Kulit
atau Isi
Jakob Sumardjo ; Budayawan
|
KOMPAS, 14 November
2016
Ada
kecenderungan pendangkalan pikiran akhir-akhir ini. Orang lebih memercayai
hal yang tampak daripada inti yang tersembunyi di dalamnya. Film-film
Hollywood menasihati: jangan menilai dari permukaannya.
Nenek
moyang Indonesia sering menasihati anak cucunya dengan begitu saja
menyatakan: jangan kau sia-siakan bungkusan remeh yang tergeletak di jalan,
yang biasanya dilewati orang begitu saja, karena di dalamnya penuh intan
berlian yang tak ternilai harganya. Yang mereka maksudkan adalah tuturan
cerita seperti dongeng anak-anak yang tak masuk akal, padahal di balik
dongeng itu tersembunyi kearifan lokal yang tak ternilai.
Terjemahannya
untuk masa kini justru terbalik. Orang sudah tahu bahwa isinya sesuatu yang
tak ternilai, tetapi dengan bungkusnya yang cacat, maka isinya menjadi cacat
juga.
Ya,
dialah orang yang paling tepat yang kita butuhkan untuk mengatasi
masalah-masalah gawat kita sekarang. Namun, apa kata mereka? Goblok, kamu!
Dia kan bukan orang kita. Lebih baik kita menggunakan bambu daripada kayu
jati yang bukan berasal dari daerah kita sendiri.
Barangkali
semangat 45, rasa kebangsaan yang berkobar-kobar yang spontan menolak apa
”yang lain”, yang ”bukan kita”, masih menyala-nyala dalam dada kita. Namun
kenyataannya, setelah hampir tiga perempat abad kita merdeka, gejala ”hari
ini anak- anak saya makan atau tidak” masih ada meskipun mereka yang ”hari
ini anak-anak ingin makan apa” semakin banyak. Warga negara yang kaya memang
semakin banyak, tetapi warga negara yang tidak dapat makantidak dapat
ditolong negara yang semakin miskin.
Dia
yang ”orang lain”
Di
zaman dahulu, kalau banyak rakyat miskin, yang disalahkan raja dan
pembantu-pembantunya. Menjelang ambruknya sebuah kerajaan, kata sahibul hikayat,
raja hanya bersenang-senang dan banyak melakukan dosa. Sampai abad ke-19,
kepercayaan ini masih kuat dengan ditulisnya Serat Kalatida oleh pujangga
Ronggowarsito di Keraton Surakarta. Pada zamannya, banyak pembesar yang
”putih di luar kuning di dalam” alias hipokrit meskipun masih ada juga
pembesar-pembesar yang baik, tetapi tak mampu memperbaiki keadaan.
Rakyat
miskin sudah putus asa, hanya mengharapkan keadilan Tuhan. Itu sebabnya mitos
Ratu Adil dan Satria Piningit bertambah subur. Kehendak jahat ada di
mana-mana, hampir semuanya jahat, sehingga manusia tidak mampu mengatasinya,
kecuali kuasa yang ada di luar manusia.
Rakyat
miskin yang hidupnya sengsara, dan lebih sengsara lagi menyaksikan
pembesarnya berlimpahan harta, tidak segan meminta tolong kepada ”setan”.
Dalam sistem kepercayaan, ”setan” adalah bukan bagian dari kelompok manusia.
Setan adalah yang lain itu.
Pada
tahun 1950-an beredar terjemahan cerpen Amerika karangan Stephen Vincent
Benet, ”Hantu dan Daniel Webster” (kalau tidak salah terjemahan Mochtar
Lubis), yang mengisahkan petani miskin Jabez Stone akibat ketandusan
ladangnya. Banyak petani yang telah ”menggadaikan” dirinya kepada Setan yang
tiap kali berkeliling daerah itu dengan kereta hitam, kuda hitam, dan jubah
hitam.
Akhirnya
Jabez Stone berbuat sama. Hidupnya berubah jadi lebih dari kecukupan. Ketika
saatnya tiba, petani ini akan masuk Kerajaan Setan. Seorang anggota DPR
Amerika (senator) yang pro rakyat menggugat Setan di pengadilan spiritual.
Bukan kesalahan petani, melainkan kesalahan negara sehingga warganya
menggadaikan jiwanya kepada ”yang lain” itu.
Apakah
masih jadi persoalan yang esensial ketika ”kalatida” bangsa ini telah lama
tidak teratasi? Ketika banyak orang baik bersikap seperti Jabez Stone, yaitu
memilih pertolongan kepada ”Setan” apa saja, germo, bandar narkoba, bos kelab
malam, bos preman, dan calo TKI. Begitu pula jenis ”setan yang lain” seperti
”bukan kelompok”, ”bukansedarah”, ”bukan satu warna kulit”, dan ”bukan-bukan”
yang lain yang sektarian?
Apakah
kalau berasal dari satu kelompok tertentu, masalah laten akan dapat diatasi?
Apakah kita ingin persoalan menahun ini akan selesai atau tidak? Baik oleh
orang normal kita atau oleh ”orang lain” itu?
Melenyapkan
”isi”
Teater
Koma pada 1980-an berkali-kali mementaskan mitologi Tiongkok, Siluman Ular
Putih, yang dahulu disebut Ouw Peh Tjoa. Dua perempuan siluman turun ke dunia
menjadi dua gadis cantik. Mereka menjadi ahli obat-obatan dan banyak menolong
manusia dengan kepandaiannya itu.
Namun,
para pendeta mengetahui bahwa keduanya siluman, dan siluman harus ditumpas di
dunia manusia. Tidak peduli apakah siluman perempuan itu menyelamatkan derita
banyak manusia miskin, tetapi karena mereka ”yang lain”, maka tetap harus
dimusnahkan. Akhirnya mereka dipenjara di bawah bangunan pagoda yang besar
dan tinggi.
Cerita
dari berbagai bangsa dan zaman itu menegaskan bahwa melihat dan membaca
”kulit” kadang melenyapkan ”isi” kehendak dan perbuatan baik yang berguna
bagi semua orang. Kebenaran esensial yang berlaku untuk semua orang dibatasi
kebenaran parsial yang berlaku untuk kelompok tertentu dalam ruang dan waktu
tertentu pula.
Anda memang jujur, tegas, berani, dan
rasional, tetapi karena itu Anda tak pantas memimpin kami. Anda memang cerdas,
tahu persoalan, dan tulus mencintai penderitaan bangsa ini, tetapi karena
bla-bla-bla, Anda tidak kami butuhkan. Kami tahu dana Anda tak terbatas dan
rela menolong gratis usaha kecil kami, tetapi karena kereta dan kuda Anda
berwarna hitam, kami tolak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar