Minggu, 27 Agustus 2023

 

Obituari Djoko Pekik

Goenawan Mohamad :  Sastrawan, Pendiri Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 20 Agustus 2023

 

 

                                                           

DJOKO Pekik dekat dengan tanah, akrab dengan bumi. Warna dominan dalam kanvas-kanvasnya umumnya cokelat, dengan hijau menyeling di sana-sini: warna ladang sepanjang hari. Goresan kuasnya liat, menggumpal, kasar, bukan ornamen.

 

Penghuni kanvas-kanvas itu adalah wajah dan postur tubuh yang mudah kita jumpai di tepi-tepi sawah di sebuah dusun di Grobogan, tempat ia dibesarkan.

 

Ia seakan-akan tak putus-putusnya bercengkerama dengan mereka. Ia bercerita tentang mereka, atau lebih tepat, bersama mereka: tukang becak, buruh gendong, penari tayub, tukang listrik, kuli perempuan, penjual trompet, pengamen, anak warung nasi.... Praktis tiap wajah itu bukan sosok dari luar dunia sang perupa. Ada ikatan yang autentik antara Pekik dan orang-orang itu.

 

Mereka adalah catatan-catatan kaki dalam sejarah—sebuah kisah yang jauh di bawah, yang disebut bukan sebagai fokus percakapan penting. Sering wajah itu, kisah itu, dianggap dapat diabaikan. Manusia yang lalu-lalang dalam kanvas Djoko Pekik adalah anarithmoi: orang-orang yang kadang-kadang saja dicatat lembaga sensus, tapi dalam wacana besar kekuasaan tak dianggap—kecuali sebagai angka. Meskipun demikian, seperti sejumlah catatan kaki dalam sejarah, mereka itu justru yang menunjukkan apa yang belum lengkap di sebuah masyarakat yang dibangun dan dijaga dengan kekuasaan yang mapan.

 

Dalam perspektif ini, yang disumbangkan Djoko Pekik adalah melanjutkan resistansi: seni rupanya membalikkan posisi orang-orang yang tak-masuk-hitungan itu menjadi orang-orang yang tak tergantikan. Dudu sanak, dudu kadhang, yèn mati mèlu kélangan.... Orang-orang yang bukan keluarga, bukan handai tolan, tapi bila mereka disingkirkan, kita akan merasa kehilangan.

 

Namun karya-karya Pekik bukan sebuah parade di mana ia mengambil peran sebagai pelopor atau juru bicara. Ia “men-jadi” bersama yang bukan sanak, bukan kadhang itu. Ia berjalan, bekerja, menari bersama mereka, seirama dengan mereka. Karya-karya lukisnya tak memamerkan keahlian teknis “orang sekolahan”, tak menunjukkan kehendak memakai keterampilan visualisasi yang rapi seperti kamera modern. Beberapa lukisannya tentang manusia dalam pertunjukan hiburan di jalanan, dengan langsung memunggah tata rias teater rakyat dan punakawan dalam wayang wong. Lanskapnya juga tak muncul dengan perspektif yang persis, yang menandai kontrol geometris atas ruang—seperti halnya garis-garis tegas yang menandai penguasaan tanah oleh juragan ladang dan bukit-bukit.

 

Dunia Pekik adalah dunia manusia di mana warna dan rupa yang murung silih berganti dengan raut muka dan gerak yang kocak—orang-orang yang menjauh dari ukuran kepatutan dan kebagusan yang datang dari luar dirinya.

 

Wajah-wajah itu tak cantik.

 

Karya Pekik dapat mengingatkan kita pada karya-karya perupa Jerman di tahun 1930-an yang diharamkan Nazi dan dikecam sebagai Entartete Kunst, “seni rupa bobrok”. Saya bahkan melihat corak yang paralel kanvas Pekik dengan lukisan Emil Nolde, salah seorang perupa yang dikutuk Hitler itu.

 

Apabila kanvas-kanvas itu tak mangayu-bagya yang “indah” dan “molek”, itu agaknya karena tafsir tentang “indah” dan “molek” sudah lama diartikan sama dengan “lengkap” dan “harmonis”. Dikukuhkan para penjaga struktur yang mengatur partage du sensible (saya pinjam istilah Rancière), kelengkapan dan keselarasan yang jadi syarat “indah” itu pada akhirnya bersifat represif.

 

Menghadapi itulah karya Djoko Pekik tampil menggugat, atau mengusik, atau mencemooh. Dalam arti itulah, yang tak-molek di kanvas itu sebuah isyarat ke arah emansipasi dari sebuah status quo. Tak-cantik itu sebuah pernyataan politik.

 

Tapi karya Pekik bukan jenis yang sama dengan pembawa “realisme sosialis” dalam sejarah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina di masa komunisme. Sementara Mao Zedong meletakkan norma keindahan karya seni sebagai “mendekati yang ideal” dan “lebih universal ketimbang hidup sehari-hari”, kanvas Djoko Pekik tak demikian. Goresan kuasnya mengikuti, terkadang pelan terkadang cepat, sesuatu yang bergetar dalam benda, wajah, lanskap, dan apa saja yang tampak. Bukan karena pidato politik jika di sana ada vibrasi.

 

Vibrasi itu kita rasakan dalam Bekas Stasiun Ngabean misalnya: atap, tiang-tiang stasiun, rel kereta api, bukanlah garis-garis lurus, diam dan stabil. Bukit-bukit di Pantai Parangtritis, gundukan pasir di Kali Kretek, sampah trompet kertas sehabis pesta tahun baru, barisan bebek: semua menyiratkan gerak, getar, dengan ritme yang bermula dari khaos, tak pasti.

 

Yang pasti—atau yang selalu kembali—adalah kehangatan. Djoko Pekik mengandung api, tapi kanvasnya selalu dihadiri humor. Tak pernah tegang: karya untuk kita, bersama kita, menghibur kita, mengingatkan kita. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/marginalia/169494/obituari-djoko-pekik

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar