Negara
Laki-laki
Trias Kuncahyono ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 13 November
2016
Tragedi
Amerika! Itu komentar David Remnick, editor The New Yorker (9/11), tentang
kemenangan Donald Trump dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat lalu. Komentar
Remnick tidak berhenti sampai di sini. Ia masih melanjutkan. Kata dia,
kemenangan Trump selain tragedi bagi AS, juga tragedi bagi konstitusi,
sekaligus kemenangan kekuatan (di dalam dan luar negeri) nativisme,
otoritarianisme, kebencian terhadap perempuan, dan rasisme.
David
Remnick masih melanjutkan: Pada 20 Januari 2017, kita akan mengucapkan
selamat jalan kepada Presiden Afrika-Amerika pertama-orang yang memiliki
integritas, martabat, dan semangat bermurah hati-serta menyaksikan pelantikan
seorang yang didukung oleh kekuatan xenofobia dan supremasi kulit putih.
Kolumnis
The Washington Post (10/11), David Ignatius, "memperberat" komentar
David Remnick. Wartawan dan novelis ini secara ringkas menyebut Donald Trump
adalah "Machiavelli Amerika". Ia menulis, sifat kontroversial Trump
sama dengan karakter yang secara sinikal disebut Niccolo Machiavelli
dibutuhkan bagi seorang pemimpin. Trump bisa menjadi seorang pembohong, yang
menurut filsuf dari Florence, Italia, itu kadang-kadang dibutuhkan sebagai
bagian dari kepemimpinan. Ia (Trump) bisa menjadi penggertak seperti
raja-raja Italia. Trump juga orang bermulut besar yang rakus akan nafsu
seksual, seperti Machiavelli sendiri.
Dari
sini, sekurang-kurangnya dengan mengikuti pendapat David Ignatius, terlihatlah
bahwa sangat sulit untuk memasukkan Trump ke dalam kotak politikus (dia
seorang pebisnis dan sekarang naik ke panggung politik) yang baik. Politikus
yang baik adalah jujur, santun, memiliki integritas, menghargai orang lain,
menghargai kelompok lain, menerima pluralitas, memiliki keprihatinan untuk
kesejahteraan umum, memiliki hati untuk penderitaan orang lain, dan tentu
tidak mementingkan golongannya sendiri.
(Di
sini, negeri ini pun, menurut para cerdik-pandai, dibutuhkan usaha luar biasa
untuk menemukan politikus baik; lebih mudah menemukan politikus
busuk-meminjam istilah yang biasa digunakan masyarakat umum. Profesi politisi
cenderung jauh dari kualitas dan kredibilitas. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa profesi politisi hanya digunakan untuk mencari nafkah, bukan lagi
menjadi profesi mulia yang pantas dijaga atau dilindungi; yang penuh
martabat. Semakin banyak petinggi negara-mantan menteri, anggota DPR,
gubernur, bupati, dan pejabat lain-yang terlibat dalam berbagai pelanggaran
etika serta skandal suap dan korupsi. Ini mengisyaratkan, demi pola hidup
hedonis, kehormatan, reputasi, nama baik, status, gengsi, martabat, atau
harga diri tidak lagi penting dan obral percuma).
Akan
tetapi, Machiavelli mengatakan, politik yang baik adalah politik yang bisa
mencapai tujuan, terlepas dari apa pun cara yang dipilih dan dilakukan untuk
mencapai tujuan itu. Dengan kata lain, politik yang baik pertama-pertama
politik yang bisa mencapai tujuan dengan tidak harus bisa dibenarkan secara
moral.
Karena
itu, menurut Machiavelli pula, kekuasaan harus dilepaskan dari moral dan
teologi. Kekuasaan dan etika politik adalah dua dunia yang berbeda. Jadi,
Machiavelli berkeyakinan bahwa tidak ada hukum yang bisa memaksakan, kecuali
kekuasaan. Karena itu, kekuasaan atau memiliki kekuasaan menjadi tujuan utama
dan diraih dengan segala cara. Itulah tujuan politik kekuasaan.
Jika
demikian, politik tidak bisa lagi disebut sebagai seni, seperti definisi
selama ini. Politik disebut seni karena membutuhkan kemampuan untuk meyakinkan
melalui wicara dan persuasi, bukan manipulasi, bukan pula kebohongan, dan
bukan melalui kekerasan (Haryatmoko: 2003), ancaman, serta teror.
Hanya
di tangan para politikus yang memiliki etika sajalah politik itu menjadi
seni. Tuntutan pertama etika politik adalah "hidup baik bersama dan
untuk orang lain". Di sini konsep politik jelas: bonum commune,
kesejahteraan umum. Jadi, politikus yang menjalankan etika politik adalah
negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral karena tujuannya adalah
kemaslahatan umat bersama. Tentu hal itu berbeda dengan definisi politik yang
baik menurut Niccolo Machiavelli.
Melihat
Trump (mengikuti dari pidato-pidato kampanyenya, foto-foto, dan film-film di
Youtube, dan juga membaca hasil investigasi psikologis yang dilakukan oleh
Dan P McAdams) sulit untuk menyebutnya sebagai politikus baik. Dan McAdams
dalam The Mind of Donald Trump
menulis, Trump memiliki karakter, sifat narsisisme, tidak menyenangkan,
ofensif, suka bertengkar, bertemperamen buruk, dan grandiosity. Akankah ia mampu mengubah sifat-sifat buruknya itu
ketika sudah menjadi penghuni Gedung Putih?
(Berpolitik
menuntut suatu transformasi dan perubahan karakter. Politisi yang berkualitas
dan memiliki kredibilitas tak sekadar tahu bagaimana cara menciptakan kesejahteraan
rakyat, bangsa, dan negara; bagaimana menciptakan bonum commune saja. Akan tetapi, juga tahu fungsi utama sebagai
politisi, yaitu melahirkan generasi politisi baru yang lebih baik dalam
segala hal; bukan menjadi politisi oportunis. Politisi sejati adalah
negarawan yang bersedia membela rakyat dan berani menghadapi risiko dalam
tindakan dan keputusannya).
Di dalam diri Hillary Diane Rodham
Clinton-yang dengan besar hati mengakui kekalahan dan mengajak pendukungnya
untuk memberikan kesempatan kepada presiden terpilih dan menatap ke
depan-sebenarnya rakyat AS bisa menemukan sosok politikus yang baik yang beretika
itu. Sayangnya, dedengkot demokrasi, AS, masih tetap negaranya "kaum
laki-laki". Karena itu, benar yang dikatakan Jessica Bennettnov,
pengarang Feminist Fight Club: An
Office Survival Manual for a Sexist Workplace, "gadis-gadis
(perempuan) bisa menjadi apa pun, kecuali presiden". ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar