Trump
dan Negara Berkembang
Muhamad Chatib Basri ; Guru
Besar Tamu di Australian National University, Canberra, Australia
|
KOMPAS, 15 November
2016
“If
the world were clear, art would not exist",
begitu tulis filsuf dan sastrawan Albert Camus dalam The Myth of Sisyphus. Camus tentu tak menulis itu untuk
menggambarkan ketidakpastian dunia saat ini. Ia bicara tentang hidup yang tak
pasti.
Camus
benar: tak ada jawaban tunggal untuk dunia yang gamang saat ini. Apalagi
ketika ekonomi dunia-mungkin-memasuki keseimbangan baru. Saya sebut
"mungkin" karena saya tak pandai benar untuk menyimpulkan.
Kita
mencatat begitu banyak ketidakpastian: kemandekan ekonomi (secular stagnation) di negara maju,
Brexit di Britania Raya, dampak kemenangan Trump, dan pelemahan ekonomi
Tiongkok. Yang lebih memprihatinkan lagi, pertumbuhan perdagangan dunia
diperkirakan hanya 1,7 persen tahun ini. Lebih rendah daripada pertumbuhan
ekonomi global yang diperkirakan 3,1 persen tahun ini. Ini merupakan yang
terendah sejak krisis keuangan global tahun 2009.
Rentetan
kejadian ini mengajak kita berpikir ulang tentang ekonomi dunia saat ini.
Bagaimana dampaknya bagi Indonesia? Beberapa minggu lalu, selepas memberikan
kuliah tamu di Harvard University, saya berdiskusi panjang dengan Dani
Rodrik, Guru Besar Harvard University. Rodrik adalah salah satu ekonom yang
dianggap paling berpengaruh di dunia saat ini. Diskusi kami terfokus kepada
situasi ekonomi di emerging markets (EM), termasuk Indonesia. Rodrik memang
memuji Indonesia yang masih tumbuh 5 persen. Ia berharap Indonesia tetap
menjadi a beacon for the region.
Keseimbangan
baru
Mungkin
ini mengejutkan karena di sini kita mengeluh soal pertumbuhan yang rendah.
Namun, ia melanjutkan, ada risiko ekonomi dunia akan memasuki keseimbangan
baru. Implikasinya, ekonomi di EM mungkin hanya tumbuh paling tinggi 4-5
persen. Mungkin Rodrik terlalu suram. Bukankah India dan Vietnam masih bisa
tumbuh 7 persen? Tentu, kita tak harus sepenuhnya setuju dengan pesimisme
ini, tetapi ia tak sepenuhnya salah. Saya kira ada beberapa hal yang memang
harus kita perhatikan dan antisipasi jika benar dunia memasuki keseimbangan
baru.
Pertama,
sejarah mengajarkan: sebagian besar EM yang mampu naik kelas menjadi negara
maju-terutama di Asia- menyandarkan dirinya pada strategi perdagangan dan
industrialisasi, khususnya ekspor manufaktur. Sebut saja Jepang, Korea,
Singapura, Taiwan, dan Tiongkok. Sedikit sekali negara penghasil sumber daya
alam naik kelas-Australia dan Cile adalah kekecualian. Alasannya,
industrialisasi memungkinkan satu negara menyerap teknologi secara cepat
dengan cara meniru atau menerapkan teknologi sederhana.
Tengok
saja apa yang terjadi pada revolusi industri di Inggris atau industrialisasi
di Asia Timur: pekerja subsisten di pedesaan meningkat produktivitasnya
karena transformasi ke sektor industri yang didukung teknologi dan
keterampilan sederhana, seperti industri pakaian. Implikasinya, produktivitas
melompat akibat adaptasi teknologi sederhana melalui industri manufaktur.
Kedua,
di tengah situasi ini, Donald Trump terpilih sebagai presiden AS. Trump, jika
benar ia akan membatasi perdagangan dengan Tiongkok dan beberapa negara lain,
akan membuat perdagangan global semakin menyusut. Data menunjukkan, AS adalah
negara pengimpor terbesar di dunia, diikuti Uni Eropa dan Tiongkok. Jika AS
mengurangi permintaannya terhadap produk impor dunia, sementara Uni Eropa dan
Tiongkok mengalami perlambatan ekonomi, permintaan terhadap ekspor dari EM
akan menurun drastis. Artinya, sulit bagi EM, termasuk Indonesia, menerapkan
strategi yang dulu membawa negara-negara Asia Timur naik kelas. Jika dunia
kehilangan lokomotif perdagangannya, sumber pertumbuhan harus mengacu kepada
sumber ekonomi domestik.
Tentu
perlu dicatat: terlalu pagi untuk menyimpulkan bahwa Trump nantinya akan
benar-benar menerapkan kebijakan proteksionis ini. Saya selalu percaya,
setiap presiden setelah beberapa waktu berkuasa akan menjadi presiden yang
"normal" karena realitas ekonomi akan memaksanya menjadi rasional
secara ekonomi. Kita mulai mendengar kabar bahwa Trump akan mempertahankan
Obamacare yang dulu dikecamnya.
Ketiga,
Trump berencana mendorong pertumbuhan ekonomi AS melalui ekspansi fiskal
dengan cara memotong pajak dan mendorong belanja. Bisa diduga: defisit
anggaran akan membengkak. Akibatnya, pemerintahan Trump harus berutang dengan
mengeluarkan obligasi, yang akan menaikkan tingkat bunga di masa depan. Saya
percaya, dalam jangka pendek, The Fed belum akan menaikkan bunga, setidaknya
secara drastis. Namun, jangka menengah, kenaikan bunga tak terhindarkan
apabila ekspansi fiskal dilakukan.
Di
sini kita harus berhati-hati, terutama jika dalam kondisi bunga rendah saat
ini banyak perusahaan Indonesia yang mencari pinjaman luar negeri. Dalam
diskusi dengan ekonom Carmen Reinhart di Harvard, ia mengingatkan saya akan
risiko dari pinjaman yang berlebihan (overborrowing)
pada saat bunga rendah. Karena ketika tingkat bunga di AS meningkat dan
rupiah melemah, karena arus modal pulang kembali ke AS, utang-terutama utang
swasta- yang terlalu besar akan membahayakan perekonomian kita.
Keempat,
akibatnya, tak banyak ruang bagi EM, termasuk Indonesia, bergantung pada
ekonomi global. Tak hanya itu, ada kecenderungan sumber pertumbuhan bergeser
dari manufaktur ke jasa. Di sini kita perlu mencatat: berbeda dengan
manufaktur, sektor jasa butuh keterampilan dan institusi yang jauh lebih
tinggi. Rodrik, misalnya, menyebut, sangat mudah bagi negara EM berkompetisi
dengan negara Eropa dalam produk-produk manufaktur, tetapi membutuhkan waktu
yang panjang sekali bagi negara EM untuk mampu berkompetisi dalam produk jasa
karena keterampilan dan institusi di Eropa sudah jauh berkembang.
Oleh
karena itu, sektor jasa bukan substitusi yang sempurna terhadap ekspor
manufaktur. Sektor jasa-di luar pariwisata, atau jasa sederhana-umumnya perlu
keterampilan yang tinggi dan institusi yang kuat. Dan inilah kelemahan utama
negara EM: modal manusia dan institusi. Bahkan, India yang saat ini tumbuh begitu
kuat punya persoalan kualitas sumber daya manusia. Argumen ini tak sepenuhnya
konklusif karena Eichengreen dan Gupta (2011) menunjukkan, dalam kasus India,
produktivitas sektor jasa mungkin akan membawa dampak yang cukup signifikan
di masa depan.
Perbaikan
produktivitas
Lepas
dari perdebatan ini, saya kira kita sepakat, solusi utama untuk mengatasi
situasi ini adalah perbaikan produktivitas. Mengapa produktivitas penting?
Coba tengok angka-angka berikut: pertumbuhan ekonomi 5 persen saat ini dengan
rasio investasi/PDB sebesar 32-33 persen. Artinya, untuk 1 persen pertumbuhan
ekonomi, dibutuhkan tambahan rasio investasi atau modal terhadap PDB 6,4-6,6
(diperoleh dari 32 persen atau 33 persen dibagi 5 persen).
Inilah
yang disebut incremental capital output ratio (ICOR). Jika kita menginginkan
pertumbuhan ekonomi 6 persen, dibutuhkan rasio investasi/PDB sebesar 38,4
persen-39,6 persen (dihitung dari 6 persen x 6,4 atau 6 persen x 6,6).
Investasi ini tentu harus dibiayai tabungan domestik. Sayangnya, menurut
angka Bank Dunia, rasio tabungan domestik/PDB kita saat ini hanya 30-31
persen. Ini jelas jauh di bawah kebutuhan investasi yang 38-40 persen.
Apabila kita memaksakan, defisit transaksi berjalan akan melompat.
Untuk
mengatasinya, ada tiga pilihan. Pertama, menarik arus modal asing untuk
menambah tabungan dometik sehingga kekurangan tabungan domestik dapat
ditutupi. Kedua, meningkatkan produkitivitas atau efisiensi agar untuk
menghasilkan output yang sama hanya dibutuhkan investasi atau modal yang lebih
kecil (menurunkan ICOR). Jika ICOR dapat diturunkan, misalnya menjadi 5,
untuk pertumbuhan ekonomi 6 persen, hanya dibutuhkan rasio investasi/PDB
sebesar 30 persen. Angka ini cocok dengan besarnya rasio tabungan
domestik/PDB yang kita miliki saat ini. Dengan demikian, kita mampu membiayai
investasi, tanpa membahayakan perekonomian. Ketiga, kombinasi dari kedua opsi
di atas.
Perhitungan
yang saya sampaikan ini tentu terlalu menyederhanakan persoalan. Kita perlu
perhitungan yang lebih rinci dan akurat. Namun, perhitungan ini setidaknya
dapat membantu kita memahami langkah yang harus diambil.
Perbaikan
efisiensi dan produktivitas dapat dilakukan melalui deregulasi ekonomi,
perbaikan kualitas SDM, serta perbaikan institusi dan infrastruktur. Ini
membutuhkan reformasi yang lugas dari sisi penawaran. Kebijakan pemerintah
saat ini saya kira sudah pada arah yang tepat. Masalahnya,
kebijakan-kebijakan yang baik ini membutuhkan waktu yang panjang. Itu
sebabnya-seperti yang pernah saya tulis di harian ini-ia harus dikombinasikan
dengan kebijakan jangka pendek dari sisi permintaan, dengan cara mendorong
daya beli dan permintaan domestik, misalnya program padat karya.
Solusi ini mungkin tak sepenuhnya
menghilangkan ketidakpastian. Ia mungkin sedikit menenteramkan. Hidup memang
tak sepenuhnya bisa ditebak. If the
world were clear, art would not exist, itu kata Camus. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar