Tersangka:
Dahlan Iskan
AS Laksana ;
Sastrawan; Pengarang; Kritikus
Sastra yang dikenal aktif menulis
di berbagai media cetak nasional
di Indonesia
|
JAWA POS, 31 Oktober
2016
KEJAKSAAN Tinggi Jawa Timur menetapkan Dahlan
Iskan sebagai tersangka kasus korupsi dan di media sosial yang riuh
orang-orang membuat tanda pagar #SaveDahlanIskan. Saya membaca berita
penahanannya, yang prosesnya berlangsung cepat, dan membaca pernyataan dari
pihak kejaksaan kenapa dia lekas ditahan: Agar nanti tidak menghilangkan
barang bukti dan tidak memengaruhi saksi-saksi.
Alasan penahanan itu terdengar menyedihkan.
Mereka memperlakukannya seperti seorang kriminal yang sangat membahayakan dan
harus diringkus secepat-cepatnya. Tetapi, pihak kejaksaan tentu boleh membuat
alasan apa saja untuk segera melakukan penahanan terhadap orang yang sudah
ditetapkan sebagai tersangka. Yang tidak boleh adalah membiarkan para
tersangka atau terdakwa kasus korupsi lari.
Sialnya, kasus buron semacam itu sudah sering
terjadi. Kita kerap membaca berita tentang para pelaku korupsi, terutama
kasus BLBI, yang tiba-tiba sudah berada di luar negeri. Sebagian bisa
ditangkap lagi, sebagian tidak terlacak, dan ada yang sudah berganti
kewarganegaraan. Pada 2011, Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah
mengeluarkan daftar 45 orang yang lari ke luar negeri.
Setiap kali membaca berita para tersangka atau
terdakwa lari ke luar negeri, saya selalu menaruh prasangka buruk bahwa
sepertinya mereka sengaja dibiarkan lari. Atau ada persekongkolan yang
memberikan jalan bagi mereka untuk menghindari proses hukum. Mudah-mudahan
itu prasangka yang tidak benar.
Tentang Dahlan Iskan, mungkin pihak kejaksaan
berpikir bahwa jika tidak segera ditahan, si tersangka besok pagi akan lari
ke Singapura, negeri favorit para koruptor, dan berpindah kewarganegaraan.
Atau lebih jauh lagi, ke Benua Afrika dan menjadi warga negara Gabon,
misalnya. Karena itulah, terhadap Dahlan Iskan, mereka bersikap tegas dan
trengginas.
Saya merasa agak mengenal Dahlan Iskan bertahun-tahun
lalu, saat saya mengirimkan pesan singkat kepada Arief Santosa, redaktur
budaya koran ini. Bunyinya, ”Apa salah saya terhadap Jawa Pos sehingga tidak
pernah mau memuat cerpen saya?”
Tak lama setelah itu, ada panggilan masuk ke
ponsel saya, dari Arief. Dia mengaku tidak pernah menerima kiriman cerita
pendek saya. ”Mungkin tidak terkirim, Bung,” katanya. ”Coba dikirim ulang.”
Saya tertawa. ”Memang belum saya kirim,” kata
saya. ”Itu tadi peringatan awal. Maksud saya, cerpen akan segera saya kirim
dan jangan sampai Sampean menerima SMS seperti itu tadi.”
Sebenarnya waktu itu saya hanya iseng
mengganggunya, tetapi akhirnya saya membuka folder draft di komputer saya
yang berisi cerita-cerita yang belum selesai, memilih satu yang paling siap
diedit, kemudian mengirimkannya. Sehari setelah pemuatan cerpen tersebut,
Arief menelepon dan mengabarkan bahwa Dahlan Iskan menyukai cerpen saya.
”Dia masih sempat membaca cerpen?” tanya saya.
”Hebat dia,” kata saya.
Saya sedih ketika ada kabar dia sakit keras
dan dirawat di Tiongkok serta harus menjalani pencangkokan hati dengan
kemungkinan gagal dan berhasil separo-separo. Saya gampang murung ketika
mendengar orang-orang yang telah mengisi hidup mereka dengan melakukan
tindakan-tindakan besar sakit atau meninggal. Petinju Muhammad Ali meninggal,
saya menangis. Sutradara Iran Abbas Kiarostami meninggal, saya menangis.
Michael Jackson meninggal, saya sedih meskipun bukan pengagum penyanyi
Amerika itu.
Saya bersyukur ketika transplantasi hati
berhasil serta Dahlan Iskan kembali bugar dan mampu mengerjakan lagi segala
urusannya seperti semula.
Kemudian, saya membaca berita, pada 2009, dia
diangkat sebagai direktur utama PLN dan bertekad mewujudkan listrik tanpa
byar-pet. Pada tahun berikutnya, saat Piala Dunia 2010 digelar di Afrika
Selatan, dia mengirimkan e-mail ringkas untuk saya, yang dia tulis dari
ponselnya. ”Saya tidak pernah absen membaca tulisan Anda di Jawa Pos.
Termasuk yang pagi ini. Sinkron sekali dengan cerpen Putu Wijaya yang juga
hari ini. Bahkan, saya beri tahu teman-teman bahwa dari seluruh tulisan sepak
bola kultural selama Piala Dunia kemarin, tulisan Anda adalah yang the best. Saya kagum dengan kekayaan
pikiran dan kelincahan tulisan Anda. Salam. Dahlan Iskan.”
Pak Dirut PLN masih menyempatkan diri membaca
apa saja rupanya. Saya sudah tidak kaget. Saya membalasnya lebih ringkas.
”Terima kasih, Pak Dahlan, saya juga menyukai tulisan-tulisan Anda. Salam.”
Sebetulnya itu saja komunikasi saya dengannya.
Saya tidak kenal secara pribadi dengan Dahlan Iskan dan belum pernah berjumpa
satu kali pun dengannya. Yang saya ketahui tentang Pak Dahlan pun tidak lebih
banyak dibandingkan yang diketahui oleh orang-orang lain yang hanya kenal
namanya. Saya hanya tahu bahwa dia orang yang memberikan nyawa baru untuk
Jawa Pos, sebuah koran kecil yang semula hampir mati, dan menumbuhkannya
menjadi media besar sampai beranak cucu seratus lebih media satelit di
berbagai tempat. Saya bayangkan dia pasti orang kuat, memiliki pendekatan dan
cara berpikir yang berbeda bila dibandingkan dengan kebanyakan orang, dan
saya yakin dia pekerja keras yang sanggup bertindak kejam kepada diri
sendiri.
Saya dengar beberapa tahun lalu bahwa dia
tidak mau menerima gaji saat ditunjuk menjadi direktur utama sebuah
perusahaan daerah di Jawa Timur dan tidak meminta fasilitas apa pun. Dan itu
sebuah perusahaan daerah yang kondisinya menyedihkan, mungkin seperti Jawa
Pos sebelum dia pegang. Dia di sana sepuluh tahun dan mengajak orang-orang di
perusahaan itu bekerja keras (saya bayangkan orang-orang di BUMD tersebut
pasti kepontal-pontal dan gelagapan mengikuti ritme kerja dia). Dan selama
sepuluh tahun itu dia menerima nol rupiah dari perusahaan yang dipimpinnya.
Saya memercayai kabar yang saya dengar itu. Dia sanggup menggaji dan
memfasilitasi dirinya sendiri, bahkan lebih dari cukup.
Sekarang saya tahu nama perusahaan daerah yang
pernah dia pimpin itu, PT Panca Wira Usaha. Dengan caranya sendiri, dengan
gaya kerjanya, dengan cara berpikir yang sama yang telah digunakannya untuk
membesarkan Jawa Pos, dia memimpin perusahaan daerah yang kondisinya waktu
itu seperti dinosaurus pingsan. Ketika dia meninggalkannya, kondisi
perusahaan tersebut berlipat-lipat lebih baik bila dibandingkan dengan saat
dia masuk. Dan bertahun-tahun kemudian dia ditetapkan sebagai tersangka oleh
Kejaksaan Tinggi Jawa Timur karena kasus penjualan aset PT Panca Wira Usaha
yang dianggap merugikan negara.
Saya tidak memahami kasusnya dan tidak
mengikuti secara khusus perjalanan karir Dahlan Iskan di semua perusahaan
yang dia dipercaya menjadi pemimpinnya. Dengan statusnya sebagai tersangka
tahun ini, berarti sudah dua kali dia harus berurusan dengan hukum setelah
selesai menjabat.
Tahun 2015, dia ditetapkan sebagai tersangka
kasus dugaan korupsi pembangunan 21 gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara
Barat saat menjabat sebagai direktur utama PLN. Dia hanya dua tahun menjadi
Dirut PLN dan dalam waktu sependek itu, demi mewujudkan mimpinya Indonesia
tanpa byar-pet, Dahlan mengupayakan pembangunan banyak gardu listrik.
Seharusnya
dia leyeh-leyeh saja dan tidak usah melakukan apa pun di setiap perusahaan
yang dia pimpin. Dia akan selamat jika tidak melakukan apa-apa. Sayang, dia
orang yang suka bekerja serta tidak sabar dengan kelambanan, dan itulah
kesalahan utamanya. Anda tahu, kultur birokrasi kita tidak cocok bagi pekerja
keras dan seorang pembuat keputusan cepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar