Minggu, 13 Agustus 2023

 

Sejarah Panjang Kontes Kecantikan di Indonesia

Dr Mutiah Amini : Dosen Sejarah UGM Yogyakarta

REPUBLIKA, 11 Agustus 2023

 

                                                

 

Keberanian peserta ajang Miss Universe Indonesia 2023 membuka diri dan melaporkan “dugaan” pelecehan yang mereka alami ke polisi merupakan sejarah baru dalam ajang kontes kecantikan di Indonesia. Istilah body checking, terlebih dilakukan tanpa busana bahkan difoto, yang mungkin tidak pernah kita dengar memicu sang peserta berani mengungkapkan apa yang telah ia alami dalam proses menuju final. Kritik terhadap penyelenggaraan kontes kecantikan sejatinya datang dari mereka yang berada di luar ajang kontes-kontesan, bukan dari peserta. 

 

Pelaporan finalis Miss Universe Indonesia 2023 tentu saja memantik keingintahuan masyarakat. Apalagi, mundurnya CEO Miss Universe Indonesia Eldwen Wang dan Visual Director Miss Universe Indonesia Rio Motret makin membuat publik bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi dalam perhelatan tersebut.

 

Yayasan Puteri Indonesia (YPI) yang selama ini merupakan representasi dari Miss Universe Dunia di Indonesia merilis bahwa “sejak Februari 2023 kami sudah tidak lagi memegang lisensi Miss Universe Organization, sejak itu Yayasan Puteri Indonesia yang berada dalam naungan kami tidak memiliki kaitan dengan ajang tersebut” (Republika, 8/8/2023).

 

Polemik sepertinya tidak pernah lepas dari ajang kontes kecantikan. Jauh sebelum permasalahan Miss Universe Indonesia 2023 muncul, Ketua Umum Badan Pengurus Yayasan Putri Indonesia BRA Mooryati Soedibyo P Hadiningrat pernah mengatakan, “Sebaiknya memang jangan berpikir terlalu negatif atas kegiatan pemilihan ratu-ratuan, karena pada umumnya tujuan pemilihan ratu-ratuan itu positif. Memang bisa saja kegiatan itu diarahkan ke hal-hal yang negatif, tapi motivasi dari penyelenggaraan pemilihan ratu-ratuan itu baik di tingkat nasional maupun internasional bukan demikian” (Berita Yudha 7/8/1994). 

 

Dalam Berita Yudha pula disebutkan bahwa Kongres Wanita Indonesia (Kowani) sebagai gabungan organisasi perempuan di Indonesia memberikan lampu hijau wakil Indonesia mengikuti ajang pemilihan ratu-ratuan dunia. Tentu saja Kowani mengajukan syarat kontes ratu-ratuan, yaitu tidak bertentangan dengan kepribadian dan norma-norma yang dijunjung tinggi bangsa Indonesia. Karena itu, menurut Mooryati kriteria pemilihan Miss Universe adalah Tiga B: background, beauty & brilliant, bukan kepada bentuk badan.

 

Saat wakil Indonesia berlaga dalam ajang Miss Universe Dunia tentu harus mengikuti seluruh aturan yang berlaku. Salah satunya berjalan di panggung dan pemotretan mengenakan pakaian renang. Inilah yang kemudian selalu memunculkan reaksi masyarakat. 

 

Bukan jenis pakaian renang one piece atau two piece yang menjadi masalah, melainkan tidak eloknya perempuan Indonesia “mempertontonkan tubuh” di muka umum. Jika memang demikian, mau tidak mau beauty memang berkait erat dengan tubuh perempuan dan itu selalu menjadi satu poin penilaian.

 

Sejak awal abad ke-20 kontes kecantikan muncul di berbagai negara sebagai penanda hadirnya perempuan di ruang-ruang publik demi menunjukkan identitasnya. Kontes kecantikan lebih menonjolkan penampilan feminin seseorang (individu), kecantikan, dan kompetisi itu sendiri. Dalam buku Beauty Queens on the Global Stage: Gender, Contests, and Power, Cohen dkk menyatakan bahwa kontes kecantikan merupakan suatu cara untuk menentukan figur terpilih. Karena itu, kontes kecantikan sering kali diiringi isu-isu politik yang melingkupi kehidupan sang kontestan, sponsor, orang yang mengorganisasi, maupun penggemar (Cohen, Colleen Ballerino dkk., 1996).

 

Pendapat Cohen dkk sepertinya berkorelasi dengan pertarungan produk minuman Coca-Cola dan Pepsi-Cola, misalnya, yang tidak lepas dari kontes kecantikan. Dua perempuan cantik India yang memiliki tubuh indah, intelegensi tinggi, dan pribadi menarik terpilih menjadi Miss Universe dan Miss World dalam periode bersamaan. Atas nama sponsor, Sushmita Sein (Miss Universe) dan Aishwarya Rai (Miss World) berusaha memikat masyarakat India untuk membeli dua minuman cola produk Amerika Serikat (Berita Yudha, 9/1/1995).

 

Ibu Ideal

 

Kontes-kontesan berkait dengan perempuan sebenarnya sudah ada sejak Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Para perempuan pribumi bersaing dalam ajang pencarian “Ibu Sedjati” pada 1935. Lebih dari 90 perempuan berjalan di atas panggung mengenakan pakaian lurik yang disaksikan sekitar 3.000 penonton pasar malam di Semarang. Pihak penyelenggara menilai penampilan para perempuan untuk mendapatkan figur ibu sejati dengan kriteria yang sesuai masa itu. 

 

Ki Hadjar Dewantara sebagai ketua Taman Siswa menggambarkan dengan detail jalannya kontestasi tersebut. “Menoeroet atoerannja concours, dan terboekti djoega didalam berlangsoengnja oendian, maka sekalian perempoean jang toeroet, haroes dipertoenjoekkan pada publiek Pasar-Malem, sedangkan jurie akan memberi bidji tidak hanja berhoeboeng dengan roepanja pakaian-loerik, akan tetapi djoega pantesnja pakaian dengan jang memakainja. Soenggoehpoen comite berkata akan mendjaga, djanganla sampai orang perempoean jang ta’ bersoesila toeroet pada councours itoe, akan tetapi tiap-tiap orang mengerti sebeloemnja, bahoea pendjagaan-kesoesilaan ta’ akan dapat berlakoe baik, dimana perempoean dipertoenjoekkan pada “publiek Pasar-Malem”. Terbuktilah djoega, bahoea banjaklah bajaderes (ronggeng) dan lain-lain perempoean jang boleh dinamakan “van verdachte reputatie” toeroet berconcours, bersama-sama dengan gadis-gadis dan njonjah-njonjah, jang “fatsjoenlijk”. Malah satoe dari pada ronggeng-ronggeng itoe ada jang mendapat prijs, jaitoe mBok Mas Soelandjari” (Wasita, Tahoen ke I No. 7, Agoestoes 1935).

 

Karena penyelenggaranya para perempuan terpelajar, kita berpikir bahwa dalam kontes tersebut pasti memberlakukan sebuah standar penilaian yang cukup tinggi. Terlebih, untuk memilih figur ibu sejati versi pribumi. Jika kita membayangkan masa itu yang belum ada media sosial, bahkan televisi pun belum ada, untuk mencari figur ibu sejati mungkin lebih mudah. 

 

Mungkin kritikan tidak akan muncul karena para perempuan belum terkontaminasi dengan budaya global serta masih menjalani tradisi dan aturan budaya lokal yang ketat. Ternyata memilih figur ibu sejati tidak semudah yang kita bayangkan. Ketika penyelenggara menetapkan Mbok Mas Soelandjari sebagai pemenang, masyarakat melontarkan “protes”. 

 

Masyarakat menilai Soelandjari tidaklah tepat menjadi representasi ibu sejati karena profesinya seorang penari ronggeng. Sebagai sebuah seni musik dan tari tradisional, seni ronggeng amatlah terkenal. Jika sudah terkenal, sebuah kelompok seni ronggeng kerap tampil dari desa ke desa. Yang membuat seni ronggeng identik dengan konotasi negatif adalah konstruksi masyarakat tentang penarinya. Dalam konstruksi masyarakat sang penari sering kali bisa “diajak kencan sesaat” oleh lelaki yang menari bersamanya di atas panggung dan membayarnya dengan sejumlah uang.  

 

Novel Ronggeng Dukuh Paruh karya Ahmad Tohari menggambarkan dengan jelas perjalanan hidup penari ronggeng. Artinya, protes dilakukan terhadap kontes kecantikan bukan karena tubuh, tetapi karena figur seseorang.

 

Tidak hanya masyarakat umum yang melakukan protes, para aktivis perempuan pun melakukan kritik. Ibu Sukaptinah Soenarjo Mangoenpoespito, misalnya, yang merupakan tokoh pergerakan perempuan, pemimpin organisasi Isteri Indonesia, sekaligus ketua Kongres Perempuan di Semarang turut menyatakan pendapatnya. Wawancara dengan redaktur majalah Keoetamaan-Isteri itu dimuat beberapa tahun kemudian. “Njonja Soenarjo, apakah jang telah dikerdjakan oleh Isteri-Indonesia Semarang bagi oemoem? tanja saja. Pertama: kami telah memprotest adanja Concourse loerik, sebab menoeroet hemat kami concourse ketjantikan jang soedah tentoe boekan menjadi maksoednja Comite Pasar Malam” (Keoetamaan-Isteri, 1941).

 

Merunut sejarahnya, para perempuan Eropa yang tinggal di Hindia Belanda pernah menyelenggarakan kontes yang hampir sama. Dalam ajang tersebut panitia menampilkan sosok perempuan Eropa yang mengenakan model-model pakaian terbaru lengkap dengan tutup kepala. Apa yang perempuan kenakan dan tampilkan dalam kontes saat itu mencerminkan perkembangan model pakaian yang sedang trend di Eropa. Hal itu mereka lakukan agar berbeda dengan penampilan perempuan pribumi. Acaranya pun dikemas lebih mirip dengan kontes mode. Ide inilah yang mungkin diadopsi para perempuan pribumi terpelajar kala itu.

 

Perempuan Eropa dengan kontes modenya serta perempuan pribumi dengan pencarian sosok ibu sejatinya, sebenarnya memiliki kesamaan mendasar, yaitu ingin menampilkan sosok perempuan di ruang publik. Namun, ketika sang sosok terpilih tidak sejalan dengan konstruksi masyarakat umum tentu memunculkan reaksi. Organisasi sosial kemasyarakatan hingga organisasi keagamaan menyuarakan kritik melalui tulisan di media cetak maupun lisan dalam pertemuan-pertemuan internal.

 

Taman Siswa melalui Ki Hadjar Dewantara secara tegas mengatakan bahwa “terbukti dari pengumuman-pengumuman Komite Pasar Malam dan Komite Konkurs, dari peraturanja, lagi berlakunja pertandang tersebut, njatalah konkurs jang telah berlangsung dimedan Pasar Malam di Semarang itu, bersifat suatu penghinaan terhadap kaum perempuan dalam umumnja, dan perempuan bangsa Indonesia chususnja”. Senada dengan Taman Siswa, Muhammadiyah dan Aisyiyah di Yogyakarta juga menyampaikan kritikan yang sama.  

 

Mereka menganggap bahwa mempertontokan perempuan di ruang-ruang publik bukanlah adat ketimuran yang memperhatikan moralitas masyarakat. Kontes perempuan merupakan tradisi Eropa yang tidak perlu diadopsi para perempuan pribumi (Dewantara, 1967:254).

 

Lebih tegas, Ki Hadjar mengecam bahwa penamaan “lurik” dalam ajang tersebut hanyalah siasat ekonomi yang membohongi rakyat. 

 

Berbeda dengan kontes mode perempuan Eropa yang sepertinya sengaja untuk memikat hati para perempuan Eropa di Hindia Belanda untuk membeli pakaian model terbaru. Meskipun kecaman begitu banyak, Residen Semarang KJA Orie tetap membela penyelenggara kontes. Ia mengatakan bahwa penting untuk menyelenggarakan kontes demi kemajuan perempuan itu sendiri. 

 

Ia akan bertanggung jawab atas segala kritikan yang muncul, termasuk kritikan Ki Hadjar, “yang teristimewa harus ditjela jaitu karena Subkomite pertandingan, jang menghina kaum perempuan Indonesia itu dipimpin dan diurus oleh orang-orang bangsa Indonesia, bahkan jang karena kedudukannja didalam kalangan kebangsaan, baik sebagai orang terpeladjar (intelektuil maupun sebagai pedjabat pekerdjaan jang agak terutama atau sebagai pemimpin pergerakan atau badan kebangsaan, sehingga boleh dibilang orang-orang jang berpengaruh pada rakjat" (IIA Kebudajaan, 1967:254).

 

Reproduksi Kontes

 

Ajang kontes kecantikan muncul kembali pada era kemerdekaan. Hampir sama dengan kontes sebelumya pada masa kolonial, penyelenggara kontes pada awal kemerdekaan juga kelas perempuan terpelajar. Melalui kontes tersebut, mereka mencari sosok perempuan cerdas, cantik, serta mampu mengadaptasi kemajuan zaman. Penyelenggaraan kontes kecantikan masa ini begitu masif di kota-kota besar di Indonesia. Ada kompetisi untuk lingkup lokal, ada pula kontestasi yang berjenjang hingga ke tingkat nasional bahkan internasional. Berbeda dengan kontes-kontes yang sedang tren pada masanya, mahasiswi Universitas Gadjah Mada lebih memilih menyelenggarakan kontes pakaian lurik.  

 

Sepertinya mereka ingin memperlihatkan bahwa kontes yang cocok bagi perempuan adalah kontes mode, seperti pernah dilaksanakan pada masa kolonial, namun dikemas lebih modern. “Demikianlah setelah Kustini Prodjolalito, Larasati, Rusmini, Martini dll jang sungguh djoli bergaya, band Rythm Brothers dan seperangkat penari Whisnuwardhana telah berhasil mengisi kenikmatan kita untuk beberapa djam dalam suguhan2 jang menjenangkan dimalam pandjang malam minggu jang tenang ….” (Gadjah Mada, 1959).

 

Kontestasi kecantikan begitu masif dengan nama dan tema acara yang beragam, seperti kontes Ratu Sanggul, Ratu Kacamata, Ratu Kebaya, Ratu Vespa, atau Ratu Pariwisata. Atau kontes lainnya, seperti Miss Personality dan Miss Indonesia. Maraknya kontes-kontesan yang menilai penampilan dan tubuh perempuan pada 1970-an, membuat pemerintah merasa gerah dan mengeluarkan larangan atas penyelenggaraan kontes.

 

Pelarangan sebatas pelarangan tanpa tindakan. Kontes kecantikan masih terus berjalan. Bahkan, periode 1980-an menjadi babak baru kontes kecantikan di Indonesia. Tidak hanya di tingkat nasional, pemenang kontes mulai unjuk kemampuan di kontes kecantikan internasional Miss Universe.

 

Kontes kecantikan makin populer seiring dengan penayangannya di media televisi secara live. Masyarakat di seluruh Indonesia dapat menyaksikan malam final kontes yang berlangsung di Jakarta hanya dengan duduk menonton televisi. Kontes-kontes yang sebelumnya berlangsung di ruang terbatas muncul ke ruang publik secara terbuka. Tidak sekadar memilih perempuan cantik dengan segala kelebihannya, kontes menjadi komoditas hiburan. Inilah ciri budaya populer (pop culture) di mana sesuatu menjadi tren yang diharapkan menghasilkan keuntungan.

 

Kathy Peiss menyinyalir bahwa kontes-kontesan sebenarnya merupakan arena untuk mempromosikan kepentingan-kepentingan ekonomis. Dalam kontes tersebut sebuah produk yang dikemas baik dan sering kali lebih glamor kemudian dipamerkan atau dikompetisikan oleh para model (Kathy Peiss, 2001: 7). Kontes dalam beberapa hal juga berdimensi sosial. Artinya, para peserta kontestasi seakan-akan menjadi bagian dari kelas sosial mereka yang terlibat di dalamnya. Ia sekaligus juga menjadi bagian dari identitas kelompok yang terbentuk (Joselit, 2001: 7—26). 

 

Sekalipun kontes kecantikan dikemas secara populer, konsep dan makna cantik tentu memiliki makna yang berbeda. Martha Tilaar, misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa konsep cantik dalam tradisi Barat berbeda dengan konsep cantik menurut budaya Nusantara, khususnya Jawa. Menurut budaya Jawa, cantik adalah berpadunya kecantikan luar dan kecantikan dalam seorang manusia (Tilaar, 2017). Dalam bahasa saat ini, seorang perempuan harus memiliki outer dan inner beauty. Memang dibutuhkan syarat-syarat khusus untuk memunculkan kecantikan luar-dalam, antara lain, terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin, kemampuan olah tubuh, serta rasa dan raga.

 

Perempuan dan Tubuh

 

Atas nama kecantikan, meminjam istilah Mooryati kontes ratu-ratuan, tidak terlepas dari setiap ajang pemilihan putri maupun miss di Indonesia. Nilai-nilai kepantasan atau ketidakpantasan dalam suatu kontes yang melibatkan perempuan memunculkan perbedaan persepsi dari zaman ke zaman. Norma yang dahulu dianggap tabu perlahan bergeser menjadi biasa dan wajar-wajar saja.

 

Seorang Muslimah pun tidak lepas dari kompetisi. Perhelatan Puteri Muslimah atau Hijab Hunt, misalnya, kriteria utama penentuan pemenangnya juga sama: kecantikan. Tentu saja kecantikan yang tidak lepas dari kaidah-kaidah agama. Dan ini dianggap normal, yang pada masa-masa sebelumnya tidak pernah terbayangkan bakal ada pihak-pihak yang menyelenggarakan kontes bagi perempuan Muslim.

 

Perbedaan sudut pandang kecantikan seorang perempuan, dalam bahasa akademik, merupakan bagian dari perdebatan tentang tubuh, terutama ketika area privat dikomodifikasi sebagai ruang publik, apalagi dipertontonkan dan dikompetisikan, pasti memunculkan aksi dan reaksi. Kritikan demi kritikan kerap menyertai kontes-kontesan, tapi tidak pernah protes muncul dari peserta kontes. Mereka menikmati jalannya seluruh tahapan kontes, seperti ungkapan salah seorang peserta, “Saya melepaskan diri dan menikmati saat menjadi peserta” (Jawa Pos, 25/11/2005).

 

Perbedaan persepsi akan selalu muncul saat sesuatu yang tadinya berada di ranah privat diangkat ke ruang publik tanpa disertai concern dari para pemiliknya. Tubuh yang masuk area privat, tidak harus dikomodifikasi ke ranah publik. Di sinilah relasi kuasa akan berjalan dengan sendirinya. Tidak mengherankan jika peserta Miss Universe Indonesia 2023 berani melaporkan atas tindakan yang tidak sepatutnya. Apalagi mereka yang menjadi peserta kontes-kontesan sejak Indonesia Merdeka berasal dari kalangan elite terpelajar. Para perempuan sadar betul bahwa relasi kuasa bukan sesuatu yang dapat direproduksi di dalam kehidupan bermasyarakat dalam kondisi apa pun. Dengan kesadaran bahwa perempuan “terjebak” di dalam sebuah ruang dan waktu, kesempatan untuk membuka suara hanyalah perkara waktu saja. Era keterbukaan informasi dan media sosial amatlah mendukung semuanya.

 

Sumber :   https://www.republika.id/posts/44147/sejarah-panjang-kontes-kecantikan-di-indonesia

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar