Memahami
411
Yenny Zannuba Wahid ; Direktur
Wahid Foundation
|
TEMPO.CO, 11 November
2016
Banyak
analisis mengemuka atas fenomena 411, ketika ratusan ribu orang membanjiri
Jakarta pada 4 November 2016. Salah satunya, mereka yang ikut beraksi sejak
awal memang menolak kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok karena
sentimen etno-religi. Pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu memberikan peluang
untuk menyerangnya.
Analisis
lainnya, dugaan bahwa ada konspirasi politik di belakang aksi. Presiden
Jokowi bahkan menyebutkan ada tangan elite politik yang menunggangi kerusuhan
setelah magrib pada Jumat pekan lalu itu.
Saya
tak mengabaikan analisis penunggangan politis tersebut. Dugaan menguat karena
hadirnya sejumlah politikus yang selama ini kritis terhadap pemerintah. Namun
menyandarkan argumen hanya pada penunggangan politis berpotensi
menyederhanakan masalah.
Dari
hasil pengamatan, sebagian besar peserta aksi ternyata masyarakat biasa.
Banyak yang difasilitasi oleh kekuatan politik di belakang layar, tapi ada
yang datang dengan ongkos pribadi.
Latar
belakang pendidikan dan ekonomi mereka pun beragam. Banyak dari kalangan
menengah-bawah, tapi tak sedikit masyarakat mapan yang ikut. Mulai dari
doktor alumnus Harvard sampai aktivis muda NU dan Muhammadiyah yang selama
ini dicap liberal karena membela Ahmadiyah dan Syiah. Mereka bergabung dengan
organisasi yang selama ini mereka kritik, Front Pembela Islam. Yang menarik,
banyak di antara mereka berpendapat bahwa Ahok sesungguhnya tidak menista
agama, melainkan sekadar keseleo lidah.
Lantas,
apa yang membuat orang-orang yang sejatinya nasionalis, anti-khilafah, dan
benci terhadap kekerasan atas nama agama ini berdiri bersama dengan kelompok
seperti FPI dan HTI? Intelektual muda Muhammadiyah, A. Najib Burhani,
mengemukakan pandangannya ihwal perasaan terancam yang tengah melanda umat
Islam, seolah-olah Islam dalam bahaya (under threat). Apakah rasa takut itu
nyata atau dibayangkan (imagined), itu soal lain. Menurut Profesor David A.
Lake dan Donald Rothchild dari University of California, ketakutan semacam
inilah yang melahirkan naluri bertahan dan keinginan membela diri.
Di
Indonesia, kekhawatiran tersebut juga dilandasi berbagai relasi timpang dalam
soal mayoritas-minoritas di masyarakat. Mayoritas di sini bukan semata
besar-kecilnya jumlah, tapi juga dominasi satu atas lainnya.
Relasi
timpang dalam ekonomi seolah-olah ditunjukkan dalam profil 1 persen orang
terkaya Indonesia yang banyak dihiasi wajah Tionghoa, sehingga tercipta
stereotipe etnis Tionghoa telah mendominasi perekonomian Indonesia. Data
pembanding bahwa "pribumi" pun banyak yang kaya dan mayoritas warga
Tionghoa berada di posisi ekonomi biasa tenggelam dalam arus paranoia yang
dominan.
Kepemimpinan
Ahok juga seakan-akan merefleksikan berbagai isu ketimpangan dan kekhawatiran
itu. Semula dalam dirinya ditemukan sosok pemimpin yang didambakan publik:
bersih, berani, dan jujur, walaupun ceplas-ceplos.
Ahok
dianggap sebagai pahlawan rakyat karena tegas menghadapi birokrat yang korup.
Ahok berani melawan hegemoni partai, sehingga didukung relawan yang sebagian
besar muslim dengan gerakan sejuta KTP.
Belakangan,
sikap Ahok yang dianggap keras kepala ternyata menyisakan luka. Ahok dianggap
tak mau mendengarkan orang lain, juga miskin dialog dalam kebijakan relokasi
masyarakat. Penggunaan aparat keamanan—yang awalnya dinilai sebagai bentuk
ketegasan—berubah menjadi simbol kesewenang-wenangan.
Perasaan
terancam muncul kembali. Relasi rakyat dengan Ahok, yang semula dianggap
setara karena ia dipandang menyuarakan kepentingan rakyat, mendadak jadi
timpang. Apalagi ketika diembuskan kabar bahwa ia didukung kekuatan kapital
kelompok Tionghoa kaya. Fakta bahwa banyak pengusaha Tionghoa justru
terganggu oleh kebijakan Ahok tidak lagi mengemuka.
Kesan
itulah yang kemudian melahirkan "reaksi balik", dan akhirnya
menemukan momentum dalam kasus Al-Maidah 51 di Kepulauan Seribu. Ahok
dianggap sudah melanggar batas. Imajinasi awal masyarakat tentang Ahok yang
sanggup mengubah Jakarta menjadi lebih baik dengan karya dan kebijakannya
tertutup oleh kesan bahwa dia adalah pemimpin non-muslim yang arogan. Bagi
mereka yang tersinggung, Ahok harus dihukum!
Inilah
sebabnya kaum muslim moderat bisa turun bersama dengan kelompok seperti FPI.
Aksi 411 menjadi "kesempatan" mengekspresikan apa yang secara bawah
sadar menjadi kekhawatiran mereka akan masa depan serta kegundahan mereka
atas relasi yang dianggap tak lagi setara.
Dengan
demikian, jelas bahwa aksi pekan lalu tidak hanya berkaitan dengan dugaan
penistaan agama. Apalagi ketika ada indikasi kuat bahwa aksi tak steril dari
kepentingan politik.
Situasi pengerasan semacam ini tentu harus
diatasi dan dicari jalan keluarnya. Aktor politik tentu harus ditindak. Namun
perlu pula dipikirkan solusi komprehensif dan berdampak jangka panjang.
Antara lain dengan memperpendek jarak ketimpangan sosial-ekonomi dan
mengembangkan pendekatan dialogis humanis non-punitif, membantu menenteramkan
umat dengan membangun pemikiran kritis dan damai untuk menjawab kekhawatiran yang
berlebih bagi ulama, serta menegakkan hukum dengan adil. Di atas itu semua,
ada satu yang tidak bisa ditawar: NKRI harga mati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar