Minggu, 27 Agustus 2023

 

Partai Silas Papare

Hussein Abri Dongoran :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 13 Agustus 2023

 

 

                                                           

BENDERA Merah Putih berkibar di berbagai penjuru di Serui, Kepulauan Yapen, Irian Barat, pada bulan-bulan terakhir tahun 1945. Adalah Silas Papare yang berada di belakang pengibaran bendera setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu. “Banyak bendera Merah Putih di Serui, Papa yang siapkan,” kata Musa Antonius Papare, putra ketujuh Silas, di rumahnya di Biak Numfor, Papua, Ahad, 30 Juli lalu.

 

Silas membawa gagasan perayaan kemerdekaan Indonesia setelah ia kembali dari Kampung Harapan, Hollandia—kini Jayapura. Menjadi tahanan selama beberapa bulan di Hollandia karena merancang pemberontakan terhadap Belanda, Silas menerima kabar bahwa Indonesia telah merdeka. Namun kabar itu datang terlambat.

 

Informasi itu baru diketahui beberapa waktu setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, melalui penumpang kapal dari Jakarta. Warta serupa didapat Silas dan pemuda Papua lain dari pamflet yang dititipkan anggota Komite Indonesia Merdeka dari Brisbane, Australia. Pamflet itu dititipkan kepada penumpang kapal yang menuju Singapura dan singgah di Papua.

 

Silas juga tergabung dalam Komite Indonesia Merdeka. Perawat di Serui itu pun berniat membuat Papua lepas dari penjajahan Belanda. Keinginan itu bertambah kuat setelah Gubernur Sulawesi Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi tiba di Serui pada 5 Juli 1946. Sam Ratulangi dibuang oleh pemerintah Belanda karena mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

 

Sam Ratulangi termasuk anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang menghasilkan Undang-Undang Dasar 1945. Dua hari setelah proklamasi, atau pada 19 Agustus 1945, Ratulangi menjadi orang Indonesia pertama yang menjabat Gubernur Sulawesi.

 

Saat dibuang ke Serui, ia datang bersama sejumlah stafnya. Mereka antara lain Lanto Daeng Pasedang, Saleh Daeng Tompo, Latumabine, Suwarno, I.P. Lumban Tobing, dan Willem Sumampouw Tanod Win Pondaag. Pemerintah Belanda menjuluki mereka sebagai orang-orang berbahaya.

 

Di Serui, Sam Ratulangi tak berdiam di rumah pengasingan. “Dia berdiskusi dan memberikan pendidikan politik kepada masyarakat Serui,” ujar Yorrys Raweyai, anak Thung Tjing Ek, pahlawan nasional yang juga rekan perjuangan Silas. Tapi gerakan Sam Ratulangi selalu dipantau oleh kepolisian.

 

Musa Papare menuturkan, ayahnya pernah bercerita bahwa ia beberapa kali berdiskusi dengan Sam Ratulangi. Silas pun menganggap Ratulangi sebagai mentor politiknya. Karena dorongan Ratulangi, Silas dan kawan-kawannya menghadiri Konferensi Malino—kini Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan—yang digelar pada 15-25 Juli 1946.

 

“Papa cerita, dia ke Malino karena dorongan Sam Ratulangi,” ucap Musa. Selain Silas, tokoh Papua yang hadir di Malino di antaranya Frans Kaisiepo, Corinus Krey, Lukas Rumkorem, Nicolas Youwe, dan Markus Kaisiepo. Pertemuan yang juga dihadiri tokoh dari Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi itu membahas pembentukan negara federal di bawah pemerintahan Belanda.

 

Namun Silas menolak usul pembentukan negara bagian yang diajukan oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook itu. “Papa menolak Papua merdeka tapi berada di bawah Belanda. Inginnya di bawah Indonesia,” kata Musa. Seusai pertemuan Malino, Silas kembali ke Serui.

 

Silas lalu membentuk Partai Kemerdekaan Indonesia Irian (PKII) pada 23 November 1946. Ia menjadi ketuanya, sedangkan wakil dan dua sekretaris dijabat oleh Alwi Rahman, Ari Kamarea, dan Andreas Samberi. PKII juga memiliki jabatan badan komisaris, di antaranya diisi oleh Thung Tjing Ek dan Stefanus Rumbewas.

 

Dalam salinan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga PKII, tertulis partai itu memiliki 4.000 anggota yang menjadi penggerak di sejumlah daerah di Irian Barat. Di antaranya Biak, Sorong, Raja Ampat, Kaimana, dan Fakfak. PKII memiliki slogan “Tanah Irian Jaya ialah tanah Indonesia. Rakyat Irian Jaya ialah bangsa Indonesia dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan”.

 

Salah satu anggota PKII, Sem Herry Uy, mengatakan terbentuknya PKII tak lepas dari campur tangan Sam Ratulangi. “Sebagai penasihat,” ujarnya dalam arsip wawancara dengan tim Universitas Cenderawasih pada 28 Agustus 1990.

 

Tak hanya menggeluti politik, PKII juga memiliki gerakan ekonomi dengan membuka toko bernama Cendrawasih. Toko itu berdiri di lahan milik Thung Tjing Ek. Keuntungan yang didapat dari usaha tersebut dimasukkan sebagai uang kas PKII.

 

Kini toko tersebut berubah menjadi Hotel Cendrawasih di Jalan Diponegoro, Serui. “Dulu tempat kami suka menjadi tempat diskusi dan kumpul-kumpul,” tutur Yorrys Raweyai, anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Papua. Yorrys mengingat saat itu dia kerap mendengarkan informasi dari radio. Informasi itu kemudian disampaikannya kepada ayahnya, Thung Tjing Ek.

 

Istri Silas Papare, Regina Aibui Rumbewas, mengatakan embrio PKII sebenarnya sudah ada sebelumnya. Sebab, Silas dan teman-temannya telah memiliki kesadaran agar Papua ikut dalam kemerdekaan Indonesia. “Kehadiran Sam Ratulangi mempercepat pembentukan PKII,” kata Regina dalam arsip wawancara tim Universitas Cenderawasih, 2 September 1990.

 

Gerakan politik untuk menggabungkan Irian Barat dengan Indonesia tak hanya didominasi laki-laki. Istri para tokoh di Serui membentuk Ibunda Irian, yang menjadi sayap PKII. Tugas mereka adalah memasak, menjahit, merenda, serta membuat aksesori agar para perempuan bisa memiliki penghasilan tambahan.

 

Karena pengaruh PKII makin luas, pemerintah Belanda mencurigai Silas dan partainya akan melakukan pemberontakan. Silas pun ditangkap dan ditahan di Serui. Penangkapan itu menimbulkan protes dari Alwi Rahman dan masyarakat di Serui. Mereka meminta Silas dibebaskan.

 

Namun pemerintah Belanda memindahkan Silas ke Biak karena khawatir gerakan PKII makin luas di Serui. Kala itu pemerintah Belanda berdalih Silas hilang ingatan dan perlu dirawat di rumah sakit di Biak.

 

Buku Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1997 menyebutkan bahwa kondisi itu justru dimanfaatkan Silas untuk pergi ke Jawa. Apalagi kemudian ada permintaan agar pengurus PKII mengirim perwakilan untuk membahas persiapan Konferensi Meja Bundar.

 

Silas dan PKII juga pernah mengirim mosi kepada pemerintah Indonesia, pemerintah negara Indonesia timur, dan pemerintah Belanda pada 16 Maret 1949. Isinya, menuntut Belanda mengakui Irian Barat menjadi bagian Indonesia timur dan menuntut pemerintah Indonesia agar Komisi Tiga Negara tidak menjadikan Irian Barat sebagai daerah istimewa.

 

Komisi Tiga Negara dibentuk oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 26 Agustus 1947. Anggotanya Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. Tiga negara itu menjadi mediator untuk meredakan konflik antara Indonesia dan Belanda setelah Agresi Militer I.

 

Terakhir, Silas Papare menuntut keinginan rakyat di daerah untuk menentukan nasib sendiri tidak dihalangi. “PKII menjadi tempat pertama nama Papa dikenal hingga ke luar Papua,” ujar Musa Papare. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-khusus/169467/partai-silas-papare

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar