Ahok,
Penistaan Agama dan Supremasi Hukum
Denny Indrayana ; Guru
Besar Hukum Tata Negara UGM;
Visiting Professor pada Melbourne
Law School and
Faculty of Arts, University of
Melbourne
|
DETIKNEWS, 10 November
2016
Terlalu
banyak isu penting dan menarik dalam minggu ini yang bisa dituliskan ke dalam
Catatan Kamisan. Setelah mencatat soal toleransi beragama di Australia pada
Kamis lalu, semingguan ini saya dipenuhi dengan berbagai kegiatan menarik.
Kamis
dan Jumat lalu, University of Melbourne, menyelenggarakan Konferensi 20 tahun
reformasi di Indonesia. Salah satu yang unik, adalah temanya sendiri.
Hitungan reformasi dimulai sejak 1996, dan bukan 1998—dengan argumen bahwa
reformasi dimulai lebih awal, dan bukan sejak turunnya Presiden Soeharto.
Suatu pendapat yang sebenarnya tidak populer di Indonesia sendiri. Dalam
konferensi itu saya menjadi salah satu pembicara, dan memaparkan pengalaman
selama membantu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, khususnya dalam agenda pemberantasan
korupsi.
Rabu
kemarin, saya diundang menjadi salah satu narasumber dalam agenda yang
diselenggarakan the Good Pitch di Opera House, Sydney, Australia. Dalam
sehari itu, sejak pagi hingga sore, berhasil digalang dana masyarakat sebesar
AUD 6,6 juta untuk membantu produksi enam film dokumenter, salah satunya
terkait Myuran Sukumaran, salah satu dari Bali Nine yang dieksekusi di
hadapan regu tembak pada 29 April 2015. Untuk film berjudul
"Guilty" itulah, saya diundang dan diminta memberikan tanggapan.
Di
luar topik 20 tahun reformasi Indonesia, perdebatan soal hukuman mati yang
memang tidak pernah mudah, banyak isu lain yang seminggu ini mengemuka, di
antaranya kemenangan Donald Trump, yang pasti menghadirkan berbagai kegalauan
politik, tidak hanya di Amerika, tetapi di belahan dunia lainnya. Soal dugaan
kasus penistaan agama yang masih ramai dibicarakan juga tetap menarik untuk
ditulis dan diulas.
Terakhir,
dalam agenda pemberantasan korupsi, atas permohonan yang diajukan oleh OC
Kaligis, kemarin Mahkamah Konstitusi mengakhiri perdebatan dan memutuskan
bahwa KPK berwenang untuk mengangkat sendiri penyidiknya, atau tidak hanya
boleh mengambil penyidik dari kepolisian dan kejaksaan saja. Keputusan MK
demikian menguatkan kelembagaan KPK dan agenda pemberantasan korupsi, dan
karenanya layak diberi apresiasi.
Setelah
mempertimbangkan dari berbagai aspek, termasuk urgensi dan kapasitas penulis,
maka saya memutuskan untuk Catatan Kamisan kali ini mengangkat isu dugaan
penistaan agama yang masih hangat diperdebatkan di Tanah Air. Isu ini
sensitif dan karenanya, mohon sidang pembaca berkenan meluangkan waktu
membaca catatan ini dengan hati dingin dan kepala yang tenang, agar maksud
penulisan ini untuk memberikan perspektif hukum menjadi tercapai, dan bukan justru
disalahpahami, dan akhirnya tidak meneduhkan suasana—sebagaimana maksud kamu
menuliskannya.
Terhadap
isu dugaan penistaan agama yang terlapornya adalah Basuki Tjahaja Purnama,
dalam catatan singkat ini, saya akan mengulas empat isu hukum. Saya tidak
akan masuk ke ranah hukum pidananya, karena bukan kompetensi saya yang
belajar hukum tata negara untuk mengkajinya. Satu hal yang ingin saya
tegaskan di sini, bahwa saya berpandangan, sedikit-banyak munculnya kasus ini
berkaitan dengan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta.
Saya
sendiri tidak mendukung Basuki Tjahaya Purnama (BTP) dalam kontestasi itu,
salah satunya karena saya juga masih menjadi Visiting Professor di Melbourne
Law School dan Faculty of Arts, University of Melbourne, Australia, sehingga
tidak ikut memilih. Sengaja informasi soal posisi politik itu saya sampaikan,
dengan maksud, agar pandangan saya dalam catatan ini bisa dilihat dengan
lebih jernih sebagai posisi akademik, dan sama sekali tidak politik partisan.
Sekarang mari kita bahas satu-per-satu isu hukum yang terkait dengan dugaan
penistaan agama tersebut.
Pertama,
penistaan agama telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai delik
pidana yang tidak bertentangan dengan UUD 1945, dan karenanya masih bisa
diterapkan dan menjerat siapapun yang diduga melakukannya. Sependek pencarian
yang saya lakukan, minimal ada dua putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 dan
Nomor 84/PUU-X/2012 terkait pengujian Pasal 156a KUHP jo Undang-Undang Nomor
1 /PNPS tahun 1965 Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Dalam
dua kasus pengujian itu, MK memutuskan menolak argumentasi pemohon bahwa
Pasal 156a KUHP jo Undang-Undang Nomor 1 /PNPS tahun 1965 bertentangan dengan
UUD 1945. Para pemohon dalam perkara tahun 2009 adalah beberapa LSM yang
bergerak di bidang bantuan hukum dan HAM, seperti LBH, Imparsial, ELSAM,
PBHI, DEMOS, Setara Institute dan Desantara Foundation. Selain itu, terdapat
juga para Pemohon perorangan, di antaranya M. Dawam Rahardjo dan mantan
Presiden Abdurrahman Wahid.
Inti
dari putusan MK adalah menolak argumen bahwa delik penistaan agama adalah
bentuk intervensi negara ke wilayah kebebasan beragama. MK tetap berpandangan
bahwa kebebasan beragama perlu ada pembatasan, agar tidak menimbulkan
penistaan. Yang pasti sejak reformasi, ketika kebebasan berbicara makin
terbuka, kasus penodaan agama makin banyak terjadi. Di era Orde Baru sampai
awal reformasi dari tahun 1965 hingga tahun 2000, pasal 165A hanya dipakai 10
kali. Namun dalam 15 tahun terakhir (2000 – 2015) telah digunakan pada lebih dari
50 kasus. Dengan pelaku terbanyaknya mengaku beragama Kristen 61 orang dan
Islam 49 orang (aliran kepercayaan 4 orang dan tidak diketahui 6 orang).
Soal
politik hukum penistaan agama ini menarik untuk membaca tulisan Zainal Abidin
Bagir berjudul, "Supremasi Hukum untuk Penista Agama" pada situs
www.islamindonesia.id. Saya sarankan, silakan baca pula artikel Melissa
Crouch, seorang Dosen Senior pada Fakultas Hukum, University of New South
Wales, Sydney yang memberikan analisa atas Putusan MK di atas dalam "Law
and Religion in Indonesia: The Constitutional Court and the Blasphemy
Law" yang dimuat pada Asian Journal of Comparative Law di tahun 2012.
Kedua,
saya ingin sedikit saja urun rembug dalam hal rencana gelar yang saya dengar
akan dilakukan awal minggu depan. Saya mengapresiasi pernyataan Kapolri—di
salah satu acara TV swasta--yang mengatakan gelar perkara akan dilakukan
dengan peserta yang diperluas, namun tidak disiarkan media massa secara
langsung. Saya berpandangan itu adalah jalan tengah yang bijak. Gelar pekara
secara lebih rinci di atur dalam Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009, yang
pada dasarnya adalah proses internal kepolisian. Maka, jika dalam kasus
terlapor BTP ini akan dibuka lebih luas dengan menghadirkan pelapor,
terlapor, ahli, Kompolnas, Komisi III DPR, maka sebenarnya itu saja sudah di
luar dari kebiasaan. Namun saya mengerti, dilema di kepolisian yang rentan
dicurigai jika seluruh prosesnya ditutup.
Namun,
saya juga tidak setuju, jika seluruh proses gelar perkara dibuka untuk umum,
apalagi dapat disiarkan secara langsung oleh media massa, khususnya televisi.
Selain justru rentan meningkatkan eskalasi konflik yang tidak perlu, saya
berpandangan beberapa proses penegakan hukum dan dokumennya memang bersifat
rahasia, dan hanya dapat dibuka pada proses persidangan di pengadilan—yang
memang disyaratkan "Terbuka untuk Umum". Jika tidak secara tegas
diharuskan terbuka untuk umum, maka proses penegakan hukum berarti harus
tertutup.
Belajar
dari banyak pengalaman penanganan perkara seperti OJ Simpson di Amerika,
ataupun kasus Jessica Kumala Wongso, maka persidangan yang terus disiarkan
langsung, sebenarnya problematik. Silakan baca artikel menarik Todung Mulya
Lubis berjudul "Sidang Terbuka untuk Umum" di harian Kompas pada 14
Oktober 2016.
Terkait
dengan keterbukaan ini, meskipun untuk kasus yang berbeda, namun Menteri
Agama akhirnya memutuskan persidangan penentuan hari raya Idul Fitri kembali
tertutup dari siaran langsung, dan terbukti hasilnya lebih meneduhkan dan
efektif. Efek siaran langsung dan kamera televisinya memang tidak jarang
menghadirkan macan panggung yang gemar tampil, berorasi, namun tidak jarang
bukan menjadi bagian dari solusi.
Ketiga,
banyak isu yang berpilin dengan kasus dugaan penistaan agama terhadap
Terlapor BTP alias Ahok ini. Salah satunya yang ingin saya beri tanggapan
adalah keterkaitannya dengan posisi Ahok sebagai Calon Gubernur dalam Pilgub
Jakarta. Saya membaca ada pandangan bahwa jika yang bersangkutan menjadi
tersangka atau terdakwa, maka statusnya sebagai calon gubernur menjadi
hilang. Pandangan demikian keliru dan harus diluruskan.
Dalam
Pasal 163 UU 10 Tahun 2016 terkait pemilihan gubernur ditegaskan bahwa status
tersangka dan terdakwa tidak menghilangkan status seorang calon gubernur.
Bahkan di dalam Pasal 163 ayat (6) dalam status tersangka, seorang gubernur
terpilih tetap harus dilantik. Dalam pasal 163 ayat (7) diatur, dalam status
terdakwa, gubernur terpilih tetap dilantik meskipun kemudian pada saat
pelantikan itu juga diberhentikan sementara.
Baru
jika keputusan pengadilan menetapkan gubernur terpilih menjadi terpidana
berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum, menurut
Pasal 163 ayat (8) yang bersangkutan tetap dilantik agar dapat langsung
diberhentikan. Mengingat sekarang masih jauh dari putusan berkekuatan hukum
tetap, sedangkan proses Pilgub Jakarta akan berakhir pertengahan tahun depan,
maka jelaslah bahwa jikapun Ahok menjadi tersangka ataupun terdakwa, dia
tetap bisa terus mengikuti proses pemilihan gubernur di Jakarta.
Keempat,
yang saya ingin urun rembug adalah terkait independensi penegakan hukum. Saat
ini atas kasus dugaan penistaan agama oleh Terlapor BTP ini, masyarakat
minimal terbelah menjadi pendukung dan pembela Ahok. Masing-masing pada dua
kutub ekstrem tuntutan: mewajibkan Ahok menjadi tersangka atau megharuskan
Ahok bebas.
Perlu
ditegaskan berulang kali, bahwa pendapat demikian adalah hak dan dijamin
sebagai kebebasan berpendapat dalam UUD 1945. Namun, UUD 1945 juga menjamin
kemerdekaan kekuasaan kehakiman, dalam arti tidak boleh ada bentuk intervensi
ataupun paksaan dalam bentuk apapun oleh siapapun atas suatu proses hukum.
Karenanya, semua pihak harus sama-sama menghormati proses hukum yang sekarang
berlangsung, tanpa memaksanakan kehendaknya sendiri-sendiri yang sangat
berbahaya bagi prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan pondasi dasar
negara hukum Indonesia.
Dalam
jangka pendek, apapun putusan atas gelar perkara awal minggu depan, apakah
Terlapor menjadi tersangka atau tidak, semua pihak harus bin wajib
menghormatinya. Hanya dengan menghormati proses hukum inilah yang sekarang
tersedia sebagai forum penyelesaian perbedaan pandangan yang semakin tajam.
Mari
semua duduk tenang, berdoa, dan mengawal proses gelar perkara Selasa depan
dengan cara yang santun dan terhormat. Apapun hasilnya, mari kita hormati
sebagai putusan yang mengikat kita semua sebagai bangsa Indonesia. Saya
berharap dan yakin, Polri akan bertindak sangat hati-hati dan
mempertimbangkann dengan professional kasus ini, sesuai aturan hukum yang
berlaku, dan sesuai tugas penegakan hukum untuk menciptakan ketertiban di
dalam masyarakat. Mari semua tunduk dan sama-sama menjaga supremasi hukum
yang akan menjamin hadirnya keadilan di tanah air yang sama-sama kita cintai.
Keep
on fighting for the better Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar