Senin, 28 Agustus 2023

 

Obituari Marga T : Makna Karyanya Dalam Sastra Indonesia

Seno Gumira Ajidarma :  Penulis Cerita Pendek dan Kritik Seni

MAJALAH TEMPO, 27 Agustus 2023

 

 

                                                           

MARGA T.—yang bernama resmi Margaret Caecilia Lee dan dikenal juga sebagai Intan Margaretha Harjamulia—adalah perempuan penulis yang namanya begitu terkenal, sekaligus begitu konsisten menutupi kehidupan pribadinya. Dengan setengah bercanda, Marga T bilang tidak ingin terganggu ketika naik bus kota atau jalan-jalan di Pasar Baru, Jakarta Pusat.

 

Namun, bagai menempatkan surprise pada akhir fiksi, Marga melakukan hal yang sama bagi riwayat hidupnya sendiri. Pada 2021, terbitlah If Only: A Memoir, yang dengan terbuka mengungkap trauma hidupnya sebagai anak perempuan yang selalu dipukuli.

 

Dengan kata lain, kesuksesan yang tidak pernah memudar semenjak istri Antonius Lee ini dikenal mulai 1970, melalui roman Karmila dan Badai Pasti Berlalu, bagaikan ironi bila terandaikan berjalan paralel dengan masa lalunya yang traumatik.

 

Saat Marga terdeteksi mengidap kanker pada 1992, dokternya bertanya perihal masa kecilnya. Apa hubungannya? Kanker bukanlah penyakit primer, melainkan reaksi atas bencana yang telah lama menyiksa jiwa ataupun raga, sehingga kemarahan dan perasaan tertekan mesti disapu dari sistem. Kata dokter di buku itu, menuliskan kenangan buruk adalah caranya.

 

Betapapun, dengan capaian 128 cerita pendek dan 67 buku, termasuk setidaknya 39 roman, ironi lain masih pula membayangi Marga di balik popularitasnya: selalu perlu dinyatakan betapa roman gubahannya itu bukanlah tergolong sastra, dengan konotasi yang patut disesali sebagai merendahkan. Namanya juga lebih sering tidak tercatat dalam berbagai katalog mapan kesusastraan Indonesia.

 

Prasangka seperti ini bagaikan kanker sosial yang baru bisa dibersihkan oleh pemahaman bahwa perbedaan roman populer dengan berbagai spesifikasinya: ringan, lancar, melodramatik, tapi berakhir bahagia, dan karena itu menghibur dibanding sastra sungguhan, adalah sekadar perbedaan genre alias jenis dalam sastra. Bukan perbedaan harkat. Jadi yang mana pun tetaplah sastra.

 

Namun perbedaan harkat inilah yang secara sosial, bukan tekstual, mencuat dalam komunitas sastra setengah awam yang mengakibatkan para penulis yang pembacanya luas luput diperhitungkan. Seolah-olah dilupakan bahwa dengan kemampuan mengikat pembaca, menggiringnya mengikuti alur, mempertemukan berbagai karakter, melibatkan pembaca untuk berpikir, berempati, teraduk emosinya dalam suasana yang hidup dengan bahasa tanpa kesalahan, dapat tercapai dimensi estetik teruji.

 

Kontribusi genre ini, justru karena popularitasnya, terhadap perkembangan wacana sosial politik pun sama sekali tidak nihil. Marga dan penulis semasa dan "senasib" dengannya, Ashadi Siregar, sering membuktikan yang sebaliknya.                   

 

Istilah seperti "bacaan hiburan", "novel pop", atau "roman picisan" yang ditimpakan kepada prosa produk industri ini sering menjadi bias yang mengganggu kejernihan menangkap makna tersirat dalam pembacaan. Penelitian akademikus di luar Indonesia bahwa semasa Orde Baru sebagian besar sastrawan hanya diam dan membisu dalam konteks 1965, atau hanya menyalahkan "komunis" jika menuliskannya, sudah lama ditepis oleh Marga.

 

Dalam Gema Sebuah Hati (1976) dikisahkan situasi di kalangan peranakan Tionghoa semasa 1965-1966 tentang tokoh bernama Martin yang menganggap keberpihakan kepada kaum proletar itu perlu, tapi bukan kepada Partai Komunis di Indonesia ataupun Cina Daratan. Begitu kuat niatnya sampai ia menuju Cina hanya untuk dikecewakan Revolusi Kebudayaan (1966-1976) sehingga mencari jalan untuk keluar dan tak jelas nasibnya.

 

Alur Martin berkait dengan alur Monik, pacarnya di Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica (sekarang Trisakti) dalam latar politik di kampus, tempat terdapatnya konflik antarmahasiswa yang "merah", seperti Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, dan non-"merah", seperti Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia, ataupun yang plin-plan (oportunis). Marga menggambarkan kehidupan mahasiswa, yang anak kos ataupun elitis, dengan keakraban terhadap berbagai aspek peradaban dalam kebudayaan peranakan Tionghoa.

 

Dalam pemerintahan Orde Baru, ketika Gema Sebuah Hati terbit hanya dua tahun setelah peristiwa Malapetaka 15 Januari atau Malari (1974), roman ini merambah dua wilayah yang biasanya saat itu dihindari: situasi politik kemahasiswaan semasa Orde Lama dan kehidupan sehari-hari keluarga peranakan Tionghoa, notabene kebudayaannya, yang terlarang.

 

Marga adalah seorang dokter dan lingkup kedokteran menjadi semesta penceritaannya. Bukan hanya penyakit-penyakit dan diagnosis, penguasaan kejiwaan pun mengundang kajian akademik tersendiri. Hal ini, misalnya, terlihat dalam peran Lydia pada roman Sekuntum Nozomi jilid ketiga dari lima jilid yang terbit berturut-turut sepanjang 2002-2006.

 

Peneliti David T. Hill, dalam pengantar If Only, menyebutkan pentalogi ini bagaikan magnum opus (adikarya) yang tak pernah dicapai Marga sebelumnya dengan kanvas luas dan periode waktu panjang, tempat segenap peran yang pernah digubahnya berinteraksi. Komentator sosial, mendiang Wimar Witoelar, mengungkapkan rasa syukur bahwa Marga telah menuliskan roman yang menjadi penting berkat penggambaran korban tragedi Mei 1998 dalam jilid ketiga pentalogi tersebut.

 

Pengakuan seperti ini kontras dengan komentar seorang pengamat yang menganggap dunia roman Marga berada di antah-berantah karena nama-nama peran "tanpa akar", seperti Tesa, Kishi, dan Oteba. Namun nama-nama seperti ini, jika memang tanpa akar (tradisi), betapapun lahir dari suatu konstruksi sosial (baru), merupakan kombinasi berbagai varian dalam pertumbuhan urban yang melahirkan tren nama "asing". Ini pun seperti menjawab kesulitan Marga jika ingin menggunakan nama-nama asal peranakan Tionghoa saat Orde Baru masih berkuasa.

 

Bukan hanya roman yang ditulis Marga. Genre lain yang digarapnya adalah cerita pendek dan karya satire atau cerita sindiran. Cerita pendek bahkan adalah tulisannya yang pertama kali dimuat media massa, yakni di Harian Warta Bhakti tahun 1964, berjudul “Kamar 27”.

 

Kecenderungan ke arah satire tampak dalam “Baju, Sepatu, dan Lima Rupiah” yang dimuat harian Kompas tahun 1970. Seorang mahasiswa kedokteran, yang hanya memikirkan baju dan sepatu baru untuk pesta, dihadapkan kepada warga miskin yang sangat bahagia ibunya sembuh, walau uang Rp 5 pun tak punya.

 

Marga adalah seorang penulis cerdas, penuh bakat, dengan humor yang mampu menertawakan dirinya sendiri, dan nyatanya kritis, yang berjuang untuk selalu menulis dalam tekanan personal, sosial, ataupun dalam gerogotan kanker. Pada 2015, pemerintah menganugerahinya Penghargaan Kebudayaan sebagai Pelopor Penulisan Sastra Populer Indonesia, bagaikan akhir yang manis bukan saja bagi Marga, tapi juga bagi genre "bacaan hiburan", "novel pop", dan "roman picisan" yang sebelumnya dipandang sebelah mata sebagai bukan sastra.

 

Marga T., nama ini selalu dihubungkan dengan Marga Tjoa, tapi Marga sendiri tidak bermaksud begitu. Marga T. disingkat M.T., dibaca empty (kosong), karena Marga beranggapan bukan dirinya yang menulis, melainkan Roh Kudus. “The Holy Spirit is my Ghost Writer,” katanya.

 

Lahir di Jakarta pada 1943, Marga meninggal di Malvern, Australia, dalam usia 80 tahun, pada Kamis Kliwon, 17 Agustus lalu. Kepergiannya pada Hari Kemerdekaan di Tanah Air bagai penanda yang tidak bisa lebih tepat lagi: Marga—yang bernama asal Tjoa Liang Tjoe—telah memberikan segala yang bisa dicurahkannya bagi Indonesia. ●

 

Sumber :    https://majalah.tempo.co/read/obituari/169562/obituari-marga-t

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar