Dian
Sastro
Bre Redana ; Wartawan
Senior KOMPAS
|
KOMPAS, 13 November
2016
Belakangan
ini sebelum film dimulai kadang diputar tayangan produksi Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Perfilman Indonesia, dan FFI, pertanyaan:
apa yang membuat Anda pengin nonton film Indonesia. Sebagai penonton saya
jawab: Dian Sastro. Atau tambah satu lagi: Cut Mini.
Beberapa
sineas kita menciptakan film-film berkualitas. Selain berkualitas, beberapa
di antaranya menjadi film laris. Karya-karya ini mengingatkan adagium bisnis:
bahwa yang bermutu tidak harus dipertentangkan dengan urusan laku tidak laku.
What is morally right can hardly
commercially wrong.
Di
luar itu tak kalah banyaknya film yang dibuat dengan logika sembarangan. Ini
pun perlu dimaklumi. Di tengah proses pendangkalan dan krisis pemikiran, tak
mungkin satu bidang pintar sendirian dengan pemikiran gilang-gemilang. Semua
bidang mengalami gejala yang sama, baik itu sinema, sastra, pendidikan
tinggi, agama, maupun pers, dan lain-lain.
Revolusi
di bidang teknologi informasi memberi andil dalam proses pendangkalan. Tak
ada yang salah dengan kecepatan, kesegeraan, keserentakan. Yang jadi masalah
adalah ketika kecepatan yang memang merupakan obsesi manusia dari zaman ke
zaman itu tak disadari. Katakanlah sebagai contoh menggabungkan semangat
media cetak dengan semangat media digital. Bukan soal yang disebut pertama
lambat mengirimkan informasi karena adanya proses pencetakan dan sebagainya,
sementara yang kedua tinggal klik langsung berita tersebar. Terdapat hal
lebih mendasar yang membedakan keduanya, yakni persepsi mengenai kenyataan,
antara realitas dan delusi.
Media
digital menciptakan delusi: kaburnya batas antara yang nyata dan tak nyata,
bahkan boleh jadi kenyataan itu tidak pernah ada sama sekali alias semata-mata
gadungan. Satu informasi diunggah melalui media digital, ditanggapi ramai,
melahirkan simpati dan benci, padahal semuanya didasarkan sesuatu yang tak
pernah ada. Kalau disingkat prosesnya: delusi menciptakan situasi dan situasi
menciptakan benci atau simpati berlebihan.
Sebelum
lahirnya zaman bergegas ini, untuk sebuah informasi, dunia media cetak
memerlukan meninjau lapangan. Yang didalami adalah situasi. Melihat,
merasakan, menganalisis, merefleksikan. Dari situ lahir kondisi.
Jelas
tak mungkin kita mengingkari perkembangan teknologi. Media massa di Barat
menyinergikan media cetak dan media digital. Hanya saja, sebelum media
digital muncul, mereka telah kokoh dengan tradisi literer sebelumnya. Otak
mereka telanjur terlatih mengolah logika dan rasionalitas.
Prakondisi
itulah yang harus diakui kurang ada pada masyarakat negara berkembang yang
hanya pandai mengonsumsi tanpa terlibat proses produksi. Pelajar sekolah
menengah mereka membaca 25 buku setahun, pelajar kita nol prutul. Buku, media
cetak, menjadikan otak terlatih. Manusia tak cukup hidup hanya dengan mimpi,
motivasi, ilusi, delusi, intuisi-zat-zat yang adanya pada sektor hati dan
niat. Niat dan motivasi penting, tetapi eksekusi kerja harus dengan otak.
Kerja keras dengan otak, dengan kecerdasan, menghasilkan produk gemilang.
Tanpa otak, kerja keras dengan hati menyebabkan kanker hati.
Karena
belakangan memiliki banyak waktu senggang, saya menonton film apa saja. Film
Hollywood selalu meyakinkan, mereka terampil mengolah apa saja menjadi
kelihatan rasional dan logis. Sementara kita, meski niatnya mulia sekalipun,
produknya kadang kurang meyakinkan dikarenakan lemahnya logika dan
rasionalitas.
Belum
lagi, sekarang ini, seiring surutnya peran media cetak, tak ada lagi kritik
film. Ada beberapa kritik lumayan serius di media digital, tetapi mereka
tenggelam di tengah keriuhan dan kicauan asbun serupa teriakan penonton di
pinggir lapangan sepak bola. Di mana JB Kristanto, Salim Said, Marselli,
Bambang Bujono, atau generasi sesudahnya seperti Joko Anwar?
Teman saya, Butet Kartaredjasa, selalu
mengingatkan, jangan kapok menjadi Indonesia. Saya tidak kapok. Terus
menonton. Saya tahu, saya tidak sendirian menunggu Dian Sastro. Oh ya, juga
Cut Mini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar