Menebar
Ketidakpastian Baru
A Tony Prasetiantono ; Kepala
Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
|
KOMPAS, 14 November
2016
Dalam
beberapa hari ini, dunia masih tercengang. Terpilihnya Donald Trump menjadi
presiden baru Amerika Serikat menimbulkan tanda tanya tentang masa depan
perekonomian AS dan perekonomian global. Dengan temperamennya yang
meledak-ledak, wajar apabila pasar menilai Trump akan menebarkan
ketidakpastian baru pada perekonomian global, yang sesungguhnya belum sembuh
dari mata rantai krisis yang dipicu masalah kredit kepemilikan rumah subprima
(subprime mortgage) di AS sejak
tahun 2008.
Ekonom
peraih Nobel, Paul Krugman, di situs The New York Times (9/11/2016) juga
langsung merespons negatif. ”Suatu hal yang buruk baru saja terjadi.
Perekonomian global akan rontok (fallout).
Trump bakal membawa resesi dunia,” tulis Krugman secara sengit. Pernyataan
Krugman terasa sangat emosional dan sentimental. Bagaimana sebenarnya prospek
perekonomian AS dan global pada era Trump, dan bagaimana dampaknya terhadap
Indonesia?
Kegusaran
Krugman sebenarnya cukup beralasan. Menilik kinerja ekonomi AS saat ini, bisa
dibilang sudah berada di jalur yang benar mengarah ke pemulihan. Enam tahun
yang lalu, Presiden Barack Obama mengumumkan di Gedung Putih, bahwa AS
menderita angka pengangguran sebesar 10 persen, atau yang terburuk dalam
sepanjang sejarah perekonomian modern AS.
Namun,
kini angka tersebut secara agresif dipangkas menjadi 4,9 persen. Ini hebat.
Keberhasilan ini merupakan hasil kerja keras dan efektivitas tiga kebijakan
yang ditempuh AS, yakni kombinasi antara kebijakan moneter (menurunkan suku
bunga hingga serendah 0,25 persen dan mencetak uang untuk memasok likuiditas
ke seluruh dunia) dengan memperlebar defisit fiskal yang menjadi stimulus
bagi belanja infrastruktur dan belanja modal lain.
Dampaknya,
perekonomian AS mulai menggeliat sejak Mei 2013, yang ditunjukkan dengan
penyerapan angkatan kerja baru dalam jumlah besar, yakni 200.000 orang hingga
300.000 orang per bulan.
Perekonomian
AS dianggap baik jika tingkat pengangguran mencapai 4 persen. Dalam istilah
Krugman, sebenarnya saat ini perekonomian AS mulai mengarah ke full employment, artinya sudah
mendekati level ideal dalam hal pengangguran. Sulit membayangkan AS bisa
menurunkan pengangguran di bawah 4 persen.
Penyebabnya,
di negara maju, seperti AS, pengangguran tidak mungkin dihilangkan sama
sekali karena pemerintah mempunyai skema jaminan sosial (social security) yang memungkinkan penduduk untuk ”memilih”
menjadi penganggur secara sukarela (voluntarily
unemployed).
Pertumbuhan
ekonomi AS juga dapat dijaga pada level yang cukup baik, meski masih di bawah
2 persen, yang biasanya dipakai sebagai acuan untuk mendeteksi apakah
perekonomian AS sudah baik atau belum. Ditambah dengan data penjualan mobil
yang sudah pulih ke-17 juta unit setahun, serta indeks harga saham Dow Jones
mencapai 18.500, sebenarnya amat wajar apabila kita membayangkan bahwa era
Barack Obama seyogianya dilanjutkan ke Hillary Clinton.
Dilema
suku bunga
Namun
faktanya, rakyat AS telah memilih untuk ”mencari hal atau suasana baru”
dengan cara memilih Trump. Pada saat kampanye, Trump juga telah
mendemonstrasikan bahwa dirinya ”tampil berbeda” dibandingkan Hillary.
Mungkin Trump berpikir, jika dirinya tidak memiliki diferensiasi terhadap
Hillary, kandidat dari partai yang tengah berkuasa yang bakal diuntungkan.
Inilah cara pemasaran yang paling esensial: harus ”berani tampil beda”.
Lalu,
apa perbedaan yang ditawarkan Trump? Dalam hal pengelolaan sektor moneter,
misalnya, bisa jadi dia tidak ingin berlarut-larut dalam menaikkan suku
bunga, seperti yang dilakukan The Fed saat ini. Kepala Bank Sentral AS Janet
Yellen, meski sudah berkali-kali menjanjikan kenaikan suku bunga, ternyata
selalu tertahan.
Dalam
dua tahun terakhir, seluruh dunia seperti dicekam ketidakpastian terkait
kebijakan suku bunga The Fed. Ekspektasinya suku bunga naik, tetapi selalu
batal. Pertimbangannya, Yellen pasti ingin memastikan lebih dulu, bahwa
perekonomian AS akan aman dari dampak negatif dari kenaikan suku bunga.
Kebijakan ini berpotensi untuk menaikkan kurs dollar AS (yang mengurangi daya
saing produk AS), serta memperlemah indeks harga saham (karena terjadi
migrasi dana dari Wall Street ke industri perbankan).
Sempat
terbetik berita bahwa Donald Trump kemungkinan tidak mencalonkan lagi Janet
Yellen sebagai Kepala The Fed pada 2018. Itu masuk akal karena Trump ingin
menampilkan hal baru. Namun kemudian muncul gosip bahwa Trump sangat suka
dengan Paul Volcker, mantan Kepala The Fed di era Presiden Jimmy Carter dan
Ronald Reagan.
Namun,
Volcker tentunya sudah sangat terlalu tua untuk kembali ke The Fed. Yang
lebih masuk akal adalah menaikkan Stanley Fischer yang kini menjadi Wakil
Kepala The Fed. Fischer ekonom kawakan dari Massachusetts Institute of
Technology (MIT) yang berkarier lama di Dana Moneter Internasional (IMF) dan
kemudian menjadi Gubernur Bank Sentral Israel.
Teka-teki
kebijakan tetap sama: apakah suku bunga akan dinaikkan secara lebih cepat,
ataukah dibiarkan berlama-lama tak menentu seperti sekarang? Kenaikan suku
bunga ini sesungguhnya memang cukup urgen dilakukan karena AS ingin segera
melakukan normalisasi keadaan. Suku bunga rendah yang berkepanjangan
menebarkan kekhawatiran terjadinya tindak spekulasi. Menurut saya, hal ini
sekarang sudah terjadi. Modal global mengalir deras dari AS ke negara-negara
emerging markets telah terjadi pada periode kebijakan mencetak uang (quantitative easing). Sejak 2013,
modal global itu pun kembali mengalir deras ke AS. Kalau tidak dikendalikan,
AS bisa kewalahan.
Dilema
inilah yang kini dihadapi AS. Di satu pihak, suku bunga perlu dinaikkan untuk
meredam spekulasi. Namun, jika dinaikkan, timbul masalah baru dengan terlalu
melubernya aliran modal masuk ke AS. Ini akan menyebabkan ”gelembung” (bubble) baru, yang rawan terkoreksi.
AS tentu tidak mau pengalaman tahun 2008-2009 terulang. Koreksi yang terlalu
dalam (deleveraging) akan terasa menyakitkan. Itulah sebabnya Janet Yellen
sangat berhati-hati. Akankah Trump berani menempuh jalan sebaliknya yang
riskan?
Rupiah
melemah
Pada
Jumat pagi, 11 November 2016, rupiah sempat melemah ke Rp 13.560 per dollar
AS, sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia
melemah ke 5.300. Respons ini merupakan representasi kegelisahan pelaku
ekonomi di Indonesia yang pesimistis terhadap relasi antara Indonesia dan AS.
Di sisi lain, kurs dollar AS menguat, bahkan indeks harga saham di New York
malah mencatat rekor baru 18.807. The
Wall Street Journal, Jumat (11/11/2016), menganalisis bahwa hal itu
terjadi sesudah Trump mengucapkan pidato kemenangan, yang disusul dengan
pertemuannya dengan Barack Obama. Tebersit asa baru.
Pelemahan
rupiah saya duga masih merupakan respons sesaat, yang belum menunjukkan
fundamental dan prospek jangka panjang. Kita belum tahu benar apa yang bakal
dilakukan Trump. Apakah komentar-komentar kerasnya pada saat kampanye bakal
benar-benar dilakukannya saat sudah efektif menjadi presiden? Belum tentu.
Ada dua kemungkinan.
Pertama,
Trump sengaja membuat posisi ”keras” hanya untuk ”berjualan” guna mengalahkan
Hillary. Selepas jualannya laku, bisa saja dia berubah arah. Kedua, saat
nanti Trump sudah menjadi presiden, dia mulai menyadari bahwa banyak hal yang
belum dan salah dia ketahui sebelumnya. Ada jurang perbedaan yang lebar
antara sebelum menjabat dan sesudah menjabat.
Hal
ini berlaku universal. Presiden Jokowi, misalnya, juga saya lihat mengalami
transisi itu. Pada saat mulai menjabat, Presiden Jokowi tampak begitu ingin
ngebut untuk segera menyelesaikan semua masalah dengan cepat, terutama untuk
mengatasi ketertinggalan infrastruktur dan memberi jaminan sosial bagi rakyat
(program BPJS). Hal ini tentu saja bagus dan mendapat apresiasi. Namun,
seiring dengan berjalannya waktu, tampaknya makin disadari, semua hasrat
besar itu tidak bisa begitu saja diwujudkan karena ada keterbatasan anggaran.
Target-target
ekonomi yang terlalu tinggi pada awal pemerintahan (misalnya pertumbuhan
penerimaan pajak 30 persen) kini mulai dikoreksi oleh menteri keuangan baru,
Sri Mulyani Indrawati, menjadi lebih realistis dan kredibel. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus dijaga keberlanjutannya. Defisit
APBN dijaga jangan sampai melampaui ambang batas. Kita tidak mau terperosok
seperti Brasil, yang defisit APBN-nya ngebut hingga 10 persen terhadap produk
domestik bruto.
Masih
ada peluang Trump akan menjalani hal yang seperti itu: lama-kelamaan menjadi
kian realistis. Karakteristiknya yang terasa ”sangar” dalam sejumlah isu
selama ini belum tentu berlanjut.
Dia
masih perlu waktu untuk benar-benar memahami kompleksitas menjadi pemimpin
nomor satu di dunia. Semoga Trump cepat belajar dan segera menemukan formula
yang pas untuk menentukan arah kebijakan ekonominya ke depan.
Apabila hal itu tidak bisa dilakukannya,
Trump hanya akan menjadi faktor tambahan yang menebar ketidakpastian baru
bagi perekonomian global. Inilah hal yang sungguh tidak kita harapkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar