana korupsi, melainkan dapat juga berkoordinasi dengan instansi lain,
bahkan bisa membuktikan sendiri di luar temuan BPKP dan BPK, misalnya dengan
mengundang ahli atau dengan meminta bahan dari inspektorat jenderal atau
badan yang mempunyai fungsi yang sama dengan itu dari masing-masing instansi
pemerintah, bahkan dari pihak-pihak lain (termasuk dari perusahaan), yang
dapat menunjukkan kebenaran materiil dalam penghitungan kerugian keuangan
negara dan/atau dapat membuktikan perkara yang sedang ditanganinya”.
Kontradiksi
yuridis
Putusan
MK No 31/PUU-X /2012 kerap kali dirujuk pemberi keterangan ahli dari pihak
penuntut umum dalam persidangan kasus-kasus dugaan korupsi. Putusan MK
tersebut juga acap kali dijadikan dasar hukum bagi aparat penegak hukum
selain KPK (baca: kejaksaan dan kepolisian) untuk melakukan perhitungan
kerugian negara dengan atau tanpa bantuan dari BPK, bahkan secara mandiri.
Dalam
hal ini, terjadi penafsiran hukum meluas oleh kejaksaan dan kepolisian atas
putusan MK tersebut. Putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012 sejatinya memberi tafsir
hukum hanya untuk KPK berkenaan dengan tugas dan wewenang yang melekat
padanya, yakni koordinasi antar-instansi dalam upaya pemberantasan korupsi.
Jadi, tafsir hukum itu tidak berlaku untuk aparat penegak hukum lain di luar
KPK dan juga tidak menyasar secara khusus pada perhitungan kerugian negara.
Menjadi
enigmatis manakala Eddie Widiono Suwondho mengajukan pengujian materi atas
pasal yang tidak secara khusus berkaitan dengan perhitungan kerugian negara,
padahal dalam putusan MK tersebut tertera jelas intensi Eddie yang sejatinya
mempersoalkan keabsahan lembaga selain BPK dalam melakukan perhitungan
kerugian negara. Dan, lebih enigmatis lagi tatkala membaca pertimbangan hukum
MK yang seolah-olah ”terbawa suasana” dengan petitum pemohon dan menyatakan
uraian yang melampaui makna Pasal 6 Huruf a dan Penjelasan UU KPK.
UU
No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tidak mengatur soal lembaga yang
berwenang melakukan perhitungan kerugian negara. Pembentuk regulasi cuma
sedikit saja menyinggung soal itu dalam Pasal32 Ayat (1) dan Penjelasan UU
Tipikor yang menyatakan, ”… kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya
berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang
ditunjuk…”.
Barangkali
keputusan kejaksaan dan kepolisian untuk melibatkan instansi di luar BPK
dalam perhitungan kerugian negara didasarkan atas Pasal 32 Ayat (1) dan
Penjelasan UU Tipikor itu. Padahal, Pasal 10 Ayat (1) UU No 15/2006 tentang
BPK (UU BPK) secara tegas menyatakan, ”BPK menilai dan/atau menetapkan jumlah
kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja
maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga
atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”.
Pengamat hukum yang jeli pada gilirannya
akan mencatat, telah terjadi kontradiksi yuridis antara tafsir meluas atas
Putusan MK Nomor 31/PUU-X/2012 dan Pasal 10 Ayat (1) UU BPK. Pada akhirnya, digunakan
atau tidaknya informasi kerugian negara yang dihitung, dinilai, dan
ditetapkan oleh siapa pun dan lembaga mana pun merupakan domain absolut dari
hakim yang mengadili perkara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar