Hillary
dan Paradoks Politik Perempuan
Arya Budi ; Mahasiswa
Pascasarjana Australian National University
|
KOMPAS, 15 November
2016
Hasil
pemilu presiden AS pada 8 November 2016 menunjukkan paradoks dalam kacamata
publik internasional, khususnya publik Indonesia. Tentu ada banyak analisis
yang bisa menjelaskan kemenangan Donald Trump dan kekalahan Hillary Clinton:
naiknya pemilih konservatif dan ultranasionalis yang terakomodasi oleh
pencalonan Trump, skandal e-mail, dan retorika Hillary sebagai politician as
usual, naiknya preferensi pendatang baru alias political outsider bagi Trump
atas politisi pro status quo oleh Hillary, atau preferensi programatik kedua
kandidat yang kontras. Namun, perspektif ”kekalahan Hillary” menyisakan lebih
banyak paradoks dibandingkan perspektif ”kemenangan Trump”.
Kekalahan
Hillary menampilkan pasel dalam tatanan demokrasi liberal di AS dan demokrasi
elektoral di dunia dalam hal politik perempuan. Pertama, dalam tatanan
demokrasi liberal AS setelah terpilihnya dan bertahannya Barack Obama sebagai
presiden kulit hitam pertama. Awalnya kemunculan Hillary sebagai kandidat
presiden perempuan pertama menunjukkan arah gerak output demokrasi AS. Namun,
pemilih AS dengan populasi pemilih perempuan yang lebih besar (53 persen)
dibandingkan pemilih laki-laki (47 persen) ternyata lebih memilih kandidat
dengan retorika seksis, bias jender, dan kasus-kasus pelecehan terhadap
perempuan di masa lalu.
Kedua,
kekalahan Hillary justru menunjukkan lebih banyak paradoks dalam tatanan
demokrasi elektoral di dunia, baik negara maju, berkembang, maupun
terbelakang. Di negara maju, politik perempuan lahir di Jerman ketika Angela
Merkel terpilih sebagai pemimpin Partai CDU dan kemudian menjadi kanselir
(perdana menteri/PM) Jerman sejak 2005 hingga kini dan akan melampaui durasi
kepemimpinan PM perempuan di Inggris, Margaret Thatcher (1979-1990).
Inggris
kini bahkan kembali dipegang PM perempuan, Theresa May, setelah mengalahkan
satu-satunya kandidat lain yang juga perempuan, Andrea Leadsom, dalam
memperebutkan kepemimpinan Partai Konservatif Inggris pada Juli 2016.
Hasil
pemilu AS 2016 bahkan tertinggal dari negara demokrasi elektoral baru. Tak
sedikit jika kita mendaftar munculnya perempuan sebagai orang nomor satu di
negara-negara Asia. Mereka adalah Sheikh Hasina Wajed dan Begum Khaleda Zia
yang saling berebut kursi PM di Banglades, Presiden Chandrika Kumaratunga di
Sri Lanka, ibu dan anak Indira Gandhi dan Sonia Gandhi di India, atau
pemimpin karismatik yang menjadi martir Benazir Bhutto di Pakistan.
Di
Asia Timur ada Makiko Tanaka di Jepang, Park Geun-hye di Korea Selatan, dan
Mei 2016 Tsai Ing-wen menjadi presiden perempuan pertama di Taiwan. Di Asia
Tenggara, selain Filipina oleh Corazon C Aquino dan Gloria Macapagal-Arroyo
serta Indonesia oleh Megawati Soekarnoputri, kini Wan Azizah bersama
suaminya, Anwar Ibrahim, terus memimpin gerakan oposisi di Malaysia. Aung San
Suu Kyi berhasil menyudahi rezim junta militer Myanmar melalui pemilu
November 2015.
Pelajaran
penting
Ada
dua pelajaran penting dari bangkitnya politik perempuan di Asia. Pertama,
politik perempuan bangkit justru karena keperempuanan. Mereka diuntungkan
justru oleh stereotip jender yang ada di masyarakat, khususnya Asia. Thompson
(2003), misalnya, berargumen, anggapan bahwa perempuan cenderung lemah dan
tak punya ambisi untuk menghabisi lawan justru mendorong aktor-aktor penting
politik nasional berkoalisi dan mendukung kepemimpinan perempuan di Asia.
Kedua,
para pemimpin perempuan ini lahir dari sebuah adagium vox populi vox Dei yang
mewujud dalam one man one vote dalam penyelenggaraan pemilu di setiap negara.
Hak memilih universal (universal
suffrage) pun kini merata dilaksanakan di seluruh negara yang
menyelenggarakan pemilu setelah Arab Saudi akhirnya menjadi negara terakhir
yang memberikan hak elektoral— memilih dan dipilih—pada pemilu legislatif
2015. Sayangnya, efek atas gender stereotyping dan hak memilih universal
tidak bekerja pada Hillary. Pun demikian dengan nalar demokrasi liberal yang
efektif bekerja pada Thatcher, Merkel, dan May tetapi tidak pada Hillary.
Secara
teoretik, deretan pemimpin perempuan di negara- negara demokrasi baru di Asia
lebih membuktikan bahwa pemilu salah satu sistem paling efektif untuk
meletakkan siapa pun, khususnya dalam isu jender, pada kesempatan yang sama.
Pemilu tak hanya menegasikan penanda rasial, tetapi juga penanda biologis,
seperti laki-laki dan perempuan. Namun, secara praktik, harus diakui bahwa
mayoritas para pemimpin perempuan lahir dari rahim dinasti politik. Mereka
mewarisi sumber-sumber simbolik kepemimpinan anggota keluarganya, baik secara
vertikal, termasuk ayah atau kakek, maupun horizontal, sepertisuami.
Secara
vertikal, kita bisa menyebut Suu Kyi, Megawati, duo Gandhi, atau Tanaka.
Sumber dinasti politik horizontal seperti Wan Azizah atau Khaleda Zia.
Hillary pun sama. Dia mewarisi sumber-sumber simbolik suaminya, Bill Clinton,
yang memimpin AS 1993-2001.Thompson (2003) berargumen, para pemimpin
perempuan ini merepresentasikan simbol the mother atau the daughter of the
nation. Sebagai anak perempuan seorang founding father seperti Megawati, Suu
Kyi, atau Sonia dan Indira, para perempuan ini mewarisi sumber simbolik
sebagai the daughter of the nation. Sebagai seorang istri seperti Wan Azizah,
Khaleda Zia, dan Hillary, mereka merepresentasikan the mother of the nation.
Terlepas dari fitur-fitur dinastik,
kekalahan Hillary tak sekadar menunjukkan bahwa demokrasi AS terlambat—jika
bukan gagal— menghasilkan kebangkitan politik perempuan. Kekalahannya
merupakan sebuah paradoks besar untuk sebuah negara yang menjunjung
egalitarianisme dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Ketika
kepemimpinan perempuan justru lahir di negara-negara Asia yang cenderung
memiliki tradisi patriarki kuat. Ketika pemilih perempuan di negaranya justru
memilih kandidat yang melecehkan dan merendahkan perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar