Minggu, 27 Agustus 2023

 

Korupsi Nikel Ilegal

Opini Tempo :  Redaksi Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 20 Agustus 2023

 

 

                                                           

PROSES hukum atas dugaan korupsi penjualan bijih nikel di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Aneka Tambang atau Antam (Persero) di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, tak cukup untuk membersihkan bisnis komoditas ini. Penegakan hukum perlu dilanjutkan dengan perbaikan tata kelola pertambangan nikel di Tanah Air.

 

Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tenggara menetapkan eks Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin, dan bekas anak buahnya, sebagai tersangka penambangan nikel ilegal pada 10 Agustus lalu. Ridwan menambah panjang daftar pejabat yang terseret dari selusin tersangka korupsi yang diduga merugikan keuangan negara Rp 5,8 triliun tersebut. Jika keterlibatan Ridwan dalam kasus ini terbukti, terlihat besarnya celah tata kelola perizinan tambang nikel.

 

Ridwan bersama anak buahnya dituduh memberikan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) atau kuota tambang kepada PT Kabaena Kromit Prathama dengan total produksi 1,5 juta wet metric ton pada 2022. Padahal cadangan nikel PT Kabaena sudah lama habis. Direktur Jenderal Minerba tak benar-benar memverifikasi ketika menerbitkan izin RKAB untuk Kabaena—atau mungkin sengaja meloloskannya. Dokumen RKAB inilah yang diperjualbelikan dengan pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji Sutanto, untuk memperdagangkan bijih nikel Antam langsung ke smelter.

 

Setelah revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara pada 2020, alih-alih sistem makin ketat, proses bisnis registrasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) selepas rezim lelang makin bisa diperdagangkan pejabat korup. Muncul regulasi turunan yang menyederhanakan perizinan tambang. Registrasi IUP tak lagi melalui lelang, tapi bisa lewat penetapan pengadilan tata usaha negara atau Ombudsman Republik Indonesia. Dengan penyederhanaan ini, fungsi evaluasi di Kementerian ESDM hanya formalitas. (Baca: Suap dan Permainan Izin Nikel Sulawesi)

 

Bukan hanya PT Kabaena yang dokumennya dipinjam oleh Windu Aji untuk menggarong bijih nikel Antam dengan menjual langsung ke smelter. Setidaknya ada 37 perusahaan lain yang dokumen RKAB-nya diperjualbelikan dengan PT Lawu Agung Mining. Masifnya perampokan kekayaan alam negara ini harus diusut tuntas.

 

Pernyataan Presiden Joko Widodo bahwa penghiliran nikel telah memberikan keuntungan besar bagi bangsa dan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Sulawesi, terpatahkan dengan terkuaknya permainan lancung penjualan nikel ilegal. Alih-alih menguntungkan, keberadaan nikel justru menambah kerusakan ekosistem hutan, sungai, danau, dan laut. Pada 2022, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan di Sulawesi Tenggara sebesar 10,11 persen, Sulawesi Tengah 12,33 persen, dan Sulawesi Selatan 8,7 persen. Padahal tiga provinsi itu penghasil nikel terbesar.

 

Hampir semua aktivitas tambang nikel di Sulawesi ini bisa dipastikan tak memperhatikan aspek perlindungan bagi keanekaragaman hayati. Dengan menggunakan "dokumen terbang", otomatis perusahaan juga menunggak jaminan reklamasi. Belum lagi aktivitas ilegal atau biasa disebut “penambang koridoran”. Kejaksaan dan Kementerian ESDM bisa meniru sistem perizinan tata kelola kayu (SVLK) dalam tata kelola nikel yang lebih lestari. Sistem baru harus bisa meningkatkan kredibilitas, transparansi, dan keterlacakan dengan memanfaatkan teknologi informasi serta geolokasi. ●

 

Sumber :  https://majalah.tempo.co/read/opini/169540/korupsi-nikel-ilegal

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar