Menyambut
Presiden Baru AS
Dinna Wisnu ; Pengamat
Hubungan Internasional;
Co-founder & Director
Paramadina Graduate School of Diplomacy
|
KORAN SINDO, 09 November
2016
Pagi
ini Amerika Serikat (AS) sudah memilih presiden baru. Namun siapa pun dia,
sejauh yang ditampilkan di media massa, kedua kandidat Presiden AS tidak
menunjukkan perhatian kepada wilayah Asia-Pasifik ataupun Asia Tenggara.
Politik
luar negeri yang diperbincangkan selama kampanye lebih terkait dengan ISIS,
krisis di Timur Tengah, hubungan dengan Rusia, China, dan Meksiko. Hal ini
menyiratkan bahwa Indonesia sebagai negara yang masih memiliki pengaruh di
ASEAN dan Asia-Pasifik perlu membangun pendekatan yang lebih intensif lagi
kepada presiden baru AS. Politik global saat ini tidak bisa dikatakan bipolar
alias terdiri dari dua kubu kekuatan yang saling berebut pengaruh, sementara
negara-negara lain melakukan positioning sesuai kubu-kubu tersebut atau mengambang.
China
memang muncul sebagai kekuatan ekonomi baru yang dikhawatirkan negara-negara
Barat akan merebut hegemoni dunia. Tetapi, dari aspek militer, kita tidak
bisa abai pada kekuatan Rusia, bahkan pada pilihan kerja sama militer India.
Dalam banyak aspek, hubungan internasional pun jauh lebih kompleks daripada
urusan persenjataan atau militer.
Di
Asia Tenggara, penetrasi China dari sisi ekonomi ke kawasan ASEAN memang
membawa sisi positif dalam pertumbuhan ekonomi, namun melemahkan dalam sisi
politik. Karena itu, Indonesia perlu mengupayakan terciptanya bangunan sistem
ekonomi- politik yang seimbang di kawasan regional, yang tidak bergantung
pada dominasi ekonomi segelintirnegara saja. Tujuannya, agar manfaat
pembangunan yang telah kita capai dapat berjalan stabil dan berjangka
panjang.
Ada
beberapa alasan mengapa Indonesia perlu aktif mendekatkan diri kepada
presiden Amerika yang baru. Salah satunya karena sepanjang kampanye kita
melihat bahwa kedua calon presiden, baik Hillary Clinton maupun Donald Trump,
tidak memperlihatkan konsep politik luar negeri yang jelas di Asia.
Energi
kampanye mereka tercurah untuk memperkuat keamanan nasional AS dari ancaman
yang terutama datang dari kelompok-kelompok teroris seperti ISIS atau Al-
Qaeda atau negara seperti Iran. Fokus itu memang tidak dapat dihindarkan.
Karena Donald Trump yang banyak diklasifikasikan sebagai politisi demagogue atau politisi yang
menggunakan alasan-alasan prejudice atau menakut-nakuti masyarakat luas untuk
mendapatkan dukungan populer memaksa pihak Hillary Clinton untuk
mendiskusikan topik-topik yang dilontarkan Trump.
Akibatnya,
dunia masih bertanya-tanya apa langkah konkret salah satu dari mereka apabila
terpilih menjadi presiden hari ini. Sejauh yang kita dengar dalam kampanye, kebijakan
politik luar negeri AS di kawasan Asia selalu tidak lepas dari faktor China.
China dianggap sebagai kompetitor menakutkan terbesar untuk Amerika.
Donald
Trump dalam kampanye di Monessen, Pennsylvania (28/ 6), mengatakan bahwa
masuknya China ke WTO telah memungkinkan terjadinya pencurian pekerjaan
terbesar di dalam sejarah dunia. Tidak kalah kerasnya Hillary Clinton di San
Diego California juga menyebut bahwa ”negara-negara seperti Rusia dan China
selalu bekerja melawan kita (Amerika Serikat), Beijing membuang baja murah di
pasar kita.
Itu
menyakitkan para buruh di Amerika.” Begitu besarnya momok China dalam
kampanye presiden AS hingga menenggelamkan keberadaan negara-negara lain di
kawasan Asia, terutama Asia Tenggara. Di sisi lain, kenyataan itu juga
membuka mata kita bahwa negara-negara ASEAN masih dipandang sebelah mata oleh
negara maju seperti AS.
Padahal,
apabila dikaitkan dengan masalah terorisme yang selalu menghantui Amerika,
negara-negara yang memiliki penduduk dengan mayoritas muslim telah berhasil
mengurangi radikalisasi terorisme di dalam wilayahnya dibandingkan dengan
negara-negara di Timur Tengah. Negara-negara mayoritas muslim di Asia juga
memiliki pasar dan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik daripada negara-negara
muslim di Timur Tengah.
Artinya,
dengan fakta-fakta yang positif itu politisi Amerika, khususnya Donald Trump,
masih belum memandang positif negara-negara Asia yang berpenduduk muslim dan
terus membuat stigma negatif atau stereotipe bahwa muslim itu sama dengan
teroris. Kelemahan politik luar negeri AS terhadap Asia adalah salah satu
pekerjaan rumah yang harus diperbaiki. Sayangnya, pekerjaan rumah itu tidak
hanya perlu diselesaikan oleh Pemerintah AS sendiri tetapi juga negaranegara
di Asia khususnya Indonesia.
Kegagalan
AS dalam melihat potensi yang besar dari negara-negara Asia dapat juga
melemahkan kedaulatan dan kemerdekaan ekonomi dan politik di mata negara
lain, khususnya China. Dalam praktik konkretnya, ketika pengaruh Amerika
melemah, sementara pengaruh negara-negara Asia khususnya ASEAN tidak menguat
dan atau tidak makin kompak, pengaruh China akan membesar.
Membesarnya
pengaruh tersebut dapat berpotensi membuat ketergantungan baru yang akan
merugikan kita terutama dalam menyelesaikan masalah-masalah saat ini seperti
di Laut China Selatan atau masalah-masalah baru di kemudian hari. Tugas ini
adalah pekerjaan yang harus dilakukan oleh para diplomat kita. Kita perlu
bijak juga dalam merancang strategi politik luar negeri dan tidak hanya
mengikuti perasaan atau euforia seperti yang dilakukan oleh Presiden
Filipina, Duterte.
Seperti
kita ketahui bahwa dalam beberapa pernyataannya baik di dalam maupun di luar
negeri, Presiden Duterte menyatakan untuk tidak melanjutkan kerja sama atau
mengurangi pengaruh Amerika Serikat terhadap Filipina dan secara terbuka
menyatakan diri berpihak kepada China. Presiden Duterte bahkan mengatakan di
hadapan para pengusaha Filipina dan China bahwa ia bercita-cita untuk
membangun aliansi Rusia- China-Filipina untuk melawan Barat.
Presiden
Duterte mungkin masih membayangkan bahwa politik luar negeri dunia saat ini
masih bipolar seperti zaman Perang Dingin lalu. AS membutuhkan sesuatu untuk
diyakini tentang semua potensi ekonomi dan politik yang dimiliki oleh
Indonesia secara khusus dan ASEAN secara umum di kawasan regional. Kita perlu
meyakinkan presiden AS yang baru untuk menyeimbangkan kebijakan
proteksionisnya di dalam negeri dengan pengorbanan yang harus dibuat untuk
membuat sukses kerja sama dengan negara-negara lain, terutama di Asia
Tenggara dan Asia-Pasifik.
Tanpa
adanya pengorbanan, yaitu membuat negara-negara di Asia diuntungkan dari
kerja sama dengan AS, maka Paman Sam akan kehilangan pengaruhnya di Asia.
Pendekatan kita kepada AS bukan berarti kita menghamba atau bersedia berada
di bawah subordinasi mereka. Tetapi hal ini sebagai salah satu strategi untuk
mencapai atau membangun sebuah keseimbangan yang lebih permanen dan stabil di
masa depan.
Apabila kita hanya fokus membangun
perekonomian di dalam negeri tanpa membangun jaminan kestabilan
ekonomi-politik di kawasan, hasil pembangunan itu tidak akan bermanfaat
maksimal. Kita membutuhkan sebuah kawasan yang stabil agar produkproduk dalam
negeri kita yang semakin kompetitif akibat pembangunan infrastruktur yang
sudah dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dan Jusuf Kalla dapat diserap oleh
pasar di negara-negara lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar