Minggu, 13 Agustus 2023

 

Kisah Ketangguhan Pelajar dan Pendidik Kita

Iwan Pranoto: Guru Besar Institut Teknologi Bandung

KOMPAS, 11 Agustus 2023

 

 

                                                           

Dibandingkan negara lain, penutupan sekolah di Indonesia selama 21 bulan saat wabah Covid-19 lalu termasuk yang paling lama dan berdampak besar.

 

Sebagai gambaran, penutupan sekolah hampir dua tahun membuat pelajar kelas IV di Indonesia mengalami keterlambatan capaian belajar setara 11,2 bulan dalam matematika dan 10,8 bulan dalam bahasa jika dibandingkan dengan capaian pelajar angkatan 2019 (Naik, 2023; Bank Dunia, 2023). Dampak terhadap pelajar dari keluarga berpenghasilan rendah lebih parah lagi, yakni 18,1 bulan untuk matematika dan 27,2 bulan untuk bahasa.

 

Tak cukup sampai di situ, kemunduran capaian kecakapan pelajar tadi diperkirakan akan menurunkan pendapatan setara dengan 14 persen produk domestik bruto (PDB) global hari ini. Generasi pelajar yang terdampak wabah ini berisiko kehilangan pendapatan sekitar 17 triliun dollar AS (UNESCO, 2021).

 

Melampaui kehilangan

 

Perspektif kapitalistik sempit berdasarkan ukuran capaian konvensional dan potensi kerugian keuangan pada fenomena penutupan sekolah ini telah mengerdilkan makna pendidikan. Kebanyakan laporan organisasi global dan sejumlah penelitian lain juga menyoroti dampak pada capaian skor akademik dari terhentinya proses belajar formal semata.

 

Perlu dicatat bahwa sebelum ada wabah Covid-19, sudah banyak studi meneliti dampak penutupan sekolah, walau tentunya dalam skala jauh lebih pendek. Setiap tahun, banyak murid lebih dari enam minggu juga tidak bersekolah dan, biasanya dianggap, tidak belajar.

 

Dari fenomena itu, istilah learning loss atau kehilangan belajar diartikan sebagai kehilangan kesempatan mempelajari pengetahuan atau keterampilan (umum atau khusus), atau kemunduran dalam kemajuan akademik akibat terjadinya diskontinuitas dalam jangka panjang pada proses pendidikan murid.

 

Anehnya, mengapa istilah kehilangan belajar saat wabah terutama hanya dikenakan kepada murid, bukan kepada pendidik, apalagi kepada sekolah dan pemerintah? Padahal, bukankah ketiga subyek terakhir itu yang kenyataannya telah luput memanfaatkan peluang belajar dan mengimajinasikan ulang konstruksi sistem pendidikan saat dunia rehat?

 

Saat semua pelaku pendidikan memanfaatkan teknologi belajar dan komunikasi secara masif, pedagogi dan teori belajarnya tidak ikut dikembangkan. Perhatian saat itu terlalu fokus pada teknologinya, pada gawai dan peranti canggih, bukan memperbaiki konsep dasar dan strategi belajarnya.

 

Penambahan

 

Sekarang, katakanlah para siswa generasi Covid-19 memang tak cukup mempelajari muatan pelajaran dalam kurikulum tertulis seperti sebelum wabah. Namun, rasanya mustahil mereka tidak mempelajari suatu kecakapan baru dan berharga saat krisis lalu.

 

Jika selama ini upaya menggali kecakapan yang di luar pengetahuan formal mungkin diabaikan, ini karena ekspektasi terhadap pendidikan sudah biasa terlalu dikecilkan pada belajar untuk skor ujian dan capaian akademik semata. Menyedihkannya, penggunaan ekspektasi usang dan sempit ini juga masih terus dipraktikkan saat wabah dan pascawabah. Sistem pendidikan tak juga memperbarui dirinya.

 

Terkait praktik usang ini, Kirsten Robbins dan Kristin Cipollone (2023) berpendapat bahwa ekspektasi pengejaran skor ujian dan capaian akademik ini telah menyempitkan makna belajar.

 

Padahal, di luar ekspektasi konvensional itu, mereka menemukan adanya learning gain atau pencapaian hasil belajar baru pada beberapa murid saat mengalami krisis lalu. Bahkan, mereka juga mendapati adanya sikap resiliensi atau ketangguhan pada pelajar.

 

Temuan di atas menguatkan keyakinan bahwa pendidikan bukan sekadar tentang apa yang diketahui dan dapat dilakukan murid, melainkan—meminjam kata-kata Tan Malaka—terutama tentang penajaman pikiran, penghalusan perasaan, dan pengukuhan kehendak.

 

Maka, sudah sewajarnya kita mulai menggali kisah-kisah pencapaian di luar ekspektasi sempit pendidikan di masa wabah lalu. Seperti bagaimana anak- anak di daerah termarjinalkan telah menunjukkan ketangguhannya dalam mempertahankan kesempatan belajarnya.

 

Kita perlu menyimak kisah para pelajar di daerah terpencil yang harus mencari tempat tinggi, seperti naik pohon, atau duduk di tepi jalan, untuk menangkap jangkauan sinyal internet.

 

Kisah-kisah kemanusiaan ini layak direkam dalam catatan sejarah pendidikan nasional.

 

Ketangguhan

 

Selain dampak penutupan sekolah di atas, Bank Dunia mengungkapkan temuan lain yang menarik. Ternyata, meski penutupan sekolah di Indonesia termasuk yang paling lama, taraf kehilangan belajar murid sekolah di Indonesia tidak termasuk yang paling parah.

 

Kemungkinan ada yang berargumen sinis bahwa murid sekolah Indonesia tak mengalami penurunan belajar paling besar karena mereka memang sudah kurang intensif belajar sejak prawabah. Oleh karena itu, saat terjadi pandemi dan sekolah ditutup, mereka sudah ”terbiasa” tak belajar. Akibatnya, kegagalan capaian kecakapan saat prawabah dan saat wabah tidak banyak berbeda.

 

Berbeda dengan narasi itu, tulisan ini hendak menggali kisah ketangguhan pelajar dan pendidik yang bertolak belakang dari narasi learning loss.

 

Kenyataan bahwa pelajar Indonesia tidak masuk ke dalam kelompok paling parah terdampak kehilangan belajar saat wabah Covid-19 dapat dimaknai bahwa pelajar, guru, dan masyarakat di sini memiliki ketangguhan dalam menghadapi masalah. Walau masih terbilang sedikit, beberapa tulisan akademik sudah menyajikan sisi ”keberhasilan” dari para pelajar dan juga guru saat menghadapi wabah global lalu.

 

Beberapa di antaranya adalah Jennifer J Chen dan Nora Jane Krieger (2023) yang mengajak pendidik mengganti perhatiannya dari learning loss ke learning gain atau peningkatan belajar karena kenyataannya sejumlah murid telah berhasil menambah beberapa kompetensi. Kenyataannya, ada beberapa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan bahkan nilai baru yang diasah pelajar saat wabah meledak.

 

Namun, masalahnya kebanyakan sistem pendidikan hari ini notorious (terkenal kejelekannya) dalam mengabaikan berbagai sikap dan nilai yang sulit diukur secara kuantitatif, seperti welas asih, kedermawanan, kepedulian, pengorbanan, dan kebersamaan.

 

Padahal, bukankah justru faktanya banyak murid dan guru merawat nilai- nilai mulia tadi saat wabah lalu? Cerita bertumbuh kembangnya nilai kemanusiaan saat dunia rehat itu yang justru amat berharga. Cerita itu perlu ditulis dan ditebarkan oleh pendidik dan pengamat pendidikan sebagai sebuah babak penting kisah peradaban manusia.

 

Dalam studi terbatas di sebuah SMA di Kabupaten Belitung Timur, Fajri K Nurhidayat, seorang mahasiswa S-2 Pengajaran Matematika ITB, membandingkan capaian pemahaman siswa kelas X angkatan 2020/2021 dengan 2021/ 2022 pada sebuah topik. Walau kedua angkatan ini sama-sama mengalami wabah, ternyata angkatan 2021/2022 menunjukkan penguasaan pemahaman pada semua subtopik yang lebih baik dibandingkan angkatan 2020/2021.

 

Meskipun datanya baru dari satu sekolah dan satu topik, studi ini membantu membangun dugaan awal berbenihnya ketangguhan dan kemampuan beradaptasi pelajar menghadapi rintangan yang unprecedented (belum pernah terjadi sebelumnya). Studi lanjutan perlu dilakukan untuk memperbesar data dan menyempurnakan kajiannya.

 

Kisah ketangguhan serta bertunasnya nilai-nilai kemanusiaan para pelaku pendidikan kala krisis lalu layak ditafakurkan dan diceritakan untuk dibagikan sebagai sebuah episode penting dalam sejarah pendidikan nasional dan kemanusiaan. Kisah ketangguhan pelajar dan pendidik ini tak kalah penting ketimbang narasi learning loss. .

 

Sumber :https://www.kompas.id/baca/opini/2023/08/10/kisah-ketangguhan-pelajar-dan-pendidik-kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar