Korupsi Nikel Ilegal Opini Tempo : Redaksi Majalah Tempo |
MAJALAH TEMPO, 20
Agustus 2023
PROSES hukum atas dugaan
korupsi penjualan bijih nikel di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT
Aneka Tambang atau Antam (Persero) di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi
Tenggara, tak cukup untuk membersihkan bisnis komoditas ini. Penegakan hukum
perlu dilanjutkan dengan perbaikan tata kelola pertambangan nikel di Tanah
Air. Kejaksaan Tinggi Sulawesi
Tenggara menetapkan eks Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ridwan Djamaluddin, dan bekas anak
buahnya, sebagai tersangka penambangan nikel ilegal pada 10 Agustus lalu.
Ridwan menambah panjang daftar pejabat yang terseret dari selusin tersangka
korupsi yang diduga merugikan keuangan negara Rp 5,8 triliun tersebut. Jika
keterlibatan Ridwan dalam kasus ini terbukti, terlihat besarnya celah tata
kelola perizinan tambang nikel. Ridwan bersama anak
buahnya dituduh memberikan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) atau kuota
tambang kepada PT Kabaena Kromit Prathama dengan total produksi 1,5 juta wet
metric ton pada 2022. Padahal cadangan nikel PT Kabaena sudah lama habis.
Direktur Jenderal Minerba tak benar-benar memverifikasi ketika menerbitkan
izin RKAB untuk Kabaena—atau mungkin sengaja meloloskannya. Dokumen RKAB
inilah yang diperjualbelikan dengan pemilik PT Lawu Agung Mining, Windu Aji
Sutanto, untuk memperdagangkan bijih nikel Antam langsung ke smelter. Setelah revisi
Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara pada 2020, alih-alih sistem
makin ketat, proses bisnis registrasi Izin Usaha Pertambangan (IUP) selepas
rezim lelang makin bisa diperdagangkan pejabat korup. Muncul regulasi turunan
yang menyederhanakan perizinan tambang. Registrasi IUP tak lagi melalui
lelang, tapi bisa lewat penetapan pengadilan tata usaha negara atau Ombudsman
Republik Indonesia. Dengan penyederhanaan ini, fungsi evaluasi di Kementerian
ESDM hanya formalitas. (Baca: Suap dan Permainan Izin Nikel Sulawesi) Bukan hanya PT Kabaena
yang dokumennya dipinjam oleh Windu Aji untuk menggarong bijih nikel Antam
dengan menjual langsung ke smelter. Setidaknya ada 37 perusahaan lain yang
dokumen RKAB-nya diperjualbelikan dengan PT Lawu Agung Mining. Masifnya
perampokan kekayaan alam negara ini harus diusut tuntas. Pernyataan Presiden Joko
Widodo bahwa penghiliran nikel telah memberikan keuntungan besar bagi bangsa
dan rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Sulawesi, terpatahkan dengan
terkuaknya permainan lancung penjualan nikel ilegal. Alih-alih menguntungkan,
keberadaan nikel justru menambah kerusakan ekosistem hutan, sungai, danau,
dan laut. Pada 2022, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, angka kemiskinan
di Sulawesi Tenggara sebesar 10,11 persen, Sulawesi Tengah 12,33 persen, dan
Sulawesi Selatan 8,7 persen. Padahal tiga provinsi itu penghasil nikel
terbesar. Hampir semua aktivitas
tambang nikel di Sulawesi ini bisa dipastikan tak memperhatikan aspek
perlindungan bagi keanekaragaman hayati. Dengan menggunakan "dokumen
terbang", otomatis perusahaan juga menunggak jaminan reklamasi. Belum
lagi aktivitas ilegal atau biasa disebut “penambang koridoran”. Kejaksaan dan
Kementerian ESDM bisa meniru sistem perizinan tata kelola kayu (SVLK) dalam
tata kelola nikel yang lebih lestari. Sistem baru harus bisa meningkatkan
kredibilitas, transparansi, dan keterlacakan dengan memanfaatkan teknologi
informasi serta geolokasi. ● Sumber : https://majalah.tempo.co/read/opini/169540/korupsi-nikel-ilegal |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar