Minggu, 13 Agustus 2023

Pentingnya Kritik dan Godaan Demagogi

Haryatmoko : Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Komisi Kebudayaan, dan Dosen Universitas Sanata Dharma

KOMPAS, 10 Agustus 2023

 

 

                                                           

Keterlibatan ini adalah wujud nyata pemberdayaan masyarakat di ruang publik karena kondusif membentuk warga negara kompeten (Mezey, 2008), yaitu warga negara yang menyadari kewajibannya dan memahami hak-haknya serta hak-hak sesama warga negara, sehingga terdorong untuk memperjuangkannya dengan mengorganisasi diri.

 

Dalam perjuangannya, warga negara perlu mengasah diri agar tajam dalam analisis wacana kritis.

 

Wacana kritis, di mata warga negara kompeten, bukan hanya upaya untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan suatu kebijakan publik, melainkan juga menawarkan perspektif alternatif untuk memperkuat kualitas kebijakan, strategi, dan keputusan sehingga kebijakan publik mendasarkan pada informasi yang memadai dan bisa dipertanggungjawabkan dari sisi etika.

 

Tentu saja dalam menyampaikan gagasan atau kritik di ruang publik, warga bisa menggunakan beragam cara. Ada yang halus tajam; ada yang keras mengena. Namun, ada juga yang keras, tetapi kasar mengentak, meski tidak bertentangan dengan kebebasan berekspresi.

Dari ”devil’s advocate” ke demagog

 

Memang sering dibutuhkan pihak yang berani dengan keras menyampaikan kritik sebagai devil’s advocate agar penguasa tersentak sehingga mau memperhatikan dan membuka diri bagi masukan dan aspirasi yang berlawanan dengan kebijakannya. Devil’s advocate dibutuhkan karena fungsinya memang mencari celah kelemahan suatu argumen untuk menguji kesahihan dan soliditas kebijakan.

 

Hanya, masalahnya, tidak jarang pihak pengkritik mudah terpeleset jatuh dari suara kritis sebagai devil’s advocate, berubah menjadi seorang demagog.

 

Seorang demagog menggunakan retorika untuk memanipulasi emosi publik dalam rangka memengaruhi opini publik, mendistorsi informasi, menebar kebencian untuk menarik simpati publik demi mewujudkan agendanya.

 

Demagog sering kali menggunakan taktik menghujat, mengambinghitamkan, atau menebar ujaran kebencian. Fokus utamanya mengendalikan dan mendikte narasi, menjauhkan diskusi dari substansinya. Bagi demagog, narasi menjadi lebih penting daripada fakta. Maka, bukti sering diabaikan. Lalu kebenaran direduksi seakan hanya masalah keyakinan.

 

Memang tidak mudah menentukan garis pembeda antara devil’s advocate dan demagog karena keduanya canggih dalam bermanuver melalui argumentasi yang koheren, metodis, dan sistematis.

 

”Devil’s advocate”

 

Dalam politik, peran devil’s advocate penting, yaitu mempertanyakan dan menantang keyakinan, kebijakan, atau keputusan yang berlaku. Tujuannya untuk merangsang pemikiran kritis dan memastikan analisis mendalam dan menyeluruh dari perspektif yang berbeda.

 

Devil’s advocate memainkan suara berlawanan, bahkan meski sebetulnya bukan posisi pribadinya. Tujuannya menawarkan argumen tandingan, mengajukan keberatan, dan meneliti kebijakan atau ide yang diusulkan.

 

Dengan demikian, devil’s advocate mendorong pemeriksaan yang menyeluruh, perdebatan yang sehat, dan membantu mengidentifikasi potensi kelemahan, konsekuensi yang tidak diinginkan, atau aspek yang terlewatkan yang dapat memengaruhi hasil atau efektivitas kebijakan publik.

 

Dengan menantang dan memberikan sudut pandang alternatif, mereka berusaha memastikan proses pengambilan keputusan lebih menyeluruh atau lebih peduli kepada yang lemah.

 

Peran semacam ini ditemukan di pihak oposisi yang berkualitas, di media, para pemikir, atau lembaga-lembaga akademis, di mana analisis kritis dan perspektif skeptis berkontribusi pada pemahaman yang lebih menyeluruh tentang isu-isu politik. Peran devil’s advocate bukan menghambat pengambilan keputusan, melainkan untuk meningkatkan kualitas kebijakan.

 

Hanya saja, ketika peran devil’s advocate melewati batas, lalu menjadi kritik destruktif, akan berakibat negatif pada proses politik. Kritik destruktif berfokus hanya merongrong dan meremehkan gagasan tanpa menawarkan alternatif atau solusi yang berharga.

 

Pendekatan ini cenderung mendorong polarisasi, mencipta lingkungan beracun yang penuh ketegangan dan rentan konflik, karena menghalangi kemampuan untuk menemukan konsensus atau merecoki keputusan. Lalu, devil’s advocate pun berubah fungsinya menjadi demagog.

Teknik-teknik demagogi

 

Demagog biasa terlibat dalam taktik serangan pribadi, menyebarkan informasi yang didistorsi, atau menggunakan bahasa yang menghasut untuk mendiskreditkan sudut pandang yang ditentangnya. Alih-alih mendorong perdebatan sehat dan analisis tajam melalui perspektif yang berbeda, demagog lebih memprioritaskan upaya melemahkan lawan, mementahkan diskusi, dan mencegah terjadinya konsensus.

 

Dalam politik, penting untuk membedakan antara skeptisisme yang sehat dan kritik yang merusak.

 

Skeptisisme sehat mengambil bentuk kritik untuk (i) menawarkan wawasan yang berharga, dan mendorong solusi alternatif demi pengambilan keputusan yang relevan dan responsif terhadap kebutuhan publik; (ii) memberikan argumen logis dan bukti yang memadai sehingga mendasarkan pada rasionalitas dengan mendorong analisis kritis adalah cara memastikan semua sudut pandang dipertimbangkan.

 

Sementara, kritik yang merusak menimbulkan polarisasi, menghambat kolaborasi, menebar kebencian, dan menyemai ketegangan sehingga rentan konflik. Saat menghadapi kritik yang merusak, penting untuk menahan diri untuk tidak bereaksi terhadap serangan pribadi atau respons emosional.

 

Demagog berusaha memanipulasi dan mengeksploitasi emosi dan prasangka negatif untuk mewujudkan agenda tersembunyi. Caranya, memanfaatkan ketidakpuasan publik yang sudah berkembang. Demagog biasanya bersembunyi di balik dalih kebebasan berekspresi. Padahal, manuvernya menyebabkan erosi prinsip-prinsip demokrasi, polarisasi, dan penindasan terhadap pemikiran yang berlawanan.

 

Dengan menggunakan naluri dasarnya mengeksploitasi perpecahan, demagog merusak kepercayaan publik terhadap institusi karena dengan kecanggihan argumentasi yang dimilikinya mampu membungkam pendapat berbeda sampai lawan bicaranya tidak menyadari dirinya sedang mengalami pemberangusan sistematis.

Partisan

 

Meskipun menyatakan diri independen, pengamat yang demagog biasanya memiliki motif partisan atau afiliasi dengan kepentingan tertentu. Ambisi politiknya lebih baik disalurkan dengan secara konsisten menentang yang sedang berkuasa karena dapat menjadi strategi untuk meraih popularitas yang menarik bagi segmen pemilih tertentu. Dengan memosisikan diri sebagai kritikus vokal terhadap otoritas, pengamat dapat memanfaatkan ketidakpuasan publik dan menumbuhkan basis pendukung yang skeptis terhadap kemapanan.

 

Dengan secara konsisten mengkritik yang berkuasa, bahkan ketika kebijakannya efektif atau menguntungkan, pengamat tetap bersiteguh pada keyakinan pribadi daripada pertimbangan praktis. Posisi seperti ini membatasi kemampuannya untuk terlibat dalam dialog konstruktif atau berkolaborasi dalam isu-isu yang memiliki kesamaan.

 

Padahal, analisis kritis harus berakar pada penilaian yang adil terhadap fakta, pemahaman konteks, dan komitmen terhadap pengambilan keputusan berbasis bukti. Namun, kelemahan di sisi ini mudah ditutupi oleh demagog karena ia adalah komunikator yang andal yang terampil dalam retorika dan persuasi. Kelemahannya baru terlihat kalau audiens menilik kedalaman dan substansi ide dalam kebijakannya.

 

Demagog canggih menggunakan slogan yang menarik tanpa memberi rencana konkret bagaimana mewujudkannya atau membuktikan rekam jejak pencapaiannya.

 

Sebagai komunikator, demagog terampil menyederhanakan isu-isu yang kompleks dengan istilah yang sederhana; menawarkan jawaban mudah terhadap masalah yang kompleks demi menarik simpati publik.

 

Perhatikan tanda-tanda penyederhanaan yang berlebihan, seperti menghindari diskusi yang penuh nuansa, tetapi langsung menggunakan kategori stigmatis ”bodoh”, ”menjual negara”.

 

Demagog mudah menimpakan penyebab masalah sosial kepada seseorang atau institusi tertentu sebagai target untuk dikambinghitamkan, maka menghujat menjadi salah satu modus operandi. Tujuannya, memprovokasi kemarahan publik dan mengalihkan perhatian dari isu-isu yang mendasarinya.

 

Hujatan sebagai strategi diskualifikasi

 

Biasanya demagog memainkan siasatnya dalam rekayasa logika berpikir yang provokatif. Caranya mendiskualifikasi lawan bicara dengan hujatan atau penghinaan. Fakta dijadikan nomor dua, yang penting mengobok-obok emosi.

 

Setidaknya ada enam jenis penghinaan yang sebetulnya merupakan bentuk kekeliruan logika berpikir (fallacy), tetapi sangat efektif jika digunakan untuk strategi mendiskualifikasi lawan bicara.

 

Pertama, argumen ad hominem biasa menjadi cara mendiskualifikasi lawan bicara. Argumen ini berupa penghinaan dengan menyerang karakter seseorang, bukan menanggapi argumen atau ide. Padahal, argumen ini merupakan cacat berpikir (fallacy), yaitu upaya untuk mendiskreditkan posisi seseorang dengan menyerang secara pribadi. Misalnya, ”Kamu bodoh, jadi pendapatmu tidak penting.”

 

Penghinaan membangkitkan emosi negatif untuk mendiskreditkan argumen. Serangan pribadi memicu respons emosional daripada diskusi rasional. Hujatan sering bertujuan untuk merendahkan, memprovokasi, atau menyakiti orang lain, yang tidak kondusif untuk komunikasi yang rasional atau debat yang sehat.

 

Kedua, mendiskreditkan argumen, bahkan sebelum pihak lain menyampaikannya (argumen venenum in poculo). Biasanya menggunakan bahasa yang merendahkan agar publik berprasangka buruk terhadap sudut pandang orang tersebut. Misalnya, ”Ini dia ide konyolnya yang lain.”

 

Ketiga, penghinaan yang melebih-lebihkan argumen atau posisi seseorang sehingga mudah untuk diserang. Misalnya, ”Gubernur X gombal karena menolak menaikkan upah minimum buruh 25 persen. Jadi, ia hanya ingin membiarkan yang kaya semakin kaya dan mengorbankan yang miskin.”

 

Pernyataan ini adalah kekeliruan berpikir ignorantio elenchi, yaitu argumen mengambil kesimpulan yang diinginkan, padahal kesimpulan itu merupakan sesuatu yang berbeda, tak ada hubungan langsung. Strateginya mendistorsi sudut pandang lawan bicara untuk membuatnya tampak lemah, tidak masuk akal.

 

Keempat, penghinaan yang membawa argumen ke dalam kesimpulan yang ekstrem dan absurd, untuk membuatnya tampak konyol. Kesalahan berpikir ini disebut reductio ad absurdum. Misalnya, ”Jadi, menurutmu, kita semua harus berhenti bekerja dan hidup di dunia fantasi utopis?”

 

Kelima, penghinaan yang tidak berhubungan atau tidak relevan dengan topik yang dibahas, tetapi digunakan untuk merusak kredibilitas atau argumen seseorang. Kesalahan berpikir ini dikenal dengan istilah argumen non sequitur. Misalnya, ”Kamu bahkan tidak bisa memakai dasi dengan benar, jadi mengapa saya harus mendengarkan pendapatmu?”

 

Keenam, penghinaan yang menghadirkan situasi yang hanya memiliki dua pilihan ekstrem, mengabaikan potensi solusi jalan tengah. Ini bisa digunakan untuk meremehkan perspektif seseorang dengan menempatkan dalam konteks dilema palsu. Misalnya, ”Entah Anda mendukung kebijakan ini sepenuhnya, atau Anda hanyalah dinosaurus yang bodoh.”

 

Diskusi yang konstruktif harus fokus pada penanganan substansi argumen, bukan menggunakan hujatan. Maka, argumen harus relevan, artinya terkait langsung dengan kejelasan dan prediksi hasilnya; mencukupi karena syarat-syarat logisnya terpenuhi; dan diterima karena membantu mencapai pemecahan masalah yang disetujui sebanyak mungkin pihak (Ralph H Johnson, 1977)..

 

Sumber :https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/09/pentingnya-kritik-dan-godaan-demagogi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar