Ancaman
terhadap Perdagangan Bebas
René L Pattiradjawane ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 14 November
2016
Kehadiran
pemerintah baru di Washington DC setelah kemenangan presiden terpilih Donald
Trump (70), presiden paling tua dalam sejarah setara Ronald Reagan yang
berusia 69 tahun ketika terpilih tahun 1981, menghadirkan banyak analisis
bentuk pemerintahan baru AS dan dampaknya bagi Asia Pasifik. Slogan Trump
"Make America Great Again!" berhasil mengalahkan Hillary Clinton
dari Partai Demokrat, dan memorak-porandakan tatanan AS sebagai adidaya.
Kita
tidak bisa melihat arah politik luar negeri AS di bawah Trump sebelum susunan
kabinet kerjanya terbentuk Januari tahun depan. Yang pasti, pemilu presiden
AS kali ini menandakan perubahan menyeluruh sistem demokrasi yang selama ini
dianggap sebagai kaidah universal, menghadirkan berbagai kejutan baru,
menghadirkan nuansa populisme, seperti pada Brexit di Eropa, sebagai tempat
kelahiran demokrasi.
Pertanyaan
esensial adalah bagaimana mungkin negasi kelompok liberal yang diwakili
Hillary Clinton meninggalkan kelas pekerja, mendorong nuansa populisme
kelompok kanan Trump dan kelompok kiri Bernie Sanders? Bagaimana mungkin
seorang miliarder, seperti Trump yang bekerja dalam mesin globalisasi, sekaligus
merasa menjadi "korban" secara politik dan ekonomi yang menyatukan
kelompok kanan?
Strategi
ini ternyata mampu menyingkirkan kaum moderat Partai Demokrat menggusur
dukungan kelas pekerja dan mendorong kesetaraan masyarakat. Seperti juga di
Eropa dengan ke luarnya Inggris dari Uni Eropa, kekhawatiran kelompok liberal
terhadap kelompok kiri ekstrem dan kaum populis kelompok kanan menjadi pemicu
utama yang mendorong gagasan untuk keadilan sosial dan ekonomi, gagasan yang
menjadi dorongan kuat setelah krisis keuangan 2008.
Seorang
kaya dari kelas kapitalis, seperti Donald Trump, menggunakan argumentasi
ideologis ekstrem kanan tentang alternatif terhadap kapitalisme global, serta
pengangguran dengan menyalahkan para imigran, kelompok kulit berwarna, maupun
kelompok Muslim. Nuansa ini mendorong berbagai spekulasi, bentuk kebijakan
luar negeri Trump di Asia Pasifik, terutama dalam konteks persaingan lingkup
pengaruh berhadapan dengan RRT, isu Laut Selatan, maupun Semenanjung Korea
yang selalu menjadi agenda penting Washington DC.
Mitra
dagang terbesar AS di Asia Pasifik tahun 2015 tercatat yang paling besar
adalah RRT, kemudian Jepang, Korea Selatan, dan India. Sedangkan total
perdagangan ASEAN ke AS pada pertengahan 2015 tercatat sebesar 212,4 miliar
dollar AS yang mendekati total perdagangan ASEAN ke Jepang dan lebih tinggi
dibanding total perdagangan ASEAN ke 28 negara anggota Uni Eropa yang
mencatat 248,3 miliar dollar AS.
Dilemanya
adalah apakah AS di bawah Donald Trump akan terus memberikan jaminan payung
keamanan yang selama 50 tahun menjadi acuan arsitektur keamanan di
Asia-Pasifik, mempertahankan berbagai keseimbangan meredam gejolak militer
yang mengancam perdamaian dan stabilitas kawasan.
Kemenangan
Trump menjadi pertanda kalau ekonomi liberal diprakarsai Reagan, Thatcher,
dan Nakasone awal 1990-an menandai berakhirnya Perang Dingin menghasilkan
kemenangan global ekonomi pasar dan demokrasi liberal. Namun, liberalisasi
yang menjadikan AS sebagai negara bonafide pelopor demokrasi, kemerdekaan, dan
kebebasan politik menciptakan "gaya hidup Amerika" menjadi senjata
makan tuan.
"Kebebasan Amerika" secara
alamiah dirumuskan dalam globalisasi dianggap oleh pemilih AS sebagai
kegagalan menyeluruh lapisan masyarakat. Awalnya, kebebasan dalam globalisasi
menghasilkan orang miskin terkungkung keputusasaan dan kehilangan kekayaannya
yang memang tidak banyak. Sekarang, kelas menengah dan orang kaya pun (di AS
maupun Eropa) mengalami nasib sama, ketika perusahaan multinasional bergerak
ke mana saja di dunia yang menguntungkannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar