Minggu, 27 Agustus 2023

 

Menuju Nusantara

Ahmad Najib Burhani : Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

KOMPAS, 26 Agustus 2023

 

 

                                                           

Sejak 2019 pemerintah Indonesia memutuskan untuk membangun Ibu Kota Negara (IKN) baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, yang diberi nama Nusantara. Rencananya, upacara Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2024 nanti akan dilangsungkan di sini.

 

Nama Nusantara diambil karena ia merefleksikan realitas Indonesia sebagai negara maritim dan istilah ini sudah menjadi iconic secara internasional. "Nusantara itu sebuah konsep aktualisasi atas wilayah geografi sebuah negara yang di dalamnya terdapat pulau-pulau yang disatukan oleh lautan," kata Suharso Monoarfa dalam Rapat Panitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) (17/1/2022). Mengingat Indonesia sebagai negara Bahari dengan ribuan pulau, maka di antara tujuan terpenting dari pembangunan IKN adalah menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di luar Jawa, agar terjadi keseimbangan ekonomi dan pembangunan antara Jawa dan luar Jawa.

 

Tujuan ini telah menjadi mimpi sejak lama, agar pembangunan tak terkonsentrasi di Jawa, sementara yang di Indonesia Timur tertinggal jauh. Apalagi mengingat Jakarta yang sudah semakin tidak kondusif sebagai Ibu Kota dengan isu polusi air, polusi udara, banjir, dan bahkan terancam tenggelam. Jakarta juga tak lagi menjadi kota yang ideal untuk merefleksikan Indonesia dengan pembangunannya yang saling bertabrakan dan tak merata, pola yang tak teratur, kemacetan, dan ekonomi yang sangat kontras di beberapa tempat. Karena itu, memang harus dibangun Ibu Kota baru.

 

Sebelum Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana pemindahan Ibu Kota pada 16 Agustus 2019, pikiran untuk membuat Ibu Kota baru itu sudah muncul sejak zaman Sukarno. Ketika itu, pemindahan Ibu Kota merupakan decolonializing strategy atau upaya membangun identitas Indonesia yang berbeda dari zaman kolonial dan sebagai sarana integrasi nasional. Ketika itu, lokasi yang digadang menjadi Ibu Kota adalah Palangkaraya.

 

Pada zaman Suharto, gagasan itu muncul kembali dengan alasan yang berbeda, pengembangan pusat ekonomi atau area bisnis baru di Jonggol. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga sempat berencana memindahkan Ibu Kota karena alasan kependudukan, kemacetan, dan banjir. Pada era Jokowi pikiran dan rencana pemindahan Ibu Kota itu direalisasikan dengan harapan menyeimbangan pembangunan, dari Java-centric menjadi Indonesia-centric, dan menyambut tantangan masa depan.

 

Membangun kota, apalagi ibu kota, tentunya bukanlah proses sim salabim atau seperti mitos Bandung Bondowoso yang membuat Candi Prambanan dalam semalam dengan pasukan jinnya. Membangun kota adalah membangun peradaban. Dalam Bahasa Arab, istilah untuk menyebut kota adalah madinah yang seakar dengan kata madaniyyah atau civilization. Makanya, dulu Nurcholish Madjid (Cak Nur) sering memaknai civil society sebagai “masyarakat madani”.

 

Seperti ditulis Bambang Susantono, Kepala Badan Otorita IKN, dalam pengantar buku The Road to Nusantara: Process, Challenges and Opportunities (2023), membangun Ibu Kota tidaklah sama dengan membangun kota biasa, yang mungkin lebih didominasi pembangunan infrastruktur. Nusantara diproyeksikan akan “menunjukkan upaya Indonesia untuk merangkul budaya kerja baru dan cara berpikir inovatif yang akan memungkinkan bangsa untuk mengatasi tantangan global masa depan” (h. ix).

 

Karena itulah, dalam Lampiran II dari UU No. 3 Tahun 2022 tentang IKN, model kota yang dibangun di Nusantara memadukan tiga konsep, yaitu sebagai kota hutan atau forest city, kota spons atau sponge city, dan kota cerdas atau smart city. Konsep kota hutan dipakai untuk memastikan kelestarian lingkungan dengan minimal 75 persen merupakan kawasan hijau. Ini adalah konsep baru yang menyatukan manusia dengan alam. Konsep ini belum banyak modelnya dan karena itu perlu banyak imajinasi dan kajian yang matang.

 

Meski Nusantara dirancang menjadi kota masa depan dengan kesadaran penuh tentang problem lingkungan, teknologi pintar, dan bisa memajukan ekonomi, namun Ibu Kota itu harus memiliki daya tarik dan daya dorong yang mampu membuat orang mau berpindah ke sana. Jika tidak, maka ia akan menjadi kota mati atau kota hantu. Saat ini, rancangan IKN masih memiliki sejumlah tantangan terkait inklusivitasnya terhadap masyarakat adat dan lokal, konsep pemerintahan yang sentralistik atau setback dari konsep desentralisasi, paradigmanya dalam menjaga hutan, dan juga terkait Indonesia sebagai negara maritim.

 

Konsep forest city dari IKN, misalnya, sangat berpotensi untuk menjaga hutan Indonesia. Saat ini, kerusakan hutan di Kalimantan sudah cukup parah. Kerusakan itu bahkan hingga mencapai 60 persen dari 9,7 juta hektar hutan di sana dan pembangunan IKN berpotensi menambah kerusakan tersebut. Hal lain adalah tradisi membakar lahan atau hutan pada sebagian masyarakat yang jika tak diantisipasi maka IKN yang dibangun dengan biaya mahal itu akan bisa cepat musnah. Namun jika konsep forest city itu berhasil, maka ia akan menjadi model bagi penyelamatan 125 juta hektar hutan Indonesia.

 

Sementara itu, meski lokasinya dekat dengan wilayah pantai Kalimantan Timur dan juga dekat dengan selat Makassar, dan meski namanya Nusantara, yang terlewat dalam pembangunan IKN justru pembangunan maritim yang merupakan identitas penting Indonesia. Jika isu maritim ini digarap, maka bukan hanya Nusantara semakin merefleksikan Indonesia, ia juga mewujudkan visi Bahari Jokowi untuk tak lagi memunggungi laut. Dengan demikian, IKN Nusantara, yang meski tak ada dalam Nawacita, tetap akan terlaksana dan demikian pula dengan visi pengembangan maritim.

 

Poin-poin yang tertulis di atas tergambar dalam buku yang diterbitkan oleh BRIN-ISEAS berjudul The Road to Nusantara: Process, Challenges and Opportunities yang diluncurkan di Jakarta, 8 Agustus 2023. Buku itu merupakan referensi akademik pertama tentang IKN Nusantara dalam Bahasa Inggris yang diterbitkan oleh penerbit bereputasi global. Ada buku lain yang baru diterbitkan Springer yang secara lebih khusus melihat aspek budaya dari IKN Nusantara, berjudul Assembling Nusantara: Mimicry, Friction, and Resonance in the New Capital Development (2023). Dua buku itu sudah ditelaah secara teliti oleh akademisi yang mumpuni sebelum terbit, sehingga bisa menjadi rekomendasi yang dipercaya bagi pemerintah.

 

Selain itu ada satu proyek lagi tentang IKN yang sedang dikerjakan periset BRIN yang secara khusus melihat berbagai tantangan (challenges) di Nusantara, seperti kekeringan, kebakaran hutan, longsor, banjir, gempa bumi, konflik horizontal, dan yang berkaitan dengan pelibatan masyarakat adat. Semua karya itu dimaksudkan untuk membantu mewujudkan IKN sebagai pusat peradaban baru yang membawa Indonesia siap berselancar di masa depan dengan sukses.

 

Sumber :https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/25/menuju-nusantara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar