Minggu, 13 Agustus 2023

 

Hukum Alat Merdeka Berkata-kata

Bivitri Susanti :  Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera

KOMPAS, 10 Agustus 2023

 

 

                                                           

Gambar apa yang muncul di benak Anda saat kita berpikir tentang kata ”negara”? Bangunan megah istana presiden dan gedung DPR? Atau wajah presiden? Atau mungkin bendera Merah Putih? Memang, benak kita kerap dipenuhi gagasan visual yang mentereng ketika berbicara negara. Sebab, kita kerap diminta berpikir bahwa negara adalah tentang kekuasaan. Padahal, negara pada awalnya adalah warga.

 

Kekuasaan dikelola berdasarkan hukum, itulah yang disebut negara hukum. Karena itu, semua orang harus taat hukum. Sampai di sini, gagasan ini tak bermasalah. Namun, yang kerap luput dibahas dalam pendidikan kewarganegaraan kita, untuk siapa kekuasaan itu harusnya dijalankan dan untuk siapa hukum dibuat?

 

Karena negara tidak akan eksis tanpa warga, mengutip Satjipto Rahardjo, hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Hukum tidak akan selalu benar sehingga tidak harus ditaati secara berlebihan. Sebab, hukum dibuat dan ditegakkan oleh manusia, yang tentu memiliki berbagai kepentingan. Penyelenggara negara, dengan kekuasaan yang dimilikinya, juga berkepentingan menjaga ketertiban di dalam negara. Pertanyaannya, ketertiban ini dipelihara dan dipaksakan (imposed) untuk tujuan apa? Apakah untuk tujuan kehidupan warga yang lebih baik atau sekadar untuk memastikan penyelenggaraan negara tak terganggu oleh berbagai pertanyaan kritis tentang bagaimana negara diselenggarakan?

 

Pada saat kekuasaan penyelenggaraan negara dijalankan hanya untuk kepentingan segelintir orang, tentu sebagian warga yang lain boleh dan harus protes. Melalui forum apa? Apabila sistem politik berjalan ideal, wakil-wakil rakyat menyalurkan protes ini melalui fungsi pengawasannya. Wakil rakyat juga yang memastikan pemerintah menjalankan pemerintahan untuk semua, melalui fungsi legislasinya. Namun, belakangan ini, situasi ideal ini tak terlihat.

 

Jadi, ke mana lagi warga bisa mengawasi jalannya negara? Unjuk rasa di jalanan dan di media sosial adalah caranya. Repotnya, pemerintahan yang takut kritik, juga akan menggunakan kekuasaan untuk membungkam kebebasan berpendapat.

 

Lagi-lagi, alat paling efektif untuk mengeksekusi kekuasaan sehingga seakan legitimate adalah hukum. Sebab, dalam bangunan konsepnya, hukum dianggap alat pengatur yang sah dan harus dipatuhi. Maka, penguasa demagog akan membuat hukum dan penegakan hukum yang bertujuan membungkam pendapat orang. Di titik inilah rasa ketersinggungan dan emosi-emosi lainnya dikaburkan batasnya dari wilayah privat menjadi wilayah publik. Kritik pada orang yang memegang jabatan dianggap sebagai gangguan umum. Hal ini bisa dilihat pada pasal-pasal pidana tentang penghinaan presiden, yang masih kita miliki, meski berupa delik aduan.

 

Tak berhenti di situ, cara pandang tentang kekuasaan untuk membungkam juga timbul pada warga, yaitu pada kelompok-kelompok yang merasa dekat dengan kekuasaan atau menginginkan kekuasaan. Padahal, kekuasaan tak perlu lagi dilindungi secara partikelir. Penguasa mempunyai alat yang lebih dari cukup untuk melindungi kekuasaannya.

 

Begitu mudahnya hukum dan penegakan hukum digunakan sehingga kata-kata menjadi kejahatan yang dapat dipidana. Diksi bernada hinaan atau terasa kasar, yang seharusnya diselesaikan di antara orang yang bertikai, menjadi urusan publik pada saat ada keonaran yang terjadi. Padahal, keonaran atau apa pun yang berkaitan dengan persepsi, bisa diciptakan. Bisa melalui ramainya media sosial, yang bisa dilakukan oleh pendengung (buzzers) berbayar. Bisa pula melalui mobilisasi massa, yang juga bisa direkayasa.

 

Dengan cara pandang yang mendewakan kekuasaan, ejekan dan cacian dikonstruksi sebagai pengganggu kemapanan kekuasaan. Bukan sebagai awal perdebatan substansi tentang bagaimana negara dikelola.

 

Akar dari ketidakmampuan menerima kritik adalah pendidikan tentang kekuasaan yang megah. Ia tak hanya harus dipatuhi, bahkan simbol-simbolnya harus dihormati secara militer dalam acara formal. Padahal, di negara-negara demokrasi yang berorientasi kinerja demokrasi dan bukan simbolisasi nasionalisasi, upacara bendera dan budaya militer tak lazim digunakan untuk merayakan kekuasaan.

 

Agustus, bulan kemerdekaan, barangkali bisa kita jadikan momentum yang pas untuk memikirkan ulang kekuasaan negara sebagai sesuatu yang megah, absolut, dan karena itu perlu diraih dengan segala cara. Merdeka seharusnya bukan sekadar merdeka dari penjajahan negara lain, melainkan tentang ruang yang luas untuk berpikir, berpendapat, dan berkreasi untuk memajukan bangsa. Kekuasaan dan keinginan berkuasa tidak boleh disalahgunakan untuk memadamkan kemerdekaan ini.

 

Sumber :https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/09/hukum-alat-merdeka-berkata-kata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar