Sejarah
Panjang Kontes Kecantikan di Indonesia Dr Mutiah
Amini : Dosen Sejarah UGM Yogyakarta |
REPUBLIKA, 11 Agustus 2023
Keberanian peserta ajang Miss Universe Indonesia
2023 membuka diri dan melaporkan “dugaan” pelecehan yang mereka alami ke
polisi merupakan sejarah baru dalam ajang kontes kecantikan di Indonesia.
Istilah body checking, terlebih dilakukan tanpa busana bahkan difoto, yang
mungkin tidak pernah kita dengar memicu sang peserta berani mengungkapkan apa
yang telah ia alami dalam proses menuju final. Kritik terhadap
penyelenggaraan kontes kecantikan sejatinya datang dari mereka yang berada di
luar ajang kontes-kontesan, bukan dari peserta. Pelaporan finalis Miss Universe Indonesia 2023
tentu saja memantik keingintahuan masyarakat. Apalagi, mundurnya CEO Miss
Universe Indonesia Eldwen Wang dan Visual Director Miss Universe Indonesia
Rio Motret makin membuat publik bertanya-tanya, apa sebenarnya yang terjadi
dalam perhelatan tersebut. Yayasan Puteri Indonesia (YPI) yang selama ini
merupakan representasi dari Miss Universe Dunia di Indonesia merilis bahwa
“sejak Februari 2023 kami sudah tidak lagi memegang lisensi Miss Universe
Organization, sejak itu Yayasan Puteri Indonesia yang berada dalam naungan
kami tidak memiliki kaitan dengan ajang tersebut” (Republika, 8/8/2023). Polemik sepertinya tidak pernah lepas dari ajang
kontes kecantikan. Jauh sebelum permasalahan Miss Universe Indonesia 2023
muncul, Ketua Umum Badan Pengurus Yayasan Putri Indonesia BRA Mooryati
Soedibyo P Hadiningrat pernah mengatakan, “Sebaiknya memang jangan berpikir
terlalu negatif atas kegiatan pemilihan ratu-ratuan, karena pada umumnya
tujuan pemilihan ratu-ratuan itu positif. Memang bisa saja kegiatan itu
diarahkan ke hal-hal yang negatif, tapi motivasi dari penyelenggaraan
pemilihan ratu-ratuan itu baik di tingkat nasional maupun internasional bukan
demikian” (Berita Yudha 7/8/1994). Dalam Berita Yudha pula disebutkan bahwa Kongres
Wanita Indonesia (Kowani) sebagai gabungan organisasi perempuan di Indonesia
memberikan lampu hijau wakil Indonesia mengikuti ajang pemilihan ratu-ratuan
dunia. Tentu saja Kowani mengajukan syarat kontes ratu-ratuan, yaitu tidak
bertentangan dengan kepribadian dan norma-norma yang dijunjung tinggi bangsa
Indonesia. Karena itu, menurut Mooryati kriteria pemilihan Miss Universe
adalah Tiga B: background, beauty & brilliant, bukan kepada bentuk badan. Saat wakil Indonesia berlaga dalam ajang Miss
Universe Dunia tentu harus mengikuti seluruh aturan yang berlaku. Salah
satunya berjalan di panggung dan pemotretan mengenakan pakaian renang. Inilah
yang kemudian selalu memunculkan reaksi masyarakat. Bukan jenis pakaian renang one piece atau two
piece yang menjadi masalah, melainkan tidak eloknya perempuan Indonesia
“mempertontonkan tubuh” di muka umum. Jika memang demikian, mau tidak mau
beauty memang berkait erat dengan tubuh perempuan dan itu selalu menjadi satu
poin penilaian. Sejak awal abad ke-20 kontes kecantikan muncul di
berbagai negara sebagai penanda hadirnya perempuan di ruang-ruang publik demi
menunjukkan identitasnya. Kontes kecantikan lebih menonjolkan penampilan
feminin seseorang (individu), kecantikan, dan kompetisi itu sendiri. Dalam
buku Beauty Queens on the Global Stage: Gender, Contests, and Power, Cohen
dkk menyatakan bahwa kontes kecantikan merupakan suatu cara untuk menentukan
figur terpilih. Karena itu, kontes kecantikan sering kali diiringi isu-isu
politik yang melingkupi kehidupan sang kontestan, sponsor, orang yang
mengorganisasi, maupun penggemar (Cohen, Colleen Ballerino dkk., 1996). Pendapat Cohen dkk sepertinya berkorelasi dengan
pertarungan produk minuman Coca-Cola dan Pepsi-Cola, misalnya, yang tidak
lepas dari kontes kecantikan. Dua perempuan cantik India yang memiliki tubuh
indah, intelegensi tinggi, dan pribadi menarik terpilih menjadi Miss Universe
dan Miss World dalam periode bersamaan. Atas nama sponsor, Sushmita Sein
(Miss Universe) dan Aishwarya Rai (Miss World) berusaha memikat masyarakat
India untuk membeli dua minuman cola produk Amerika Serikat (Berita Yudha,
9/1/1995). Ibu Ideal Kontes-kontesan berkait dengan perempuan
sebenarnya sudah ada sejak Indonesia masih bernama Hindia Belanda. Para
perempuan pribumi bersaing dalam ajang pencarian “Ibu Sedjati” pada 1935.
Lebih dari 90 perempuan berjalan di atas panggung mengenakan pakaian lurik
yang disaksikan sekitar 3.000 penonton pasar malam di Semarang. Pihak
penyelenggara menilai penampilan para perempuan untuk mendapatkan figur ibu
sejati dengan kriteria yang sesuai masa itu.
Ki Hadjar Dewantara sebagai ketua Taman Siswa
menggambarkan dengan detail jalannya kontestasi tersebut. “Menoeroet
atoerannja concours, dan terboekti djoega didalam berlangsoengnja oendian,
maka sekalian perempoean jang toeroet, haroes dipertoenjoekkan pada publiek
Pasar-Malem, sedangkan jurie akan memberi bidji tidak hanja berhoeboeng
dengan roepanja pakaian-loerik, akan tetapi djoega pantesnja pakaian dengan
jang memakainja. Soenggoehpoen comite berkata akan mendjaga, djanganla sampai
orang perempoean jang ta’ bersoesila toeroet pada councours itoe, akan tetapi
tiap-tiap orang mengerti sebeloemnja, bahoea pendjagaan-kesoesilaan ta’ akan
dapat berlakoe baik, dimana perempoean dipertoenjoekkan pada “publiek
Pasar-Malem”. Terbuktilah djoega, bahoea banjaklah bajaderes (ronggeng) dan
lain-lain perempoean jang boleh dinamakan “van verdachte reputatie” toeroet
berconcours, bersama-sama dengan gadis-gadis dan njonjah-njonjah, jang
“fatsjoenlijk”. Malah satoe dari pada ronggeng-ronggeng itoe ada jang
mendapat prijs, jaitoe mBok Mas Soelandjari” (Wasita, Tahoen ke I No. 7,
Agoestoes 1935). Karena penyelenggaranya para perempuan
terpelajar, kita berpikir bahwa dalam kontes tersebut pasti memberlakukan
sebuah standar penilaian yang cukup tinggi. Terlebih, untuk memilih figur ibu
sejati versi pribumi. Jika kita membayangkan masa itu yang belum ada media
sosial, bahkan televisi pun belum ada, untuk mencari figur ibu sejati mungkin
lebih mudah. Mungkin kritikan tidak akan muncul karena para
perempuan belum terkontaminasi dengan budaya global serta masih menjalani
tradisi dan aturan budaya lokal yang ketat. Ternyata memilih figur ibu sejati
tidak semudah yang kita bayangkan. Ketika penyelenggara menetapkan Mbok Mas
Soelandjari sebagai pemenang, masyarakat melontarkan “protes”. Masyarakat menilai Soelandjari tidaklah tepat
menjadi representasi ibu sejati karena profesinya seorang penari ronggeng.
Sebagai sebuah seni musik dan tari tradisional, seni ronggeng amatlah
terkenal. Jika sudah terkenal, sebuah kelompok seni ronggeng kerap tampil dari
desa ke desa. Yang membuat seni ronggeng identik dengan konotasi negatif
adalah konstruksi masyarakat tentang penarinya. Dalam konstruksi masyarakat
sang penari sering kali bisa “diajak kencan sesaat” oleh lelaki yang menari
bersamanya di atas panggung dan membayarnya dengan sejumlah uang. Novel Ronggeng Dukuh Paruh karya Ahmad Tohari
menggambarkan dengan jelas perjalanan hidup penari ronggeng. Artinya, protes
dilakukan terhadap kontes kecantikan bukan karena tubuh, tetapi karena figur
seseorang. Tidak hanya masyarakat umum yang melakukan protes,
para aktivis perempuan pun melakukan kritik. Ibu Sukaptinah Soenarjo
Mangoenpoespito, misalnya, yang merupakan tokoh pergerakan perempuan,
pemimpin organisasi Isteri Indonesia, sekaligus ketua Kongres Perempuan di
Semarang turut menyatakan pendapatnya. Wawancara dengan redaktur majalah
Keoetamaan-Isteri itu dimuat beberapa tahun kemudian. “Njonja Soenarjo,
apakah jang telah dikerdjakan oleh Isteri-Indonesia Semarang bagi oemoem?
tanja saja. Pertama: kami telah memprotest adanja Concourse loerik, sebab
menoeroet hemat kami concourse ketjantikan jang soedah tentoe boekan menjadi
maksoednja Comite Pasar Malam” (Keoetamaan-Isteri, 1941). Merunut sejarahnya, para perempuan Eropa yang
tinggal di Hindia Belanda pernah menyelenggarakan kontes yang hampir sama.
Dalam ajang tersebut panitia menampilkan sosok perempuan Eropa yang
mengenakan model-model pakaian terbaru lengkap dengan tutup kepala. Apa yang
perempuan kenakan dan tampilkan dalam kontes saat itu mencerminkan
perkembangan model pakaian yang sedang trend di Eropa. Hal itu mereka lakukan
agar berbeda dengan penampilan perempuan pribumi. Acaranya pun dikemas lebih
mirip dengan kontes mode. Ide inilah yang mungkin diadopsi para perempuan
pribumi terpelajar kala itu. Perempuan Eropa dengan kontes modenya serta
perempuan pribumi dengan pencarian sosok ibu sejatinya, sebenarnya memiliki
kesamaan mendasar, yaitu ingin menampilkan sosok perempuan di ruang publik.
Namun, ketika sang sosok terpilih tidak sejalan dengan konstruksi masyarakat
umum tentu memunculkan reaksi. Organisasi sosial kemasyarakatan hingga
organisasi keagamaan menyuarakan kritik melalui tulisan di media cetak maupun
lisan dalam pertemuan-pertemuan internal. Taman Siswa melalui Ki Hadjar Dewantara secara
tegas mengatakan bahwa “terbukti dari pengumuman-pengumuman Komite Pasar
Malam dan Komite Konkurs, dari peraturanja, lagi berlakunja pertandang
tersebut, njatalah konkurs jang telah berlangsung dimedan Pasar Malam di
Semarang itu, bersifat suatu penghinaan terhadap kaum perempuan dalam umumnja,
dan perempuan bangsa Indonesia chususnja”. Senada dengan Taman Siswa,
Muhammadiyah dan Aisyiyah di Yogyakarta juga menyampaikan kritikan yang
sama. Mereka menganggap bahwa mempertontokan perempuan
di ruang-ruang publik bukanlah adat ketimuran yang memperhatikan moralitas
masyarakat. Kontes perempuan merupakan tradisi Eropa yang tidak perlu
diadopsi para perempuan pribumi (Dewantara, 1967:254). Lebih tegas, Ki Hadjar mengecam bahwa penamaan
“lurik” dalam ajang tersebut hanyalah siasat ekonomi yang membohongi
rakyat. Berbeda dengan kontes mode perempuan Eropa yang
sepertinya sengaja untuk memikat hati para perempuan Eropa di Hindia Belanda
untuk membeli pakaian model terbaru. Meskipun kecaman begitu banyak, Residen
Semarang KJA Orie tetap membela penyelenggara kontes. Ia mengatakan bahwa
penting untuk menyelenggarakan kontes demi kemajuan perempuan itu
sendiri. Ia akan bertanggung jawab atas segala kritikan
yang muncul, termasuk kritikan Ki Hadjar, “yang teristimewa harus ditjela
jaitu karena Subkomite pertandingan, jang menghina kaum perempuan Indonesia
itu dipimpin dan diurus oleh orang-orang bangsa Indonesia, bahkan jang karena
kedudukannja didalam kalangan kebangsaan, baik sebagai orang terpeladjar (intelektuil
maupun sebagai pedjabat pekerdjaan jang agak terutama atau sebagai pemimpin
pergerakan atau badan kebangsaan, sehingga boleh dibilang orang-orang jang
berpengaruh pada rakjat" (IIA Kebudajaan, 1967:254). Reproduksi Kontes Ajang kontes kecantikan muncul kembali pada era
kemerdekaan. Hampir sama dengan kontes sebelumya pada masa kolonial,
penyelenggara kontes pada awal kemerdekaan juga kelas perempuan terpelajar.
Melalui kontes tersebut, mereka mencari sosok perempuan cerdas, cantik, serta
mampu mengadaptasi kemajuan zaman. Penyelenggaraan kontes kecantikan masa ini
begitu masif di kota-kota besar di Indonesia. Ada kompetisi untuk lingkup
lokal, ada pula kontestasi yang berjenjang hingga ke tingkat nasional bahkan
internasional. Berbeda dengan kontes-kontes yang sedang tren pada masanya,
mahasiswi Universitas Gadjah Mada lebih memilih menyelenggarakan kontes
pakaian lurik. Sepertinya mereka ingin memperlihatkan bahwa
kontes yang cocok bagi perempuan adalah kontes mode, seperti pernah
dilaksanakan pada masa kolonial, namun dikemas lebih modern. “Demikianlah
setelah Kustini Prodjolalito, Larasati, Rusmini, Martini dll jang sungguh djoli
bergaya, band Rythm Brothers dan seperangkat penari Whisnuwardhana telah
berhasil mengisi kenikmatan kita untuk beberapa djam dalam suguhan2 jang
menjenangkan dimalam pandjang malam minggu jang tenang ….” (Gadjah Mada,
1959). Kontestasi kecantikan begitu masif dengan nama
dan tema acara yang beragam, seperti kontes Ratu Sanggul, Ratu Kacamata, Ratu
Kebaya, Ratu Vespa, atau Ratu Pariwisata. Atau kontes lainnya, seperti Miss
Personality dan Miss Indonesia. Maraknya kontes-kontesan yang menilai
penampilan dan tubuh perempuan pada 1970-an, membuat pemerintah merasa gerah
dan mengeluarkan larangan atas penyelenggaraan kontes. Pelarangan sebatas pelarangan tanpa tindakan.
Kontes kecantikan masih terus berjalan. Bahkan, periode 1980-an menjadi babak
baru kontes kecantikan di Indonesia. Tidak hanya di tingkat nasional,
pemenang kontes mulai unjuk kemampuan di kontes kecantikan internasional Miss
Universe. Kontes kecantikan makin populer seiring dengan
penayangannya di media televisi secara live. Masyarakat di seluruh Indonesia
dapat menyaksikan malam final kontes yang berlangsung di Jakarta hanya dengan
duduk menonton televisi. Kontes-kontes yang sebelumnya berlangsung di ruang
terbatas muncul ke ruang publik secara terbuka. Tidak sekadar memilih
perempuan cantik dengan segala kelebihannya, kontes menjadi komoditas
hiburan. Inilah ciri budaya populer (pop culture) di mana sesuatu menjadi
tren yang diharapkan menghasilkan keuntungan. Kathy Peiss menyinyalir bahwa kontes-kontesan
sebenarnya merupakan arena untuk mempromosikan kepentingan-kepentingan
ekonomis. Dalam kontes tersebut sebuah produk yang dikemas baik dan sering kali
lebih glamor kemudian dipamerkan atau dikompetisikan oleh para model (Kathy
Peiss, 2001: 7). Kontes dalam beberapa hal juga berdimensi sosial. Artinya,
para peserta kontestasi seakan-akan menjadi bagian dari kelas sosial mereka
yang terlibat di dalamnya. Ia sekaligus juga menjadi bagian dari identitas
kelompok yang terbentuk (Joselit, 2001: 7—26). Sekalipun kontes kecantikan dikemas secara
populer, konsep dan makna cantik tentu memiliki makna yang berbeda. Martha
Tilaar, misalnya, dengan tegas mengatakan bahwa konsep cantik dalam tradisi
Barat berbeda dengan konsep cantik menurut budaya Nusantara, khususnya Jawa.
Menurut budaya Jawa, cantik adalah berpadunya kecantikan luar dan kecantikan
dalam seorang manusia (Tilaar, 2017). Dalam bahasa saat ini, seorang
perempuan harus memiliki outer dan inner beauty. Memang dibutuhkan
syarat-syarat khusus untuk memunculkan kecantikan luar-dalam, antara lain,
terpenuhinya kebutuhan lahir dan batin, kemampuan olah tubuh, serta rasa dan
raga. Perempuan dan Tubuh Atas nama kecantikan, meminjam istilah Mooryati
kontes ratu-ratuan, tidak terlepas dari setiap ajang pemilihan putri maupun
miss di Indonesia. Nilai-nilai kepantasan atau ketidakpantasan dalam suatu
kontes yang melibatkan perempuan memunculkan perbedaan persepsi dari zaman ke
zaman. Norma yang dahulu dianggap tabu perlahan bergeser menjadi biasa dan
wajar-wajar saja. Seorang Muslimah pun tidak lepas dari kompetisi.
Perhelatan Puteri Muslimah atau Hijab Hunt, misalnya, kriteria utama
penentuan pemenangnya juga sama: kecantikan. Tentu saja kecantikan yang tidak
lepas dari kaidah-kaidah agama. Dan ini dianggap normal, yang pada masa-masa
sebelumnya tidak pernah terbayangkan bakal ada pihak-pihak yang
menyelenggarakan kontes bagi perempuan Muslim. Perbedaan sudut pandang kecantikan seorang
perempuan, dalam bahasa akademik, merupakan bagian dari perdebatan tentang
tubuh, terutama ketika area privat dikomodifikasi sebagai ruang publik,
apalagi dipertontonkan dan dikompetisikan, pasti memunculkan aksi dan reaksi.
Kritikan demi kritikan kerap menyertai kontes-kontesan, tapi tidak pernah
protes muncul dari peserta kontes. Mereka menikmati jalannya seluruh tahapan
kontes, seperti ungkapan salah seorang peserta, “Saya melepaskan diri dan
menikmati saat menjadi peserta” (Jawa Pos, 25/11/2005). Perbedaan persepsi akan selalu muncul saat
sesuatu yang tadinya berada di ranah privat diangkat ke ruang publik tanpa
disertai concern dari para pemiliknya. Tubuh yang masuk area privat, tidak
harus dikomodifikasi ke ranah publik. Di sinilah relasi kuasa akan berjalan
dengan sendirinya. Tidak mengherankan jika peserta Miss Universe Indonesia
2023 berani melaporkan atas tindakan yang tidak sepatutnya. Apalagi mereka
yang menjadi peserta kontes-kontesan sejak Indonesia Merdeka berasal dari
kalangan elite terpelajar. Para perempuan sadar betul bahwa relasi kuasa
bukan sesuatu yang dapat direproduksi di dalam kehidupan bermasyarakat dalam
kondisi apa pun. Dengan kesadaran bahwa perempuan “terjebak” di dalam sebuah
ruang dan waktu, kesempatan untuk membuka suara hanyalah perkara waktu saja.
Era keterbukaan informasi dan media sosial amatlah mendukung semuanya. ● Sumber :
https://www.republika.id/posts/44147/sejarah-panjang-kontes-kecantikan-di-indonesia |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar