Senin, 28 Agustus 2023

 

Mengapa Pemerintah Gagap Mengatasi Polusi Udara Jakarta

Egi Adyatama :  Jurnalis Majalah Tempo

MAJALAH TEMPO, 27 Agustus 2023

 

 

                                                           

SILANG pendapat mencuat dalam rapat kabinet terbatas di Istana Merdeka pada Senin, 14 Agustus lalu. Dihadiri sepuluh menteri dan tiga kepala daerah, rapat itu membahas polusi udara di Jakarta dan sekitarnya. Setelah Presiden Joko Widodo menanyakan penyebab tingginya polusi Jakarta, para pejabat negara mulai menyampaikan data yang berbeda.

 

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, yang hadir dalam rapat tersebut, membenarkan ada perbedaan data dari sejumlah pejabat yang hadir. “Kami harus memastikan data yang dipakai akurat,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ad interim ini dalam wawancara melalui Zoom pada Rabu, 23 Agustus lalu.

 

Sebelum Jokowi menggelar rapat—untuk pertama kalinya membahas pencemaran udara di Jakarta—polusi udara tengah mengepung Ibu Kota. Data IQAir, perusahaan teknologi asal Swiss, menunjukkan bahwa tingkat polusi di Jakarta berada pada indeks 150-160 atau masuk kategori tak sehat. Bahkan Jakarta sempat menduduki kota dengan udara terburuk di dunia.

 

IQAir juga mencatat angka PM2.5 atau partikel halus yang berukuran kurang dari 2,5 mikron telah melebihi ambang batas, yaitu berada di kisaran 70 mikrogram per meter kubik atau empat-lima kali melebihi ketentuan Badan Kesehatan Dunia (WHO): 15 mikrogram per meter kubik.

 

PM2.5 muncul dari aktivitas seperti merokok, pembakaran kayu, emisi kendaraan bermotor, serta jerubu dari pembangkit listrik atau industri berbahan bakar batu bara. Partikel halus yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron itu mudah tertiup angin. Besarnya kira-kira rambut dibelah 20. Mereka yang menghirup partikel ini bisa mengalami batuk, sesak napas, atau infeksi saluran pernapasan atas (ISPA).

 

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, yang hadir dalam rapat di Istana, mengatakan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya memberikan informasi bahwa polutan utama dalam polusi udara Jakarta adalah emisi kendaraan. Informasi itu juga dibenarkan oleh Menteri Energi ad interim, Sandiaga Uno.

 

Sandiaga punya kesimpulan lain. Data yang ia bawa menyebutkan bahwa biang kerok utama polusi Jakarta dan sekitarnya adalah aktivitas industri dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara. “PLTU itu dimiliki oleh PLN maupun pembangkit captive industry yang menggunakan fosil di pabrik-pabrik sekitar Jakarta,” ucap Sandiaga.

 

Data Sandiaga mirip dengan temuan Centre for Research on Energy and Clean Air atau CREA. Hasil pemantauan CREA pada Mei-Agustus 2023 menyebutkan lebih dari 130 industri, termasuk PLTU batu bara, di sekitar Jakarta ikut menyumbang polutan PM2.5. Pendiri CREA, Lauri Myllyvirta, mengatakan emisi itu terbawa angin dan mengotori udara Jakarta.

 

Pemerintah memilih menggunakan data pemerintah DKI Jakarta serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), yaitu hasil riset Vital Strategies. Organisasi asal Amerika Serikat itu menyebutkan bahwa emisi karbon monoksida (CO) terbesar datang dari sektor transportasi, yang menyumbang 96,36 persen atau 28.317 ton per tahun. Adapun peran PLTU dan industri cuma 1,76 dan 1,25 persen.

 

Masalahnya, data itu diambil pada 2018-2019 dan baru dipublikasikan pada 2020. Country Coordinator Vital Strategies Indonesia Chintya Imelda Maidir menyatakan data itu disampaikan kepada pejabat KLHK pada Jumat, 11 Agustus lalu, tiga hari sebelum rapat di Istana. “Data anyar baru bisa disimpulkan beberapa bulan ke depan,” kata Imelda saat ditemui Jumat, 25 Agustus lalu.

 

Data tersebut menjadi satu-satunya acuan pemerintah dalam menetapkan kebijakan penanganan polusi. Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto mengklaim data itu masih bisa menjadi acuan inventarisasi emisi di Jakarta. “Kami meyakini polanya sama karena memang kondisi Jakarta tak berubah,” tutur Asep.

 

Dengan data lawas itu pula Jokowi—memimpin rapat sambil terbatuk-batuk—meminta anak buahnya dan pemerintah daerah segera bertindak mengatasi polusi di Jakarta dan sekitarnya. “Betapapun data itu tak akurat, kami bersepakat bahwa polusi udara harus segera ditangani,” ujar Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

 

•••

 

EMPAT hari seusai pertemuan di Istana Merdeka, atau pada Jumat, 18 Agustus lalu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan juga menggelar rapat koordinasi di kantornya. Luhut meminta penanganan polusi udara Jakarta tak hanya berfokus pada sektor transportasi, tapi juga mencakup penyumbang polutan lain, seperti PLTU dan limbah industri.

 

Deputi Bidang Transportasi dan Infrastruktur Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin mengatakan, dalam rapat itu, Luhut meminta segala cara dicoba untuk menekan tingkat polusi. “Pak Luhut meminta solusi yang dibuat bisa dilaksanakan dengan cepat dan berkelanjutan,” kata Rachmat pada Rabu, 23 Agustus lalu.

 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ad interim, Sandiaga Uno, bercerita, ia sempat mendatangi PLTU Suralaya milik PT Indonesia Power di Cilegon, Banten. Tujuannya, memastikan kadar polusi yang dihasilkan pembangkit listrik bertenaga batu bara tersebut.

Sejak menggantikan sementara Menteri Arifin Tasrif, Sandiaga sering menerima berbagai data mengenai penyebab polusi. Termasuk soal PLTU Suralaya yang berkapasitas 3.400 megawatt. “Bahwa polusi ini bersumber dari Suralaya,” ujar Sandiaga kepada Tempo, Kamis, 24 Agustus lalu.

 

PT Perusahaan Listrik Negara atau PLN (Persero), induk dari Indonesia Power, mengklaim PLTU Suralaya terus memonitor emisi menggunakan continuous emission monitoring systems (CEMS) yang dipasang di cerobong asap. Data itu tersambung dengan sistem digital Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

 

“Parameter PM2.5 di sekitar lokasi pembangkit menunjukkan tren yang cenderung menurun dan masih di bawah baku mutu ambient yang ditetapkan pemerintah,” tutur Executive Vice President Komunikasi Korporat PT PLN Gregorius Adi Trianto, Kamis, 24 Agustus lalu.

 

Meski begitu, pertanyaan terhadap kinerja PLTU di sekitar Jakarta, termasuk Suralaya, tetap mencuat. Tiga pejabat bercerita, dalam rapat penanganan polusi Jakarta yang digelar di kantor Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi pada Jumat, 18 Agustus lalu, Menteri Luhut Pandjaitan menanyakan opsi shutdown sementara bagi sejumlah PLTU tersebut.

 

Opsi itu ditolak PLN. Penghentian operasi dianggap akan mengganggu suplai listrik di Jakarta. Dampak lain, pelanggan harus membayar lebih tinggi untuk mendapatkan pasokan listrik. Pemerintah lantas meminta PLN mengakuisisi PLTU swasta di sekitar Jakarta. Juga mengajak industri yang menggunakan sumber energi mandiri berpindah ke listrik PLN.

 

Dalam rapat bersama Presiden pada Senin, 14 Agustus lalu, Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo justru mendorong industri menengah, yang menggunakan pembangkit kecil seperti genset hingga yang memiliki PLTU mandiri, beralih menjadi pelanggan PLN. “PLN memiliki cadangan listrik karena oversupply,” kata Sandiaga Uno.

 

Opsi ini langsung dieksekusi seusai rapat. PLN menjajaki pengambilalihan pelanggan yang selama ini menggunakan jasa PLTU swasta. Namun rencana itu menuai penolakan dari pengusaha.

 

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menyebutkan swasta telah berinvestasi besar untuk membangun PLTU mandiri. “Negara enggak bisa sembarangan. Investor bakal merugi,” ujar Hariyadi pada Jumat, 25 Agustus lalu.

 

PLN pun mulai menjajaki kerja sama dengan industri kecil yang selama ini menggunakan pembangkit listrik mandiri. Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto menyatakan kontrol dan pengawasan terhadap emisi dari industri kecil sulit dilakukan. Sebab, mereka tak wajib memasang alat pemantau baku mutu emisi seperti CEMS.

Berselang tiga hari seusai rapat di kantor Luhut Pandjaitan, Kementerian Lingkungan Hidup menurunkan seratus personel pengawasan dan pengendalian dampak lingkungan ke enam titik lokasi, yaitu Marunda, Cakung, Kelapa Gading, Pulo Gadung, Bekasi, dan Karawang.

 

Dua hari kemudian, KLHK mengumumkan empat perusahaan ditutup karena dianggap mencemari udara. “Jika menemukan pelanggaran lain, kami akan melakukan penindakan,” ucap Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK Rasio Ridho Sani, Rabu, 23 Agustus lalu.

 

Upaya menjauhkan industri dari penggunaan batu bara nyatanya masih jauh panggang dari api. Asep Kuswanto mencontohkan, dua pabrik pengolah minyak sayur di Jakarta Utara berniat mengkonversi batu bara dengan gas yang lebih bersih. Tapi infrastrukturnya belum menunjang. “Mereka harus menunggu dua tahun supaya pipa gas itu sampai di pabrik,” kata Asep.

 

Tak hanya menyasar sumber polusi dari PLTU dan industri, pemerintah juga berupaya menekan tingkat emisi dari sektor transportasi. Tiga pejabat pemerintah yang ditemui Tempo menyebutkan tingginya polutan dari sektor ini terkait dengan peningkatan jumlah kendaraan. Salah satu pendorongnya adalah kebijakan diskon pajak penjualan atas barang mewah atau PPnBM saat masa pandemi Covid-19.

 

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan kenaikan jumlah mobil dari 3,3 juta pada 2020 menjadi 3,7 juta pada 2022 di Jakarta. Secara keseluruhan, jumlah kendaraan pun meningkat dari 24,26 juta menjadi 26,37 juta unit.

 

Ketua Asosiasi Sepeda Motor Listrik Indonesia Budi Setyadi menyebutkan pertumbuhan penjualan mobil didominasi oleh city car. Pada mudik Lebaran lalu, jumlah city car yang melintasi jalan tol mencapai 60-70 persen. “Mobilnya baru dan banyak, tapi kapasitas penumpangnya sedikit,” tutur Budi, Jumat, 25 Agustus lalu.

 

Tingginya tingkat polutan dari kendaraan bermotor juga disebabkan oleh ketiadaan uji emisi kendaraan pribadi. Baru pada Jumat, 4 Agustus lalu, terbit Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Baku Uji Emisi Kendaraan Bermotor. Aturan itu mewajibkan pemilik kendaraan melampirkan hasil uji emisi sebagai syarat administratif pembayaran pajak kendaraan.

 

Opsi menghapus bahan bakar minyak dengan kadar research octane number atau RON 90 seperti Pertalite juga sempat mencuat. Namun Presiden Joko Widodo menolak opsi itu. Menurut Sandiaga Uno, Jokowi khawatir penghapusan Pertalite berdampak pada perekonomian. “Presiden bilang implikasinya pada kenaikan biaya hidup masyarakat,” kata Sandiaga.

 

Upaya pemerintah menekan laju emisi sektor transportasi juga dilakukan dengan penerapan work from home (WFH). Ide ini dimunculkan oleh penjabat Gubernur DKI Jakarta, Heru Budi Hartono. Pada Jumat, 18 Agustus lalu, ia menerbitkan surat edaran yang mengatur 50 persen aparatur sipil negara di DKI bekerja dari rumah. Aturan itu berlaku hingga 21 Oktober mendatang.

 

Berjalan selama empat hari, Heru mengklaim kebijakan itu mampu mengurangi 2 persen jumlah kendaraan di Jakarta. “Tingkat kemacetan pun turun 4 persen,” ujar Heru kepada Tempo, Jumat, 25 Agustus lalu.

 

Kebijakan ini kemudian diperluas ke wilayah di sekitar Jakarta lewat penerbitan instruksi Menteri Dalam Negeri pada Selasa, 22 Agustus lalu. Instruksi itu juga mengimbau masyarakat menggunakan transportasi umum, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, mengenakan masker, hingga menerapkan kembali pembelajaran jarak jauh bagi anak sekolah.

 

•••

 

SEBELUM pemerintah kalang-kabut mengatasi polusi Jakarta dan sekitarnya, berbagai lembaga telah memberikan masukan soal kebijakan untuk mengatasi pencemaran udara. Country Coordinator Vital Strategies Indonesia Chintya Imelda Maidir menyebutkan lembaganya telah lama mendorong pemerintah membuat aturan baku uji emisi.

 

“Baru dieksekusi oleh Kementerian Lingkungan Hidup saat orang ramai membahas polusi,” kata Imelda pada Jumat, 25 Agustus lalu.

 

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Zenzi Suhadi pun menyatakan telah mengingatkan pejabat Kementerian Lingkungan Hidup soal polusi udara Jakarta yang akan terus meningkat. “Saat itu mereka masih ngeles bahwa polusi dipengaruhi angin yang tak berembus. Polusi tak menjadi concern mereka,” ucap Zenzi, Selasa, 22 Agustus lalu.

 

Ketidakpedulian pemerintah terhadap persoalan polusi udara di Jakarta dan sekitarnya, menurut Zenzi, terlihat dari pengajuan permohonan kasasi dalam kasus pencemaran udara pada November 2022. Sebelumnya, pada 16 September 2021, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan Presiden Jokowi bersama anak buahnya dan sejumlah kepala daerah lalai mengurus polusi udara.

 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral ad interim, Sandiaga Uno, mengatakan ia telah mengajukan persoalan polusi udara Jakarta saat menjabat Wakil Gubernur DKI Jakarta pada rentang Oktober 2017-Agustus 2018. “Saat itu enggak terlalu ditanggapi,” ujar Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif ini. ●

 

Sumber :   https://majalah.tempo.co/read/laporan-utama/169598/polusi-udara-jakarta

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar