Demonstran
dan Kegagalan Party Linkage
Firman Noor ; Peneliti
LIPI; Research Fellow CSSIS,
University of Exeter
|
KORAN SINDO, 14 November
2016
Demonstrasi
adalah sesuatu yang terelakan terjadi baik di negara demokrasi atau otoriter.
Bedanya pada negara-negara otoriter demonstrasi merupakan sebuah ”petunjuk
negara” yang bersifat top down
sehingga bersifat mobilisasi (mobilized).
Adapun
pada negara-negara demokrasi, demonstrasi adalah bentuk ekspresi independen
dan otonom yang disalurkan dengan bebas, baik dalam rangka menolak/memprotes
atau mendukung sebuah kebijakan atau fenomena politik. Demonstrasi dilakukan
dan diperlukan untuk memperkuat tekanan publik dan menunjukkan kepada pembuat
kebijakan bahwa kebijakan yang dihasilkan memang sejalan (atau tidak) dengan
aspirasi rakyat banyak.
Dalam
praktiknya demonstrasi dapat berjalan seiring dengan proses pembuatan
kebijakan yang sedang berlangsung. Kendati demikian, ada pula bentuk
demonstrasi yang secara substansi merupakan langkah alternatif atas proses
politik yang dirasa mandek. Kasus-kasus yang melibatkan banyak orang atau
berskala masif biasanya terjadi karena ada kemandekan itu.
Kasus
demonstrasi besar-besaran pada 1998 atau 2016 mengindikasikan mandeknya
aspirasi rakyat. Jika dicari akarnya, fenomena ini tidak dapat dilepaskan
dengan kegagalan partai untuk berperan sebagai jembatan antara aspirasi
publik dan kebijakan pemerintah. Peran perantara atau penghubung itu dalam
konteks teori kerap disebut sebagai party linkage.
Terputusnya
Koneksi Aspirasi
Adalah
Kay Lawson, ilmuwan politik wanita, yang pertama kali mengembangkan teori
mengenai party linkage ini pada
1980. Sejak itu banyak kajian yang menelaah mengenai peran asasi partai
sebagai penghubung kepentingan masyarakat dan pemerintah. Baginya peran
itulah fungsi utama dari partai politik dan apakah hal itu berjalan atau
tidak dapat menjadi indikasi seberapa besar partai telah berfungsi dengan
baik (Lawson 1980).
Meski
banyak mendapat kritik (Nagy 1981,
Merkl 2005), asumsi dasar Lawson akan fungsi utama partai sebagai
perantara— baik dalam konteks pelibatan rakyat pada ruang politik, pemastian
tersalurkannya aspirasi, ataupun membangun kesepemahaman sederajat antara
rakyat dan pemerintah—sulit untuk dibantah. Kajian Dalton, Farrel, dan
McAllister (2013) sedikit banyak membenarkan pandangan Lawson. Mereka bahkan
menyiratkan tidak berfungsinya party linkage sedikitbanyak mengindikasikan
gagalnya demokrasi.
Dalam
konteks Indonesia, fenomena demonstrasi pada 4 November 2016 menunjukkan
bahwa para demonstran tidak melibatkan partai. Uniknya partai pun tidak
mengimbau kadernya untuk turut bergabung dan bahkan menginstruksikan dengan
tegas untuk tidak membawa atribut partai jika berkeinginan berpartisipasi
dalam demonstrasi. Sikap partai ini didasari keyakinan bahwa mereka telah
memperjuangkan aspirasi demonstran, setidaknya itu klaim partai.
Selain
itu, partai juga tidak ingin terlihat memanfaatkan situasi untuk menyerang
sosok yang kebetulan juga kandidat pada Pilkada DKI. Terlepas dari
rasionalitas kepentingan partai untuk pasif itu, keterjarakkan (dan bukan
keterhubungan) antara mereka dan publik itu jelas terlihat. Di sisi lain,
sikap demonstran untuk memilih otonom dengan menempuh jalur ekstraparlementer
menunjukkan tingkat kepercayaan terhadap kemampuan partai berbuat sesuatu
semakin longgar.
Kompromi
yang terlalu kuat dan kerap demikian amat pragmatis di antara partai-partai
maupun antara partai dan pemerintah menyurutkan keyakinan bahwa partai akan
bekerja sesuai dengan kepentingan publik dan bukan kepentingan kartelnya.
Selain itu, ada pesimisme dengan keberadaan partai-partai oposisi yang memang
hingga kini belum cukup berperan secara meyakinkan, termasuk membuat
gebrakan-gebrakan efektif yang sejalan dengan aspirasi mereka, tidak
terkecuali soal dugaan penistaan agama.
Kerja-kerja
dalam lembaga-lembaga politik yang tampak secara samarsamar jelas tidaklah
cukup atraktif di mata para demonstran. Sedikitnya pemberitaan tentang itu
makin memperburuk situasi. Lebih dari itu, resistensi atau blockade oleh
pemerintah dan para pendukungnya atas aspirasi yang berbeda menguatkan rasa
kecewa terhadap mekanisme formal yang ada. Rasa frustrasi ini sayangnya tidak
dapat diobati oleh sikap dan manuver partai-partai. Kebanyakan partai justru
merapat pada kekuasaan dan terjebak pada pusaran politik eksklusif, yang
menyebabkan fungsi party linkage menjadi semakin terbengkalai.
Dalam
kondisi ini tidak mengherankan jika keraguan atas instrumen politik formal
ataupun pada institusi pemerintah terakumulasi dan terus meningkat yang
akhirnya meledak dalam bentuk demonstrasi besarbesaran.
Menghapus
Lingkaran Setan
Pelajaran
berharga dari peristiwa jutaan demonstran adalah partai harus kembali
memikirkan dan menyadari posisinya sebagai media penyalur aspirasi rakyat.
Meski demonstrasi itu sah saja dan memang sewaktu- waktu diperlukan,
intensitas yang sering dengan skala yang masif tentu juga akhirnya tidak akan
menguntungkan, terutama dalam membangun kepercayaan pada lembaga-lembaga
demokrasi.
Saat
ini situasi yang ada di Tanah Air sesungguhnya sudah mengarah pada situasi
perlunya dibangun upaya-upaya konkret memutus mata rantai lingkaran setan
antara ketidakpercayaan publik pada partai dan kehadiran kebijakan yang tidak
aspiratif. Hal utama yang diperlukan jelas membangun kepercayaan. Untuk itu,
sebenarnya partai harus meningkatkan intensitas komunikasi politik dan kedekatan
kepada masyarakat, baik kepada lembaga-lembaga masyarakat di akar rumput atau
per individu secara langsung.
Bersikap
transparan, dan bukan elitis, dengan menunjukkan kepada rakyat agendaagenda
yang telah dan akan dilakukan perlu untuk dikembangkan sebagai bagian dari
pendidikan politik. Di sisi lain, para elemen pendukung pemerintah harus
mulai membuka kewajaran-kewajaran berpolitik. Tidak perlu bersikap paranoid
terhadap setiap aktivitas politik yang bersifat kritis. Yakinlah demokrasi
yang sehat jelas memerlukan oposisi yang kuat, sebagaimana bukti empiris
memperlihatkan bahwa hanya pada negara-negara dengan oposisi kuat dan
terlembagalah demokrasi banyak memberikan manfaat.
Sikap selalu merasa benar dan menafikan
perbedaan atau alternatif sudut pandang hanya akan meningkatkan akumulasi
kesumat dan turut meredupkan kepercayaan rakyat pada aktor-aktor politik,
terutama partai politik. Manakala ini terus terjadi, alih-alih menyehatkan
demokrasi, lingkaran setan yang dikhawatirkan itu jelas berpotensi besar
untuk terus berlangsung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar