Kamis, 02 April 2015

Ironi Perdamaian Timur Tengah

Ironi Perdamaian Timur Tengah

Dinna Wisnu  ;  Co-Founder & Direktur Program Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 01 April 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

Yaman dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan di dunia Arab yang di masa kuno dulu dikenal dengan sebutan Arabia Felix yang berarti “bahagia” atau “beruntung” karena ia berada di semenanjung Arab yang relatif lebih subur dibandingkan negara-negara tetangganya.

Sayangnya, negeri yang berbatasan darat dengan Arab Saudi dan Oman itu kini dirundung perang saudara. Sejumlah negara mulai menutup kantor-kantor perwakilan di Ibu Kota Sanaa dan berupaya mengevakuasiwargamasing- masingkeluar dari Yaman, termasuk Indonesia. Jika tingkat keseriusan perang ditentukan oleh lama perang, besaran (magnitude) perang terutama prospeknya untuk melibatkan negaranegara kawasan, dan jumlah korban, maka serius tidaknya perang di Yaman ini setidaknya ditentukan dua faktor.

Pertama, faktor kemampuan Yaman sebagai suatu negara untuk menyelesaikan problem politik dan sosial ekonomi secara internal. Kedua, faktor persepsi negara-negara lain terhadap problem di Yaman. Yaman dalam era modern termasuk negara yang dianggap negara gagal. Indeks Negara Rentan 2014 yang dikeluarkan oleh The Fund for Peace menempatkan Yaman di posisi “high alert “ (waspada tinggi) yang masuk juga dalam kategori negara dengan tren pemburukan kondisi politik tertinggi sepanjang 2009-2014.

Sebagai suatu negara, Yaman memang terkenal rentan akan faksifaksi politik yang saling berupaya menihilkan eksistensi faksi lain. Selain itu, pemerintahannya terkenal otoriter dan represif. Kelompokkelompok yang berseberangan dengan Pemerintah Yaman antara lain adalah kelompok militan yang terkait Al-Qaeda, gerakan-gerakan separatis di bagian Selatan (termasuk Houthi yang kini dianggap biang kerok penyebab intervensi militer di bawah komando Arab Saudi), dan kelompok separatis di utara Zaydi Shia.

Masyarakat awam terbilang tak berdaya karena politisi dikenal korup dan senjata beredar bebas. Sebelum perang saudara kali ini Yaman sudah terjebak dalam ketegangan politik internal. Misalnya selama 2011-2012 warga Yaman mendesak Presiden Ali Abdullah Saleh untuk mundur setelah berkuasa lebih dari 20 tahun. Ketika akhirnya Saleh mundur dan digantikan oleh Wakil Presiden Abd Rabbuh Mansur Hadi, situasi sempat stabil sebelum akhirnya memburuk lagi pada 2014.

Memburuknya situasi itu seiring dengan kudeta dan meluasnya gerakan Houthi yang menaklukkan gedung-gedung pemerintahan, menguasai Ibu Kota Sanaa, dan mendesak Hadi untuk mendirikan pemerintahan bersatu dengan faksi-faksi politik yang lain, membubarkan parlemen, mendirikan pemerintahan interim di bawah Mohammed Ali al-Houthi. Hadi melarikan diri ke Aden dan menyebut kota itu sebagai ibu kota sementara.

Meskipun Houthi disebut-sebut sebagai biang kerok masalah, ada sumber-sumber lain yang menyebut bahwa mantan Presiden Saleh juga ikut “bermain” dengan menggandeng kelompok Houthi demi menjatuhkan Hadi karena dia masih berharap anaknya, Ahmed Ali Abdullah Saleh, bisa menjadi generasi politisi berikutnya di Yaman.

Itulah sebabnya, meskipun pada awal 2014 Yaman dianggap membaik secara ekonomi dan politik sejak dipimpin oleh pemerintahan transisi Presiden Hadi, kawasan Ibu Kota Sanaa tetap panas akibat kelompok Houthi dan Sunni Salafi terus tegang. Pengungsian terus terjadi dalam jumlah besar, terutama di bagian utara Yaman.

Kerentanan ini diperumit dengan beroperasinya afiliasi Al-Qaeda di Yaman. Akibatnya, di Indonesia pun Yaman dikenal perlu diwaspadai karena menjadi tempat orang-orang belajar radikalisme dan paham agama yang menyimpang. Narasi di atas menggambarkan alasan mengapa Yaman dianggap negara-negara lain tidak mampu menyelesaikan problem internalnya secara independen.

Itu sebabnya ketika Presiden Saleh enggan mundur dan justru melakukan pengejaran kejam kepada warga negara yang dianggap anti terhadap pemerintahannya. Saat negara sedang dalam kondisi genting, The Gulf Cooperation Council turun tangan. GCC adalah persatuan politik ekonomi antarpemerintahan negara-negara Teluk yang terdiri atas Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar dan Uni Emirat Arab.

Selain kerja sama ekonomi seperti perdagangan dan pembentukan Dewan Moneter, negara-negara GCC juga punya kesepakatan menyatukan pasukan untuk merespons kebutuhan dukungan politik dari pemerintahan negara-negara anggotanya. Semua negara ini adalah kerajaan dan karenanya kerap disindir sebagai gerakan mempertahankan karakter otoriter dari negara-negara Timur Tengah.

Campur tangan GCC ini berlanjut terus ketika Arab Saudi menganggap gerakan Houthi sebagai bagian dari meluasnya pengaruh dan kekuasaan Shiah Iran di Teluk. Houthi, yang terbukti terampil di bidang persenjataan dan taktis memberikan tekanan pada pemerintahan Hadi, dianggap sebagai momok oleh negaranegara Teluk dan yang negaranegara berpenduduk mayoritas Sunni.

Suasana ini menggambarkan betapa konflik Yaman berpotensi berlarut-larut dan memakan banyak korban. Keterlibatan GCC dan simpati yang dikirimkan oleh negara-negara lain seperti Pakistan dan Turki bukan mustahil membuat suasana kawasan menjadi semakin panas. Daniel Brumberg (2013) dari Georgetown University mengatakan, kejadian di Yaman adalah bukti bahwa upaya menciptakan “tatanan politik baru” di Timur Tengah sebagai sangat menyakitkan dan fatal (secara politis maupun fisik).

Konsep patronase (mahsubiyya) yang selama ini dipakai oleh mantan Presiden Saleh telah menyuburkan rasa takut antarkelompok bila patronnya tersingkir. Istilah Brumberg, politik di Yaman bergantung pada metode autokrasi berbasis perlindungan-pemerasan (protection-racket autocracies). Kelompok yang biasa dilindungi dibuat merasa takut, rentan karena tidak bisa memenangkan pemilu,

sementara kelompok yang berkuasa takut pada lawannya itu karena secara pengaruh kelompok oposisi tersebut tetap signifikan dan karena itu mereka enggan berkonsesi dengan mereka. Dengan imbuh senjata yang beredar bebas, sektarianisme, ketidakpercayaan pada pemerintah, dan ketiadaan sistem penegakan hukum yang adil, suasana yang hidup adalah kecurigaan dan upaya saling menihilkan.

Perang saudara di Yaman tentu memberi dampak langsung atau tidak langsung terhadap proses perdamaian di Timur Tengah. Kejadian politik di Yaman seakan membenarkan kekhawatiran negaranegara Arab dan Israel bahwa kelompok-kelompok politik yang berafiliasi kepada Iran tengah melakukan ekspansi dan terutama akan medelegitimasi perundingan nuklir yang sedang dilakukan antara Iran dan kelompok perundingan dari Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rusia, Jerman, dan China.

Kita juga melihat situasi yang ironis di Timur Tengah, yaitu negara-negara Arab cepat tanggap ketika kepentingan mereka terancam dan bukannya turun tangan memberikan bantuan ekonomi yang diperlukan oleh Yaman untuk dapat keluar dari lingkaran kemiskinan. Situasi tersebut tentu akan merugikan rakyat Yaman dan negara-negara Timur Tengah yang penduduknya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Bila hal ini terus terjadi, niscaya perdamaian di Timur Tengah impian belaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar