Membumikan
Poros Maritim
Arif Satria ; Dekan
Fakultas Ekologi Manusia IPB
|
KOMPAS, 09 November
2016
Menjadi
poros maritim dunia adalah salah satu mimpi kita. Dalam dua tahun
pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, penting untuk dievaluasi sejauh mana
implementasi konsep ini. Langkah-langkah apa saja yang bisa dilakukan untuk
mempercepat terwujudnya poros maritim dunia tersebut?
Hingga
saat ini, publik masih terus menanti apa yang dimaksud dengan poros maritim
dunia (PMD). Banyak pihak menafsirkan PMD secara berbeda sesuai posisi dan
kewenangannya. Padahal, sebagai sebuah visi Presiden, mestinya ada satu acuan
yang dipegang dan dielaborasi oleh lembaga dan kementerian di bawahnya.Belum
adanya konsep PMD yang menjadi acuan bersama pada akhirnya juga menyulitkan
publik, khususnya masyarakat awam, untuk memahami apa yang sedang dipikirkan
dan dikerjakan pemerintah.
Dulu,
pelajar SMP ataupun SMA tahu persis apa yang sedang direncanakan dan
dikerjakan pemerintah Orde Baru di bidang pertanian karena peta-jalan untuk
mencapai swasembada beras begitu jelas dalam setiap GBHN dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJP I). Tentu kita menginginkan konsep
PMD dapat dipahami dengan mudah dan menjadi pengetahuan publik yang pada
gilirannya publik merasa memiliki. Dengan publik merasa memiliki konsep
tersebut, maka dapat mendorong mereka untuk berpartisipasi.
Namun
kalau diraba-raba, poros maritim dunia dapat diartikan sebagai pusat kekuatan
maritim yang disegani di dunia yang mampu menjadikan sumber daya laut sebagai
pilar pembangunan nasional, baik secara ekonomi, sosial budaya, maupun
pertahanan. Pemerintah menempatkan lima pilar PMD, yaitu budaya maritim,
infrastruktur dan konektivitas, menjaga dan mengelola sumber daya laut,
diplomasi maritim, serta pertahanan maritim.
Apa
beda konsep negara kepulauan, negara maritim, dan PMD? Negara kepulauan
adalah fakta geografis, yang berarti hanya menggambarkan karakteristik
geografis kita yang kaya pulau dan sumber daya. Sementara negara maritim
adalah fakta sosial ekonomi, budaya, dan politik, yang berarti menggambarkan
karakteristik ekonomi yang ditopang ekonomi kelautan, serta fakta kekuatan
budaya bahari, kekuatan geopolitik, dan militer.
Dengan
demikian, seperti diungkapkan Hasyim Djalal, kita masih tergolong negara
kepulauan dan belum sebagai negara maritim. Dengan posisi belum menjadi
negara maritim, mungkinkah kita menjadi PMD? Tentu kita harus optimistis,
tetapi juga harus realistis. Yang diperlukan adalah kerja sistematis penuh
terobosan dan akselerasi sehingga optimisme dapat berbuah.
Langkah
strategis
Dalam
dua tahun ini, sudah banyak yang dilakukan pemerintah. Pertama, gerakan
penanggulangan perikanan ilegal telah berhasil dan ini sudah diakui dunia
internasional. Kedua, menurunnya dwelling
time dari 6,33 hari (2015) menjadi 3,36 hari (2016). Ketiga, terjadi
penambahan trayek angkutan laut perintis dari 84 (2014) menjadi 96 (2016).
Keempat,penurunan harga sejumlah komoditas, khususnya di wilayah timur karena
perbaikan konektivitas di laut. Meskipun demikian, apa yang dilakukan masih
bersifat sektoral dan masih berupa pasel yang mesti ditata dalam sebuah
bingkai rencana besar. Oleh karena itu, diperlukan sejumlah langkah
strategis.
Pertama,
perlu formulasi konsep PMD sebagai proses sekaligus hasil. Artinya, perlu
gambaran yang jelas dan terukur tentang karakteristik PMD dan dapat
dikomunikasikan kepada publik dengan baik. Kedua, PMD bukanlah proyek jangka
pendek. Karena perlu perencanaan jangka panjang yang matang serta rumusan
peta jalanyang sistematis dengan target-target tahunan yang terukur sehingga
dapat tergambar pula kapan pencapaian itu bisa terwujud.
Ketiga,
karena PMD jangka panjang, perlu dibuatkan dasar hukum PMD sehingga bisa
mengikat dan tidak mudah berubah ketika terjadi pergantian rezim. Dulu, GBHN
adalah produk Tap MPR. Bisa saja dasar hukum PMD adalah UU yang
diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang. Apabila dasar hukum
hanya peraturan presiden (perpres), maka sangat rentan terhadap perubahan
rezim. Keempat,urusan kemaritiman lebih luas dari tupoksi Kemenko Kemaritiman
yang hanya membawahi empat kementerian. Karena itu, PMD bukanlah sekadar
tanggung jawab menko kemaritiman, melainkan juga semua anggota kabinet
ataupun Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sehingga perlu pemetaan
peran tiap lembaga dan tecermin dalam profil penganggaran mereka.
Kelima,
landasan penting bagi penguatan pilar PMD adalah penguatan iptek dan SDM.
Tiongkok dengan visi ”Jalur Sutera Abad 21” telah mempersiapkan rencana
sistematis pengembangan riset dan SDM yang terpadu dengan dunia bisnis. Di
Qingdao sedang dibangun Qingdao Oceantec Valley, yang mirip Silicon
Valley,lengkap dengan master plan yang matang. Ini bukti keseriusan
mewujudkan visi. Kita perlu mempersiapkan SDM andal sehingga proses PMD
dilakukan putra-putri bangsa kita sendiri. Jangan sampai PMD sekadar
berorientasi jangka pendek dan instan melalui dominasi SDM asing dan kita
hanya jadi penonton. Karena itu, PMD harus melibatkan perguruan tinggi dan
lembaga riset, baik pemerintah maupun swasta, untuk menghasilkan SDM andal
dan inovasi unggul.
Langkah-langkah
tersebut merupakan langkah struktural. Tentu harus diiringi juga dengan
langkah kultural. Presiden Jokowi sudah berhasil mengembalikan kesadaran kita
tentang kemaritiman. Momentum ini penting untuk ditindaklanjuti dengan
gerakan baru untuk memperkuat kesadaran kolektif tentang kemaritiman. Langkah
sistematisnya bisa melalui perubahan kurikulum pendidikan.
Pendidikan formal merupakan jalur yang
sangat efektif untuk menanamkan cinta laut dan pola pikirkemaritiman. Hal ini
penting agar PMD bukanlah sekadar proyek teknokratik untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi, tapi ternyata tidak dijiwai rakyat kita. Kemaritiman
harus hadir dalam alam pikiran masyarakat. Karena itulah, gerakan kultural
mesti diperkuat sehingga langkah membumikan PMD makin realistis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar