Kisah Ketangguhan Pelajar dan Pendidik Kita Iwan Pranoto: Guru Besar Institut Teknologi Bandung |
KOMPAS, 11 Agustus 2023
Dibandingkan negara lain, penutupan
sekolah di Indonesia selama 21 bulan saat wabah Covid-19 lalu termasuk yang
paling lama dan berdampak besar. Sebagai gambaran, penutupan sekolah
hampir dua tahun membuat pelajar kelas IV di Indonesia mengalami
keterlambatan capaian belajar setara 11,2 bulan dalam matematika dan 10,8
bulan dalam bahasa jika dibandingkan dengan capaian pelajar angkatan 2019
(Naik, 2023; Bank Dunia, 2023). Dampak terhadap pelajar dari keluarga
berpenghasilan rendah lebih parah lagi, yakni 18,1 bulan untuk matematika dan
27,2 bulan untuk bahasa. Tak cukup sampai di situ, kemunduran
capaian kecakapan pelajar tadi diperkirakan akan menurunkan pendapatan setara
dengan 14 persen produk domestik bruto (PDB) global hari ini. Generasi
pelajar yang terdampak wabah ini berisiko kehilangan pendapatan sekitar 17
triliun dollar AS (UNESCO, 2021). Melampaui kehilangan Perspektif kapitalistik sempit
berdasarkan ukuran capaian konvensional dan potensi kerugian keuangan pada
fenomena penutupan sekolah ini telah mengerdilkan makna pendidikan.
Kebanyakan laporan organisasi global dan sejumlah penelitian lain juga
menyoroti dampak pada capaian skor akademik dari terhentinya proses belajar
formal semata. Perlu dicatat bahwa sebelum ada wabah
Covid-19, sudah banyak studi meneliti dampak penutupan sekolah, walau
tentunya dalam skala jauh lebih pendek. Setiap tahun, banyak murid lebih dari
enam minggu juga tidak bersekolah dan, biasanya dianggap, tidak belajar. Dari fenomena itu, istilah learning
loss atau kehilangan belajar diartikan sebagai kehilangan kesempatan
mempelajari pengetahuan atau keterampilan (umum atau khusus), atau kemunduran
dalam kemajuan akademik akibat terjadinya diskontinuitas dalam jangka panjang
pada proses pendidikan murid. Anehnya, mengapa istilah kehilangan
belajar saat wabah terutama hanya dikenakan kepada murid, bukan kepada
pendidik, apalagi kepada sekolah dan pemerintah? Padahal, bukankah ketiga
subyek terakhir itu yang kenyataannya telah luput memanfaatkan peluang
belajar dan mengimajinasikan ulang konstruksi sistem pendidikan saat dunia
rehat? Saat semua pelaku pendidikan
memanfaatkan teknologi belajar dan komunikasi secara masif, pedagogi dan
teori belajarnya tidak ikut dikembangkan. Perhatian saat itu terlalu fokus
pada teknologinya, pada gawai dan peranti canggih, bukan memperbaiki konsep
dasar dan strategi belajarnya. Penambahan Sekarang, katakanlah para siswa
generasi Covid-19 memang tak cukup mempelajari muatan pelajaran dalam
kurikulum tertulis seperti sebelum wabah. Namun, rasanya mustahil mereka
tidak mempelajari suatu kecakapan baru dan berharga saat krisis lalu. Jika selama ini upaya menggali
kecakapan yang di luar pengetahuan formal mungkin diabaikan, ini karena
ekspektasi terhadap pendidikan sudah biasa terlalu dikecilkan pada belajar
untuk skor ujian dan capaian akademik semata. Menyedihkannya, penggunaan
ekspektasi usang dan sempit ini juga masih terus dipraktikkan saat wabah dan
pascawabah. Sistem pendidikan tak juga memperbarui dirinya. Terkait praktik usang ini, Kirsten
Robbins dan Kristin Cipollone (2023) berpendapat bahwa ekspektasi pengejaran
skor ujian dan capaian akademik ini telah menyempitkan makna belajar. Padahal, di luar ekspektasi
konvensional itu, mereka menemukan adanya learning gain atau pencapaian hasil
belajar baru pada beberapa murid saat mengalami krisis lalu. Bahkan, mereka
juga mendapati adanya sikap resiliensi atau ketangguhan pada pelajar. Temuan di atas menguatkan keyakinan
bahwa pendidikan bukan sekadar tentang apa yang diketahui dan dapat dilakukan
murid, melainkan—meminjam kata-kata Tan Malaka—terutama tentang penajaman
pikiran, penghalusan perasaan, dan pengukuhan kehendak. Maka, sudah sewajarnya kita mulai
menggali kisah-kisah pencapaian di luar ekspektasi sempit pendidikan di masa
wabah lalu. Seperti bagaimana anak- anak di daerah termarjinalkan telah
menunjukkan ketangguhannya dalam mempertahankan kesempatan belajarnya. Kita perlu menyimak kisah para
pelajar di daerah terpencil yang harus mencari tempat tinggi, seperti naik
pohon, atau duduk di tepi jalan, untuk menangkap jangkauan sinyal internet. Kisah-kisah kemanusiaan ini layak
direkam dalam catatan sejarah pendidikan nasional. Ketangguhan Selain dampak penutupan sekolah di
atas, Bank Dunia mengungkapkan temuan lain yang menarik. Ternyata, meski
penutupan sekolah di Indonesia termasuk yang paling lama, taraf kehilangan
belajar murid sekolah di Indonesia tidak termasuk yang paling parah. Kemungkinan ada yang berargumen sinis
bahwa murid sekolah Indonesia tak mengalami penurunan belajar paling besar
karena mereka memang sudah kurang intensif belajar sejak prawabah. Oleh
karena itu, saat terjadi pandemi dan sekolah ditutup, mereka sudah ”terbiasa”
tak belajar. Akibatnya, kegagalan capaian kecakapan saat prawabah dan saat
wabah tidak banyak berbeda. Berbeda dengan narasi itu, tulisan
ini hendak menggali kisah ketangguhan pelajar dan pendidik yang bertolak
belakang dari narasi learning loss. Kenyataan bahwa pelajar Indonesia
tidak masuk ke dalam kelompok paling parah terdampak kehilangan belajar saat
wabah Covid-19 dapat dimaknai bahwa pelajar, guru, dan masyarakat di sini
memiliki ketangguhan dalam menghadapi masalah. Walau masih terbilang sedikit,
beberapa tulisan akademik sudah menyajikan sisi ”keberhasilan” dari para
pelajar dan juga guru saat menghadapi wabah global lalu. Beberapa di antaranya adalah Jennifer
J Chen dan Nora Jane Krieger (2023) yang mengajak pendidik mengganti
perhatiannya dari learning loss ke learning gain atau peningkatan belajar
karena kenyataannya sejumlah murid telah berhasil menambah beberapa
kompetensi. Kenyataannya, ada beberapa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan
bahkan nilai baru yang diasah pelajar saat wabah meledak. Namun, masalahnya kebanyakan sistem
pendidikan hari ini notorious (terkenal kejelekannya) dalam mengabaikan
berbagai sikap dan nilai yang sulit diukur secara kuantitatif, seperti welas
asih, kedermawanan, kepedulian, pengorbanan, dan kebersamaan. Padahal, bukankah justru faktanya
banyak murid dan guru merawat nilai- nilai mulia tadi saat wabah lalu? Cerita
bertumbuh kembangnya nilai kemanusiaan saat dunia rehat itu yang justru amat
berharga. Cerita itu perlu ditulis dan ditebarkan oleh pendidik dan pengamat
pendidikan sebagai sebuah babak penting kisah peradaban manusia. Dalam studi terbatas di sebuah SMA di
Kabupaten Belitung Timur, Fajri K Nurhidayat, seorang mahasiswa S-2
Pengajaran Matematika ITB, membandingkan capaian pemahaman siswa kelas X
angkatan 2020/2021 dengan 2021/ 2022 pada sebuah topik. Walau kedua angkatan
ini sama-sama mengalami wabah, ternyata angkatan 2021/2022 menunjukkan
penguasaan pemahaman pada semua subtopik yang lebih baik dibandingkan
angkatan 2020/2021. Meskipun datanya baru dari satu
sekolah dan satu topik, studi ini membantu membangun dugaan awal berbenihnya
ketangguhan dan kemampuan beradaptasi pelajar menghadapi rintangan yang
unprecedented (belum pernah terjadi sebelumnya). Studi lanjutan perlu
dilakukan untuk memperbesar data dan menyempurnakan kajiannya. Kisah ketangguhan serta bertunasnya
nilai-nilai kemanusiaan para pelaku pendidikan kala krisis lalu layak
ditafakurkan dan diceritakan untuk dibagikan sebagai sebuah episode penting
dalam sejarah pendidikan nasional dan kemanusiaan. Kisah ketangguhan pelajar
dan pendidik ini tak kalah penting ketimbang narasi learning loss. .● |
Sumber
:https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/10/kisah-ketangguhan-pelajar-dan-pendidik-kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar